Dari Lautan Kayu ke Api Terra Drone, Menyoroti Banjir Sumatera dalam Perspektif Konspirasi

fajar.co.id
1 hari lalu
Cover Berita

Oleh: Mukhtar Tompo
(Anggota DPR RI 2014–2019)

25 November 2025. Sumatera digulung banjir bandang yang menyeret jutaan kubik kayu gelondongan ke sungai dan pesisir. Kayu-kayu itu bergulir bak saksi bisu yang akhirnya bersuara, seolah hutan sendiri yang menuntut balas atas rampasan isi hutan selama bertahun-tahun.

Dua pekan berselang, 9 Desember 2025, kantor PT Terra Drone Indonesia dilalap api. Gedung kokoh di Jakarta itu—gudang data survei hutan dan sawit—hangus bersama 22 nyawa yang melayang.

Dua tragedi itu bagaikan dua sisi mata uang yang sama: air yang meluap sebagai pembuka, api yang melahap sebagai penutup. Rangkaian kebetulan yang terlalu rapi. Jangan-jangan ada pihak yang bermain di balik layar.

Direktur Walhi, Zenzi Suhadi, menegaskan bahwa fenomena kayu hanyut adalah jerat pembalakan liar yang sedang terbongkar. Banjir bandang menjadi semacam sidang pidana alam terhadap kerakusan yang dibiarkan.

Pernyataan pedas itu mengalihkan fokus dari “bencana alam” ke “kejahatan terstruktur”. Maka, wajar jika publik mulai menduga-duga: jangan-jangan “badai bisa dipesan” dan “api bisa dinyalakan”.

Spekulasi itu bukan lagi bisikan paranoid, melainkan logika yang lahir dari pola kehancuran yang teratur. Seperti dua senjata yang ditembakkan bersamaan, air dan api seolah diarahkan untuk sekaligus menyingkap kerapuhan tata kelola hutan dan mengacaukan sistem.

Rekayasa Cuaca sebagai Senjata

Teknologi modifikasi cuaca memang bukan siluman. Di Indonesia, ia pernah jadi pahlawan: memadamkan karhutla, menyirami sawah. Namun, seperti yang kita ketahui, setiap teknologi adalah pisau bermata dua. Saat motifnya berganti, penyelamat bisa berubah jadi algojo. 

Bayangkan awan-awan diarak seperti kawanan domba menuju medan yang ditentukan. Kemudian diubah menjadi pasukan pengebom hujan yang serentak menumpahkan bom air yang tumpah tiada terhenti.

Spekulasi publik pun berkembang: apakah banjir bandang Sumatera hanyalah murka alam atau, jangan-jangan, badai yang “dipesan” oleh tangan-tangan tersembunyi?

Penegasan Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Boy Jerry Even Sembiring, bahwa fenomena kayu hanyut adalah bukti pembalakan liar yang sistematis patut kita jadikan bahan renung. “Banjir bandang bukan sekadar musibah, melainkan konsekuensi dari kerakusan yang dibiarkan,” ujarnya.

Pernyataan itu jelas-jelas memperkuat dugaan publik bahwa, jika rekayasa cuaca benar digunakan, maka ia akan mempercepat kehancuran karena kerusakan hutan.

Politik Mafia Hutan

Sebelum banjir, Presiden mengumumkan keberhasilan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) mengembalikan 4,1 juta hektar lahan dari korporasi. Angka itu terdengar seperti kemenangan besar, seolah negara berhasil merebut kembali mahkota hijau yang dirampas.

Motifnya? Lihatlah peta politik kehutanan sesaat sebelum banjir. Presiden baru saja mengklaim kemenangan: Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) berhasil merebut kembali 4,1 juta hektar dari cengkeraman korporasi. 

Sorak-sorai itu sekaligus adalah deklarasi perang. Lalu, seperti aksi balasan dalam sebuah drama, datanglah banjir yang menyeret “barang bukti” kayu gelondongan dan api yang membakar “alat bukti” data survei. 

Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, melengkapi mozaik itu. “Kehilangan data survei adalah pemotongan urat nadi gerakan advokasi,” katanya. Dua tragedi itu bukan kebetulan, melainkan strategi yang terancang dengan sengaja.

Rekayasa Banjir sebagai Strategi Politik

Dalam kalkulus politik yang gelap, banjir adalah senjata yang efisien. Lebih murah dari membayar massa demonstrasi, lebih dahsyat dari ribuan poster. Ia melumpuhkan infrastruktur, menguras anggaran, dan—yang paling utama—merontokkan kepercayaan publik. 

Jika ada yang merancangnya, maka mereka sedang bermain catur dengan bidak bernama air, di papan bernama Indonesia. Targetnya? Mengganggu konsolidasi pemerintahan, menciptakan krisis legitimasi, dan mungkin, menyelamatkan kepentingan ekonomi raksasa yang terancam oleh agenda reformasi agraria.

