Pesan Terakhir dari Hutan yang Kita Bunuh

kumparan.com
5 jam lalu
Cover Berita

Ribuan gelondongan kayu yang menumpuk di sepanjang pantai Kota Padang beberapa hari terakhir bukan sekadar sisa banjir bandang. Mereka bukan benda mati yang hanyut tanpa makna. Mereka adalah pesan. Mereka adalah suara. Mereka adalah bukti telanjang bahwa hutan—tempat mereka dulu hidup, berdiri, dan menjaga keseimbangan alam—telah lama kita perlakukan sebagai musuh.

Kayu-kayu itu seperti mayat yang mengapung setelah pembantaian. Mereka terkumpul di pantai, di muara sungai, di selokan kota, seakan ingin mengatakan sesuatu. Dan jika kita mau diam sejenak, kita akan mendengar mereka bicara: “Rumah kami dihancurkan. Kami ditebang. Hari ini rumah kalian yang luluh lantak.”

Banjir dan longsor besar yang melanda Sumatera Barat bukan sekadar akibat cuaca ekstrem. Curah hujan mungkin tinggi, musim basah mungkin datang lebih cepat, dinamika iklim mungkin sedang bergeser. Namun air bah sebesar itu tidak akan membawa ribuan batang kayu kecuali ada satu penjelasan: hutan di hulu telah dilubangi, dipreteli, dan ditelanjangi manusia. Dan ketika lereng kehilangan penopangnya, ketika akar-akar yang dulu mencengkeram tanah hilang, ketika pepohonan yang seharusnya menahan air digergaji untuk keuntungan sesaat, maka bencana hanyalah soal waktu.

Ironisnya, kayu-kayu itu pulang. Mereka kembali kepada kita, bukan sebagai rumah, bukan sebagai meja makan, bukan sebagai lembar kertas di perpustakaan—melainkan sebagai amarah alam. Mereka kembali sebagai peluru yang ditembakkan oleh keserakahan kita sendiri.

Di banyak tempat, sungai-sungai di Sumatera Barat kini tak lagi mengenal batas. Mereka meluap bukan karena ingin, tetapi karena tak mampu lagi menahan air. Sepanjang daerah hulu, pembalakan liar, perambahan kebun, dan alih fungsi hutan berlangsung seperti ritual tahunan. Kita selalu tahu, tapi jarang benar-benar mau melihat.

Kita sering berbicara tentang konservasi, tetapi yang ditandatangani justru izin-izin yang semakin memperkecil hutan primer. Kita mengutuk illegal logging, tetapi kita diam ketika truk kayu melintas malam-malam tanpa lampu. Kita memuja alam Minangkabau sebagai anugerah, tetapi kita juga yang paling kencang menebang paru-parunya.

Maka ketika kayu-kayu itu berkumpul di pantai, sesungguhnya mereka hanya menunjukkan konsekuensi dari pilihan kolektif kita. Pilihan untuk tutup mata. Pilihan untuk percaya bahwa hutan adalah stok barang yang tak pernah habis. Pilihan untuk menghalalkan pembukaan lahan demi keuntungan cepat, tanpa memikirkan apa yang terjadi pada generasi berikutnya.

Yang lebih menyedihkan, setiap kali bencana datang, kita terdengar sangat ahli menjelaskan penyebabnya—mulai dari intensitas hujan, topografi, cuaca ekstrem, hingga faktor-faktor meteorologis lain. Padahal penyebab paling jelas justru ada pada kita sendiri: kerakusan. Air mungkin turun dari langit, tapi banjir lahir dari bumi yang disakiti. Alam bukan menghukum kita; alam hanya menunjukkan apa jadinya ketika ia kehilangan pelindungnya.

Dalam tragedi ini, kayu-kayu itu menjadi pengingat keras bahwa hutan bukan hanya kumpulan pohon. Ia adalah sistem kehidupan yang menahan air, menyimpan karbon, menyaring udara, merawat keanekaragaman hayati, dan menjadi pagar pelindung bagi ribuan desa di bawahnya. Ketika sistem itu dirusak, maka rumah, sekolah, masjid, bahkan nyawa manusia menjadi taruhannya.

Kita sering berkata ingin membangun daerah. Kita ingin ekonomi tumbuh, infrastruktur berkembang, investasi masuk. Tapi pembangunan tanpa ekologi hanyalah bom waktu. Sungai-sungai yang kini membawa kayu bukan lagi sungai yang kita kenal di masa kecil. Mereka membawa cerita tentang hilangnya hutan adat, tentang izin-izin yang terlalu mudah keluar, tentang aparat yang tak berdaya menghadapi mafia kayu, dan tentang masyarakat yang kadang terpaksa menebang demi bertahan hidup.

Lalu apakah kita masih punya waktu? Tentu, selama hutan belum habis total. Tetapi waktu itu makin tipis. Kayu-kayu yang hari ini berserakan di pantai Padang seharusnya menjadi peringatan terakhir sebelum lebih banyak desa tenggelam, lebih banyak lereng runtuh, dan lebih banyak nyawa melayang.

Kayu sudah bicara. Pertanyaannya, apakah kita mau mendengar? Atau kita menunggu sampai suatu hari bukan hanya kayu yang datang menghantam rumah kita, tetapi seluruh bukit yang runtuh?

Jika kita tetap membiarkan hutan hilang, maka kita tidak sedang membangun masa depan—kita sedang menggali kubur kita sendiri.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Eks Ketua DPRD Jatim Kusnadi Meninggal, KPK Setop Penyidikan Kasusnya!
• 16 jam laluokezone.com
thumb
Putra Ditangkap Usai Sutradara Rob Reiner dan Istri Ditemukan Tewas Bersimbah Luka Tusuk
• 23 jam laluinsertlive.com
thumb
Libur Nataru 2025/2026, Joki di Puncak Bakal Jadi Relawan  
• 3 jam lalujpnn.com
thumb
Mengerikan! Bocah 10 Tahun di Halmahera Selatan Diterkam Buaya, Tim SAR Cari Korban
• 2 jam lalurctiplus.com
thumb
Antisipasi Angin Kencang, Pramono Instruksikan Pangkas Pohon Tua di Jakarta
• 22 jam lalusuara.com
Berhasil disimpan.