Tiga Pekan Bencana, Sumatera Belum Pulih, Pakar Kebijakan Publik: Status Nasional Sangat Penting

fajar.co.id
3 jam lalu
Cover Berita

Fajar.co.id, Makassar — Hampir tiga pekan rangkaian bencana hidrometeorologi melanda sejumlah wilayah di Sumatera, terutama Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Banjir bandang dan tanah longsor merusak rumah warga, memutus akses jalan-jembatan, serta mengganggu layanan dasar.

Di tengah penanganan darurat yang masih berlangsung, perhatian publik mengarah pada satu isu, mengapa pemerintah belum menetapkan status bencana nasional untuk bencana yang meluas di tiga provinsi itu?

Bagi sebagian kalangan khususnya di daerah terdampak, status tersebut dipandang penting karena terkait kewenangan, percepatan bantuan, dan kepastian pendanaan pemulihan sosial-ekonomi.

Pemerintah pusat, di sisi lain, menegaskan prioritasnya adalah percepatan penanganan di lapangan, apa pun statusnya, sembari terus mengoordinasikan dukungan lintas kementerian/lembaga.

Merespon persoalan ini, Pakar Kebijakan Publik Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar Dr Ihyani Malik berpandangan, polemik status tidak boleh mengaburkan kebutuhan korban, namun tetap perlu dipahami sebagai instrumen kebijakan yang berpengaruh langsung pada desain komando, pembiayaan, dan ritme pemulihan.

Hal itu diungkapkan Ihyani, saat ditemui di Kampus Unismuh Makassar, pada Rabu, 17 Desember 2025

Kriteria Bencana Nasional

Ihyani menjelaskan, regulasi penanggulangan bencana menyediakan ukuran untuk menilai kelayakan penetapan status bencana nasional. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana memuat indikator yang menjadi basis pertimbangan pemerintah pusat, mulai dari jumlah korban, besaran kerugian, kerusakan prasarana-sarana, luas wilayah terdampak, hingga dampak sosial-ekonomi.

“Intinya, jika dampak bencana melampaui kapasitas daerah dan membutuhkan intervensi penuh pemerintah pusat, statusnya bisa dinaikkan,” kata Ihyani, yang merupakan Dosen Ilmu Administrasi Negara Unismuh Makassar.

Dalam konteks Sumatera, Ihyani melihat gejala bencana yang tidak lagi bersifat lokal. Dampak meluas lintas kabupaten/kota dan terjadi hampir bersamaan di beberapa provinsi, sehingga menuntut koordinasi antarwilayah, termasuk dalam distribusi logistik, penanganan pengungsi, pemulihan akses transportasi, dan pemulihan layanan dasar.

Meski demikian, Ia mengingatkan bahwa penetapan status nasional tidak semata soal angka, melainkan juga keputusan politik-administratif yang mempertimbangkan kapasitas respons, skema koordinasi, serta konsekuensi pembiayaan dan akuntabilitas.

“Sejak reformasi, tidak banyak peristiwa yang diberi status bencana nasional. Tsunami Aceh 2004 dan pandemi COVID-19 contoh yang paling menonjol,” ujar Ihyani, yang juga Wakil Rektor II Unismuh Makassar.

Karena itu, menurutnya, pemerintah biasanya berhati-hati agar status nasional tidak menjadi label rutin, tetapi dipakai pada situasi yang benar-benar luar biasa.

Implikasi Status Bencana Nasional

Dalam perspektif kebijakan publik, Ihyani menyebut status nasional memengaruhi “arsitektur komando” dan “jalur sumber daya”. Bila status bencana nasional ditetapkan, koordinasi operasional cenderung lebih terpusat. Pemerintah pusat melalui BNPB dan kementerian/lembaga dapat memobilisasi personel, logistik, serta anggaran rehabilitasi-rekonstruksi pada skema yang lebih cepat dan besar.

“Status nasional memperjelas satu komando. Mobilisasi sumber daya bisa lebih terkoordinasi, pendanaan pemulihan pun lebih leluasa,” kata Ihyani.

Di wilayah bencana yang meluas seperti Sumatera, ia menilai satu komando memberi keuntungan tambahan: sinkronisasi antarprovinsi. Pasalnya, kebutuhan di Aceh, Sumut, dan Sumbar tidak identik. Ada wilayah yang membutuhkan pembukaan akses karena desa-desa terisolasi, ada yang mendesak pemulihan jembatan, ada pula yang memerlukan layanan kesehatan dan air bersih dalam skala besar. Tanpa orkestrasi yang kuat, bantuan bisa menumpuk di satu titik, sementara titik lain kekurangan.

Beban Koordinasi di Daerah Makin Berat

Jika status nasional tidak ditetapkan, bencana tetap berstatus daerah. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota menjadi penanggung jawab utama, sedangkan pemerintah pusat berada pada posisi mendukung. Menurut Ihyani, dukungan pusat tetap bisa maksimal, tetapi jalur koordinasinya berbeda. Pemerintah daerah harus mengonsolidasikan data, memetakan kebutuhan, mengatur distribusi, sekaligus merespons tekanan publik.

