Entah mengapa, di tahun 2025 ini, waktu terasa seperti berlari tanpa menoleh ke belakang. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan tiba-tiba kita kembali mengeluh: “Kok cepat sekali, ya?” Pagi tahu-tahu malam. Senin mendadak Kembali Senin lagi. Seolah hidup hanya rangkaian agenda yang diselesaikan, bukan hari yang benar-benar dijalani.
Padahal, bagi generasi 90-an, pernah ada masa ketika waktu berjalan lambat. Teramat lambat. Lambat seperti menunggu hari Minggu pagi tiba, lambat seperti menanti azan magrib yang menjadi tanda pamungkas selesainya masa bermain. Saat itu, waktu tidak dikejar, melainkan dihidupi.
Di awal 2000-an, hidup diatur oleh penanda-penanda sederhana. Bukan notifikasi HP, bukan kalender digital, melainkan bel sekolah, jam dinding ruang tamu, dan suara adzan magrib. Bel sekolah adalah pengatur hidup paling disiplin. Dari sanalah hari dimulai dan diakhiri. Anehnya, tanpa aplikasi pengingat atau alarm di HP, hidup justru terasa lebih tertib.
Sepulang sekolah, televisi menjadi pusat semesta kecil kami. Kita tumbuh bersama Jin dan Jun, Saras 008, Panji Manusia Milenium, Tuyul dan Mbak Yul, dan lainnya. Tokoh-tokoh itu bukan sekadar tontonan, melainkan teman imajiner yang hidup bersama kita. Setiap episode ditunggu, bukan di-skip. Jika terlewat, ya sudah—penyesalan itu bertahan seminggu penuh. Tidak ada putar ulang, apalagi on demand. Jauh sebelum SMS harus dihemat dan pulsa dijaga seperti uang jajan.
Minggu pagi adalah hari yang menyenangkan. Doraemon, Ninja Hatori, Yu-Gi-Oh!, Dragon Ball, Crush Gear, Crayon Shinchan, Chibi Maruko-chan, Digimon—semuanya hadir berurutan seperti janji yang tidak boleh dilewatkan. Kita bangun pagi bukan karena produktivitas, melainkan karena takut ketinggalan. Saya masih ingat duduk bersila di depan televisi sambil sarapan mie/nasi goreng. Tidak ada skip intro. Tidak ada percepatan. Waktu berjalan pelan karena kami benar-benar hadir di dalamnya.
Di luar rumah, hidup terasa lebih luas. Power Ranger membuat kami berebut peran; ranger merah hampir selalu jadi sumber konflik kecil. Ada pula Kamen Rider Satria Baja Hitam yang Gerakan berubahnya kami tiru. Kami bermain Layangan, kelereng, petak umpet, bola atau sekadar berlari tanpa tujuan dari siang sampai sore. Hingga akhirnya suara adzan magrib terdengar—sebagai penanda: cukup. Pulang. Esok masih ada hari.
Perlahan, teknologi masuk ke kehidupan kami, tapi masih dengan batas yang jelas. Nokia, Sony Ericsson, Nexian, Cross, atau Flexi hanya dipakai seperlunya: menelepon, SMS singkat, atau bermain Snake dan Bounce. Promo kartu menjadi cerita sehari-hari—kirim satu SMS gratis seratus atau telepon sepuluh menit dapat enam puluh. Setiap pesan ditulis hemat, setiap panggilan dihitung. Ketika BlackBerry ramai dengan PIN dan BBM, saya hanya melihat dari jauh—tidak punya, tapi ikut merasakan hiruk-pikuknya.
Warnet kemudian menjadi jendela pertama ke dunia luar. Kita mengenal Yahoo!, mIRC, dan game online dari layar tabung yang biasanya ada background lumba-lumba. Setiap jam dihitung, setiap menit berarti. Rental PlayStation adalah surga kecil, sering berakhir dengan orang tua datang menjemput sambil memasang wajah tegas. Ada akhir. Ada batas. Dan karena ada batas, waktu terasa panjang.
Bandingkan dengan kondisi saat ini. Kita selalu terhubung, tetapi jarang benar-benar hadir. Semua bisa diputar ulang, semua bisa dipercepat, semua bisa dikejar sekaligus dari satu layar. Ironisnya, waktu justru terasa semakin singkat. Tidak ada jeda yang membuat kita berhenti sejenak.
Ada satu bentuk perlawanan kecil yang diam-diam dilakukan generasi 90-an: menawar usia. Beranjak tahun 2026, kelahiran 1990 tetap kita sebut 26, 1991 jadi 25, 1992 masih 24, 1993 23, 1994 22, dan seterusnya—bukan karena tidak bisa berhitung, melainkan karena lelah menerima bahwa hidup berlari terlalu cepat. Mengurangi angka menjadi cara paling sopan untuk menunda pengakuan: bahwa masa ketika waktu terasa panjang sudah berada cukup jauh di belakang.
Mungkin bukan waktu yang berubah, melainkan cara kita mengalaminya. Dulu, hidup dipenuhi momen kecil yang dirawat: menunggu, bosan, rindu. Kini, hidup mengalir deras tanpa sekat. Kita bergerak cepat, tapi sering lupa merasakan. Dan jika hari ini waktu terasa kejam, barangkali bukan karena ia berlari, melainkan karena kita terlalu sibuk mengejarnya—hingga lupa berjalan bersamanya.
Dan tentu saja, masih banyak lagi cerita dan kenangan yang tidak bisa ditulis satu per satu, karena sebagian hanya hidup di ingatan mereka yang pernah menjalaninya.





