jatim.jpnn.com, SURABAYA - DPD Partai Golkar Jawa Timur mulai mematangkan langkah revisi Peraturan Daerah (Perda) tentang Penyandang Disabilitas yang dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan regulasi nasional.
Upaya tersebut ditandai dengan pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) bertema Merajut Desain Peraturan Daerah Disabilitas Provinsi Jawa Timur yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan lintas sektor di Kantor DPD Golkar Jatim, Senin (15/12)
BACA JUGA: Sekjen Golkar Sarmuji Sambangi Ponpes Al Khoziny, Ungkap Hubungan Kekerabatan
Forum diskusi ini menjadi ruang konsolidasi awal untuk merumuskan perda baru yang lebih responsif terhadap kebutuhan penyandang disabilitas, sekaligus selaras dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Wakil Ketua Bidang Hukum dan HAM DPD Golkar Jatim, Julianto Simanjuntak menyampaikan bahwa perda yang berlaku saat ini disusun jauh sebelum lahirnya payung hukum nasional yang lebih komprehensif.
BACA JUGA: Musda Golkar Surabaya ke XI Siapkan Arif Fathoni Maju Pilkada 2029
Akibatnya, sejumlah aspek perlindungan dan pemberdayaan difabel belum terakomodasi secara optimal di tingkat daerah.
“Kalau regulasi daerah tidak diperbarui, maka ada potensi ketimpangan perlindungan hukum. Perda harus menjadi instrumen yang benar-benar bekerja, bukan sekadar formalitas,” kata Julianto.
BACA JUGA: Musda Golkar Surabaya ke-XI, Targetkan Tambah Kursi DPRD di 2029
“Perda yang ada perlu diselaraskan agar tidak menimbulkan kekosongan perlindungan hukum. Regulasi daerah harus sejalan dengan undang-undang nasional,” tambahnya.
Dia menjelaskan pembaruan regulasi tersebut merupakan arahan langsung Ketua DPD Golkar Jatim Ali Mufthi yang menilai isu disabilitas perlu mendapat perhatian serius melalui kebijakan yang aplikatif dan berkelanjutan.
FGD tersebut dihadiri perwakilan organisasi pengusaha, OPD terkait seperti Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja, dan Dinas PUPR, Komisi E DPRD Jawa Timur, serta puluhan komunitas penyandang disabilitas dari berbagai daerah.
Kehadiran mereka dinilai penting untuk memastikan regulasi yang disusun benar-benar berangkat dari kondisi lapangan.
“Difabel tidak boleh hanya dijadikan objek kebijakan. Mereka harus dilibatkan sejak awal agar perda yang lahir mampu menjawab persoalan nyata,” ujarnya.
Isu ketenagakerjaan menjadi salah satu perhatian utama dalam FGD tersebut. Julianto menyinggung implementasi kuota kerja bagi penyandang disabilitas, yakni 1 persen di sektor swasta serta 2 persen di BUMN dan BUMD, yang dinilai belum berjalan optimal di lapangan.
“Beberapa perusahaan sudah mulai menjalankan ketentuan ini, namun implementasinya masih perlu diperluas dan diawasi secara konsisten,” katanya.
Selain itu, persoalan aksesibilitas fasilitas publik juga menjadi sorotan.
Julianto mengapresiasi kemajuan yang ditunjukkan Kota Surabaya melalui penyediaan parkir khusus, guiding block, dan fasilitas ramah disabilitas di transportasi publik. Namun, kondisi serupa belum merata di kabupaten/kota lain.
Dalam FGD juga mengemuka persoalan stigma sosial terhadap penyandang disabilitas yang masih kuat di sejumlah daerah.
“Masih ada keluarga yang merasa malu memiliki anggota keluarga disabilitas. Ini persoalan serius. Perda harus hadir bukan hanya mengatur fasilitas, tetapi juga membangun kesadaran dan penghormatan terhadap martabat manusia,” tutur Julianto.
FGD ini turut menghadirkan Adam, penulis naskah akademik, agar seluruh masukan dari peserta dapat langsung diintegrasikan dalam desain regulasi yang sedang disusun.
Julianto menegaskan bahwa penyusunan Perda Disabilitas ke depan harus dilakukan secara partisipatif, transparan, dan berorientasi masa depan sehingga pemerintah daerah memiliki regulasi yang kuat, selaras dengan undang-undang, dan benar-benar berpihak pada penyandang disabilitas.
“Kami ingin perda ini menjadi pijakan kebijakan yang adil dan manusiawi, bukan sekadar dokumen hukum,” pungkasnya. (mcr23/jpnn)
Redaktur : Arry Dwi Saputra
Reporter : Ardini Pramitha