“Tanpa status nasional, beban koordinasi lebih berat di daerah. Potensi tarik-menarik kewenangan bisa muncul, apalagi ketika kebutuhan lapangan sangat besar,” ujarnya.

Ihyani mencermati risiko lain, munculnya “komando ganda” yang membuat keputusan lapangan melambat. Daerah menunggu dukungan pusat untuk infrastruktur dan logistik besar, sementara pusat menunggu laporan detail dari daerah. Dalam keadaan darurat, keterlambatan kecil berdampak pada distribusi bantuan, pemulihan listrik, layanan kesehatan, dan akses air bersih.

Beban Psikologis dan Darurat Nafkah Warga

Ihyani menekankan, diskusi status bencana tidak boleh meminggirkan kondisi psikologis warga. Dalam situasi bencana yang berlangsung berhari-hari, kelelahan sosial muncul: pengungsi menghadapi ketidakpastian, kebutuhan logistik tersendat, dan layanan dasar belum stabil. Di beberapa titik, muncul simbol-simbol protes dan seruan bantuan dari warga.

“Pada momen seperti ini, negara harus hadir bukan hanya dalam bentuk bantuan, tetapi juga kepastian: siapa memimpin, bagaimana alur distribusi, dan kapan pemulihan dimulai,” kata Ihyani.

Dari sisi ekonomi, rangkaian bencana hidrometeorologi ini menghentikan pendapatan harian, seperti pertanian dan kebun rusak, aktivitas dagang lumpuh, transportasi terganggu, dan banyak keluarga memasuki fase “darurat nafkah”. Ihyani mengingatkan, semakin lama fase tanggap darurat, semakin besar risiko rumah tangga jatuh miskin permanen.

“Kalau pemulihan terlambat, kerentanan sosial bisa meningkat. Karena itu kebijakan harus memberi kepastian dan kecepatan,” ujarnya.

Sinergi Pusat–Daerah

Dalam penanganan bencana, Ihyani melihat pemerintah daerah dan pusat sama-sama bekerja, tetapi membutuhkan mekanisme yang lebih tegas agar tidak ada celah koordinasi. Pemerintah daerah bergerak melalui status tanggap darurat, perangkat daerah, serta kolaborasi relawan. Pemerintah pusat mengerahkan BNPB, Kemensos, TNI-Polri, dan kementerian teknis untuk dukungan.

“Masalahnya bukan semata niat, tetapi desain koordinasinya. Harus satu garis agar keputusan di lapangan cepat,” kata Ihyani.

Jika status nasional belum dipilih, ia menyarankan opsi penguatan komando terpadu: satgas gabungan pusat–daerah lintas provinsi dengan mandat jelas untuk distribusi logistik, percepatan perbaikan infrastruktur vital, serta pemulihan layanan dasar, dengan standar pelaporan dan pembagian peran yang tegas.

Tiga Langkah Mendesak

Ihyani menyebut tiga langkah kebijakan yang paling mendesak.

Pertama, pemerintah pusat perlu mengambil keputusan yang tegas dan komunikatif terkait status bencana nasional, disertai penjelasan terbuka mengenai dasar pertimbangannya. “Keputusan itu memberi kepastian arsitektur penanganan,” kata Ihyani.

Kedua, pemerintah harus memastikan hambatan distribusi bantuan disapu bersih: wilayah terisolasi dibuka aksesnya, jembatan darurat disiapkan, jalur alternatif diaktifkan, dan jika perlu bantuan udara dipakai untuk logistik.

Ketiga, pemulihan harus dirancang sejak dini dengan prinsip build back better: relokasi dari zona rawan, infrastruktur tahan bencana, sistem peringatan dini, serta program pemulihan nafkah bagi warga terdampak. Kelompok rentan, seperti anak, lansia, difabel, harus menjadi prioritas layanan kesehatan, perlindungan sosial, dan hunian sementara.

“Pemulihan Sumatera tidak cukup membangun fisik. Yang dipulihkan adalah kehidupan sosial masyarakat,” ujar Ihyani.

Ihyani menutup dengan mengingatkan agar perdebatan status tidak berubah menjadi kompetisi narasi antara pusat dan daerah. “Fokus utama jangan teralihkan. Keselamatan dan pemulihan warga di Aceh, Sumut, dan Sumbar harus jadi prioritas nomor satu,” kata Ihyani Malik. (sam/fajar)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Prabowo Minta Pejabat di Papua Tak Pakai Dana Otsus untuk Urusan Luar Negeri
• 4 jam lalugenpi.co
thumb
Sedia Payung, BMKG: Hujan Guyur Jakarta hingga Malam Hari Rabu Ini
• 7 jam lalukompas.tv
thumb
Dito Ariotedjo Tegaskan Davina Karamoy Bukan Pelakor, Baru Kenal Setelah Sidang Cerai
• 7 jam laluharianfajar
thumb
Persatuan Ummat Islam Desak Pemkot Bekasi  Berani Tindak Tegas Segitiga Spa and Massage
• 5 jam lalurealita.co
thumb
Meningkatnya Pengangguran Putus Asa di Indonesia Tahun Ini
• 4 jam lalukatadata.co.id
Berhasil disimpan.