JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah meminta Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menahan diri dan tidak menangkap lagi aktivis atau peserta demonstrasi, khususnya yang berkaitan dengan aksi Agustus 2025. Pendekatan hukum berupa keadilan restoratif diminta untuk lebih dikedepankan ketimbang pemidanaan, khususnya ketika melibatkan kalangan pelajar dan mahasiswa.
Hal tersebut diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra saat ditemui di Gedung PPATK, Jakarta, Selasa (16/12/2025). Ia menanggapi perihal penangkapan susulan terhadap dua aktivis di Magelang, Jawa Tengah.
Menurut Yusril, Komisi Percepatan Reformasi Polri telah membahas persoalan ini secara internal dan mendalam. Komite merekomendasikan penyelesaian di luar jalur pengadilan jika urgensinya rendah.
”Kami mengimbau supaya tidak perlu dilakukan penahanan, penangkapan yang baru. Kalau memang tidak dirasakan terlalu perlu untuk diambil satu langkah hukum sampai dituduh ke pengadilan, supaya diselesaikan saja,” ujar Yusril.
Berdasarkan data Kemenko Kumham Imipas, dari sekitar 6.000 orang yang sempat diamankan saat gelombang unjuk rasa menolak revisi UU Pilkada, saat ini tersisa sekitar 1.000 orang yang masih menjalani proses hukum.
Yusril menyebutkan, seribuan orang yang tersisa itu masih dalam tahap penyidikan. Pihaknya akan mengkaji ulang kasus-kasus tersebut untuk memilah mana yang layak diteruskan ke pengadilan dan mana yang tidak.
Kami menghimbau supaya tidak perlu dilakukan penahanan-penangkapan yang baru. Kalau memang tidak dirasakan terlalu perlu untuk diambil satu langkah hukum sampai dituduh ke pengadilan, supaya diselesaikan saja.
”Saya sudah melakukan hal itu (imbauan) ketika mengunjungi Polda Metro Jaya dan Polda Sulawesi Selatan pada waktu itu,” tutur Yusril.
Namun, Yusril tidak menampik bahwa ada kasus-kasus tertentu yang tetap bergulir ke meja hijau, seperti kasus Luthfi dan rekan-rekannya. Hal itu terjadi karena penyidik kepolisian bersikukuh memiliki alat bukti yang cukup.
”Saya pun sebenarnya membahas masalah itu dengan Polda Metro Jaya beberapa waktu lalu. (Saya) mengatakan kalau memang tidak cukup bukti, ya, sudah. Tapi mereka mengatakan cukup bukti,” ucap Yusril.
Keyakinan polisi tersebut, lanjut Yusril, juga telah teruji secara formil melalui putusan praperadilan yang menyatakan proses hukum sah untuk dilanjutkan.
Sementara itu sidang perdana terhadap empat aktivis yang dituduh sebagai penggerak kerusuhan Agustus lalu mulai digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Delpedro Marhaen Rismansyah (25), Muzaffar Salim (23), Syahdan Husein (30), dan Khariq Anhar (24) dengan pasal berlapis, mulai dari Undang-Undang ITE, KUHP, hingga UU Perlindungan Anak.
Dalam surat dakwaan setebal 79 halaman yang dibacakan Jaksa Ibnu Sahal, Pedro dan kawan-kawan dituduh secara sistematis menggunakan akun media sosial organisasi mereka seperti @lokataru_foundation, @blokpolitikpelajar, @gejayanmemanggil, dan @aliansimahasiswapenggugat untuk menyebarkan hasutan dan provokasi.
Jaksa menuding fitur collaboration post di Instagram digunakan para terdakwa untuk menciptakan ”efek jaringan” yang memancing emosi publik dan memobilisasi massa, termasuk anak-anak, untuk terlibat dalam aksi anarkis di DPR RI dan Polda Metro Jaya pada 25-30 Agustus 2025.
”Para terdakwa melakukan pengunggahan konten yang bermuatan mengajak pelajar yang mayoritas anak untuk terlibat kerusuhan, termasuk instruksi meninggalkan sekolah dan menyembunyikan identitas,” ujar Jaksa dalam dakwaannya.
Atas perbuatan tersebut, mereka dijerat dengan Pasal 28 ayat (2) dan (3) UU ITE tentang ujaran kebencian dan berita bohong, Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, serta Pasal 76H UU Perlindungan Anak karena dianggap merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer/kerusuhan. Ancaman hukuman maksimal dari akumulasi pasal-pasal ini mencapai belasan tahun penjara.




