BANJIR yang kembali melanda Aceh bukan sekadar peristiwa alam. Ia selalu membawa pertanyaan yang lebih mendasar: sejauh mana negara hadir, dan bagaimana kehadiran itu diatur.
Dalam situasi darurat, keselamatan warga menjadi prioritas utama. Bantuan—apa pun sumbernya—menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditunda.
Namun, negara hukum tidak hanya bekerja dengan kecepatan, melainkan juga dengan ketertiban.
Dalam setiap bencana besar, solidaritas lintas negara hampir selalu menyertai. Negara sahabat, organisasi internasional, dan lembaga kemanusiaan menawarkan bantuan sebagai wujud empati global.
Pada titik ini, perdebatan sering muncul: apakah pemerintah daerah boleh menerima bantuan asing secara langsung demi mempercepat penanganan bencana?
Pertanyaan tersebut tampak sederhana, tetapi sesungguhnya menyentuh jantung tata kelola negara.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=banjir sumatera, bantuan asing bencana sumatera&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8xNy8wNjAwMDAxMS9iYW50dWFuLWFzaW5nLWRhbi1iYXRhcy1rZXdlbmFuZ2FuLWRhZXJhaA==&q=Bantuan Asing dan Batas Kewenangan Daerah§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Baca juga: Belajar dari Gubernur Aceh
Bencana tidak pernah menghapus negara. Justru dalam keadaan darurat, prinsip negara hukum diuji: apakah kewenangan dijalankan sesuai rel konstitusi atau justru dilompati atas nama keadaan mendesak.
Empati yang tidak diiringi ketertiban kewenangan berisiko melahirkan kekacauan yang baru.
Negara hadir bukan hanya dengan logistik dan dana, tetapi juga dengan kepastian hukum. Kepastian itulah yang memastikan bahwa bantuan, secepat apa pun datangnya, tetap terkoordinasi, akuntabel, dan tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari.
KewenanganKonstitusi memberi jawaban yang cukup jelas mengenai siapa berwenang melakukan apa. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menempatkan hubungan luar negeri di tangan Presiden.
Pasal 4 ayat (1) menegaskan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, sementara Pasal 11 ayat (1) memberi mandat kepada Presiden dalam hubungan dengan negara lain.
Di sisi lain, Pasal 18 dan Pasal 18B UUD 1945 memang mengakui otonomi daerah dan bahkan kekhususan bagi daerah tertentu.
Namun pengakuan itu tidak pernah dimaksudkan sebagai pembagian kedaulatan ke luar. Otonomi adalah pengaturan ke dalam, bukan representasi negara ke luar.
Prinsip konstitusional tersebut dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 9 ayat (2) menyatakan bahwa urusan pemerintahan absolut sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Rinciannya terdapat dalam Pasal 10 ayat (1), yang secara eksplisit memasukkan politik luar negeri sebagai urusan absolut.



