Jauh sebelum tulisan ini dibuat, penulis sempat menonton ulang serial The Crown di Netflix. Salah satu episode yang berjudul "The Aberfan Disaster" menceritakan salah satu tragedi paling kelam di Inggris Raya tahun 1966: longsor raksasa dari limbah tambang menelan desa Aberfan di Wales dan merenggut 144 nyawa, yang di mana sebagian besar nyawa tersebut adalah anak-anak sekolah.
Banyak orang saat itu menganggapnya sebagai bencana alam, takdir Tuhan yang tak terelakkan. Namun, sejarah membuktikan sebaliknya. Bencana tersebut adalah man-made disaster yang artinya "bencana ulah manusia" dan lahir dari kelalaian institusi, lemahnya regulasi, dan keengganan pemerintah mengawasi industri ekstraktif.
Perdana Menteri Harold Wilson digambarkan berada di posisi sulit: terjepit di antara publik yang marah, lembaga industri yang defensif, dan pihak kerajaan yang lambat merespons. Namun, pelajaran terpenting dari Aberfan bukanlah adegan dramatis di serial The Crown, melainkan pesan politik yang diwariskannya: bahwa negara harus hadir sebelum tragedi terjadi.
Konteks ini baru saja menampar kita ketika melihat apa yang terjadi di Sumatra. Banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat di penghujung 2025 ini mencatat angka yang mengerikan: 1.053 orang meninggal dan ratusan lainnya hilang. Ini bukan sekadar banjir; ini adalah tragedi kemanusiaan.
Respons Presiden Prabowo Subianto yang bergerak taktis patut kita apresiasi. Prabowo langsung menyetujui alokasi dana tambahan Rp4 miliar per kabupaten/kota terdampak serta tambahan Rp20 miliar per provinsi. Bantuan ini ditujukan secara spesifik untuk logistik bayi dan perempuan. Dalam situasi krisis, kehadiran fisik negara dan kucuran dana tunai adalah validasi dasar bahwa warga tidak dilupakan oleh negara.
Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni telah mengumumkan pencabutan 22 Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). Izin-izin yang dicabut ini mencakup lahan seluas lebih dari 116.000 hektare di Sumatra. Langkah ini adalah langkah struktural yang ditunggu-tunggu, yang sejalan dengan semangat reformasi sistem setelah Aberfan. Namun, pertanyaannya kini bergeser: apakah pencabutan 22 izin ini cukup untuk menjamin bencana tidak terulang tahun depan?
Narasi "cuaca ekstrem" tidak lagi cukup untuk menjelaskan mengapa ratusan nyawa melayang. Menurut data WALHI, Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah kehilangan sedikitnya 1,4 juta hektare hutan selama 2016-2025. Kehilangan tersebut diakibatkan oleh aktivitas 631 perusahaan pemegang izin tambang, sawit, dan kehutanan.
Tragedi Aberfan mengajarkan, bencana yang dipicu oleh kerusakan sistem harus dijawab dengan perombakan sistem, bukan cuma dengan empati sesaat. Pencabutan 22 izin adalah permulaan yang bagus, tetapi ini baru sebagian kecil dari masalah yang jauh lebih besar.
Langkah Tegas Sudah Ada, Tapi Apa yang Belum Menyeluruh?
Pencabutan 22 izin nakal oleh Raja Juli yang tidak bisa menjaga konsesi hutan adalah langkah penegakan hukum yang luar biasa. Ini menunjukkan keberanian. Akan tetapi, publik berhak menagih langkah lanjutan yang harus menyentuh seluruh akar masalah deforestasi 1,4 juta hektare tersebut. Kita sudah melihat ketegasan, tetapi kita belum melihat perubahan sistem yang menyeluruh.
Keberanian mencabut izin harus disusul dengan investigasi independen total. Raja Juli sudah mencabut 22 izin, tetapi data dari WALHI menyebut ada ratusan perusahaan, tepatnya 631 perusahaan, yang beroperasi di wilayah kritis Sumatra.
Oleh karena itu, perlu segera dibentuk komisi khusus yang wajib mengaudit total seluruh izin perusahaan ini. Tanpa audit menyeluruh, kita tidak akan pernah tahu perusahaan mana lagi yang lahannya melewati batas kawasan lindung dan memicu bencana di masa depan.
Selain audit total, pemerintah juga harus menerapkan moratorium di wilayah rawan bencana. Bantuan dana untuk korban akan sia-sia jika izin pembukaan lahan baru di hulu sungai seperti di Batang Toru (Sumatra Utara) atau daerah aliran sungai Aia Dingin (Sumatra Barat) tetap berjalan. Pemerintah perlu berani menghentikan sementara izin baru di zona merah bencana. Sebab, keselamatan rakyat jauh lebih penting daripada keuntungan jangka pendek.
Terakhir, semua upaya fisik membangun kembali jembatan dan jalan wajib diimbangi dengan restorasi ekologis masif. Infrastruktur yang dibangun kembali hanya menunggu waktu untuk disapu banjir berikutnya jika reboisasi besar-besaran di hulu sungai yang gundul tidak segera dilakukan, agar hutan kembali berfungsi sebagai penahan air alami.
Titik Balik
Tragedi Aberfan mengajarkan bahwa duka tidak boleh berakhir sebagai siklus berita satu minggu. Inggris mengubah total sistem industri tambang mereka.
Indonesia punya kesempatan yang sama. Pencabutan 22 izin oleh Raja Juli adalah langkah penegakan hukum yang luar biasa. Ini menunjukkan keberanian.
Namun, tanpa langkah struktural lanjutan seperti audit total, moratorium, dan restorasi ekologis, kita hanya akan mengulang pola lama: krisis datang, negara datang memberi bantuan dan mencabut sedikit izin, lalu semua orang lupa sampai mayat-mayat kembali ditemukan tahun depan.
Korban bencana berhak mendapatkan lebih dari sekadar mie instan dan selimut; mereka berhak mendapatkan jaminan bahwa tragedi mereka tidak akan terulang. Jaminan itu hanya bisa diwujudkan jika pemerintah berani membenahi benang kusut perizinan yang selama ini mencekik hutan Sumatra.
(miq/miq)

:strip_icc()/kly-media-production/medias/4952212/original/010743700_1727200680-WhatsApp_Image_2024-09-25_at_00.30.51_51a13929.jpg)