Targetnya jelas, mengganggu konsolidasi pemerintahan Prabowo, menciptakan krisis legitimasi, atau—singkatnya—mengacaukan sistem.

Jangan lupa. Sempat gencar terdengar konspirasi ekonomi nasional berpusat pada klaim bahwa elite domestik berkolusi dengan korporasi asing untuk mencuri kekayaan sumber daya alam—seperti tambang, didukung oleh kontrak yang merugikan. Lalu isu utang luar negeri dianggap sebagai instrumen kontrol global yang sengaja dipelihara oleh lembaga keuangan internasional untuk membuat Indonesia bergantung, sebagai bagian dari skema New World Order demi melemahkan kedaulatan ekonomi negara.

Belum lagi di bidang kesehatan. Narasi populer menuduh COVID-19 adalah rekayasa atau senjata biologis, dan program vaksinasi disebarkan sebagai alat kontrol populasi global oleh perusahaan farmasi atau elite rahasia. Dalam politik domestik, ketidakpercayaan diwujudkan melalui keyakinan bahwa “pabrik buzzer” didanai untuk manipulasi identitas dan penyebaran hoaks masif. Termasuk, hasil pemilu dimanipulasi secara sistematis oleh kekuatan tersembunyi untuk memastikan kemenangan kandidat tertentu.

Tak ayal, kita mestinya berani mengakui bahwa sejumlah besar bencana alam diperburuk, bahkan dipicu, oleh aktivitas manusia, selaras dengan pandangan bahwa kerusakan bumi disebabkan oleh ulah tangan manusia sendiri. Contohnya, banjir sering terjadi akibat penyumbatan sungai oleh sampah dan pembangunan di daerah resapan air, sementara tanah longsor diperparah oleh penebangan hutan (deforestasi) yang menghilangkan daya ikat tanah.

Selain itu, fenomena geologis seperti gempa bumi juga dapat diinduksi oleh aktivitas manusia, seperti pengerukan masif dalam pertambangan. Bencana kebakaran hutan dan lahan pun hampir seluruhnya disebabkan oleh pembakaran yang disengaja oleh manusia, menyoroti peran dominan kesalahan manusia dalam merusak lingkungan.

Dampak ulah manusia juga merambat hingga skala global melalui perubahan iklim, tatkala emisi gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil mempercepat pemanasan global. Hal itu memicu kejadian cuaca ekstrem, seperti curah hujan sangat tinggi yang menyebabkan banjir bandang, secara signifikan memperparah bencana alam.

Di samping bencana alam yang dipicu manusia, terdapat pula kategori bencana non-alam yang sepenuhnya lahir dari interaksi negatif antarmanusia, seperti konflik sosial dan terorisme, menegaskan bahwa ancaman kerusakan datang dari berbagai bentuk intervensi dan perilaku destruktif yang dilakukan oleh manusia itu sendiri.

Tidak heran jika ada pihak yang menilik kemungkinan adanya konspirasi di balik tragedi di Sumatera.

Kembali Berteman dengan Air dan Api

Maka, air dan api yang datang beriringan di penghujung 2025 itu adalah guru bagi kita semua. Mereka mengajarkan bahwa kerakusan akan berbalik menjadi petaka, dan rahasia yang dibakar akan terungkap sebagai abu yang menyesakkan. 

Suara Walhi dan Sawit Watch bukan lagi sekadar peringatan; mereka adalah suara penuntut. Refleksi ini harus berujung pada tuntutan: negara harus hadir bukan dengan klaim, tapi dengan penyelidikan yang transparan dan hukum yang berpihak. Pada akhirnya, kita harus memilih: menjadi bangsa yang belajar dari air dan api, atau menjadi bangsa yang terus dikubur oleh lautan kayu dan selimut abu. Pilihan itu menentukan apakah tragedi ini akan menjadi luka yang terinfeksi atau, semoga saja, luka yang membentuk jaringan parut kesadaran baru. (*)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Kronologi Pembalap Awhin Sanjaya Meninggal Akibat Kecelakaan di Final SCP 2025 Jambi, Korban Sempat Dilarikan ke RS
• 23 jam lalugrid.id
thumb
Wapres Tinjau Jembatan Putus dan Pengungsi di Gayo Lues
• 10 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Kado Natal yang Disiapkan teman kumparan untuk Orang Terkasih, Apa Aja?
• 2 jam lalukumparan.com
thumb
Polda Jatim Ringkus Seorang Polisi Diduga Terkait Kematian Mahasiswi di Pasuruan
• 57 menit lalusuarasurabaya.net
thumb
Mensos Tanggapi Warga Aceh Kibarkan Bendera Putih Pascabencana: Pemda Masih Kuat, Didukung Pusat
• 8 jam lalukompas.tv
Berhasil disimpan.