SURABAYA (Realita) — Perkara dugaan gratifikasi dan manipulasi penerimaan pajak daerah dalam pembebasan lahan di Desa Geneng, Kecamatan Geneng, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, yang menyeret notaris Nafiaturrohmah, terus bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Kelas I-A Khusus Surabaya, Selasa (16/12/2025). Kasus yang terjadi pada periode 2023–2024 itu kini memasuki tahap pemeriksaan ahli.
Majelis hakim mendengarkan keterangan tiga ahli yang dihadirkan sebagai saksi meringankan. Mereka adalah ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakkir; ahli perpajakan Doni Budiono; serta ahli kenotariatan Habib Adjie.
Baca juga: Unggah Foto Telanjang Mantan karena Cemburu, Randy Yoga Masuk Penjara Setahun
Ahli pidana Mudzakkir menjelaskan bahwa esensi tindak pidana korupsi terletak pada adanya perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian keuangan negara. Namun, menurut dia, kerugian negara tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu secara sah.
“Penentuan kerugian keuangan negara berdasarkan undang-undang hanya dapat dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jika perhitungan dilakukan oleh lembaga lain, maka tidak dapat dijadikan dasar produk hukum,” kata Mudzakkir dalam persidangan.
Ia menambahkan, kerugian negara dalam perkara korupsi harus bersifat nyata atau actual loss. Konsep kerugian yang bersifat potensi atau potential loss, menurut dia, tidak dapat dijadikan dasar penetapan tindak pidana korupsi karena mengandung ketidakpastian hukum.
“Kerugian yang belum terjadi tidak bisa digunakan untuk menjerat seseorang dengan tindak pidana korupsi,” ujarnya.
Penasihat hukum Nafiaturrohmah, Heru Nugroho, mengatakan keterangan para ahli menunjukkan bahwa syarat formil perkara yang menjerat kliennya tidak terpenuhi. Ia menilai, dalam kasus BPHTB yang dipersoalkan, tidak terdapat kerugian negara yang bersifat nyata.
Baca juga: Modus Program Perbankan Fiktif, Dua Pegawai BSI Tipu Karyawan Telkom Rp1,4 Miliar
“Dalam perkara ini tidak ada surat atau ketetapan dari otoritas pajak yang menyatakan adanya kekurangan pembayaran. Tanpa itu, tidak bisa serta-merta disebut sebagai kerugian negara,” kata Heru usai sidang.
Heru juga menyoroti prinsip ultimum remedium dalam hukum perpajakan. Menurut dia, sanksi pidana dalam perkara pajak hanya dapat diterapkan sebagai upaya terakhir setelah mekanisme administratif ditempuh dan tidak efektif.
“Ahli perpajakan menegaskan bahwa pelanggaran pajak baik BPHTB maupun pajak lainnya tidak otomatis masuk tindak pidana korupsi. Penyelesaiannya harus melalui mekanisme perpajakan terlebih dahulu,” ujarnya.
Ia menjelaskan, tindak pidana korupsi dalam konteks perpajakan hanya dapat dikenakan pada aparat pajak yang menyalahgunakan kewenangan atau menerima suap, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Baca juga: Hakim Tolak Eksepsi Achmad Rivaldo, Sidang Perusakan Fasilitas Grahadi Lanjut ke Pembuktian
Sementara itu, jika terjadi kekurangan bayar pajak, menurut Heru, penyelesaiannya dilakukan melalui penerbitan surat ketetapan pajak dan mekanisme keberatan atau sengketa pajak. “Kalau tetap tidak dibayar setelah ditagih, barulah bisa masuk ranah pidana umum, bukan pidana korupsi,” kata dia.
Sementara itu, dalam dakwaan primair, jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Ngawi Reza Prasetya Nitisasmito mendalilkan bahwa Nafiaturrohmah bersama saksi Winarto bin Parto Sudarmo diduga membuat nilai transaksi dalam Akta Pelepasan Hak dan Akta Pengikatan Jual Beli lebih rendah dari nilai transaksi sebenarnya, sehingga penerimaan daerah Kabupaten Ngawi berkurang dan diduga merugikan keuangan negara.
Dalam dakwaan subsider, jaksa menyatakan perbuatan tersebut diduga dilakukan dengan menyalahgunakan kewenangan atau jabatan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan tindak pidana korupsi.yudhi
Editor : Redaksi



