Beredarnya surat dari Aceh untuk meminta bantuan internasional sempat jadi polemik. Bahkan Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem tidak tahu adanya surat itu.
Terkait polemik ini, peneliti utama Indikator Politik Indonesia, Bawono Kumoro, menyoroti munculnya dugaan politisasi bencana banjir dan longsor di Aceh, menyusul beredarnya informasi mengenai adanya surat permohonan dukungan kepada lembaga internasional yang disebut tidak diketahui oleh Pemerintah Aceh.
Bawono menilai, di tengah situasi krisis, kemunculan narasi yang tidak sejalan dengan pernyataan resmi pemerintah daerah patut dicermati secara kritis.
“Ketika kepala daerah menyatakan tidak mengetahui adanya surat tersebut, publik wajar mempertanyakan siapa aktor di balik langkah itu dan untuk kepentingan apa,” ujar Bawono, Rabu (17/12).
Ia mengingatkan bahwa bencana kerap menjadi ruang sensitif yang rawan dimanfaatkan untuk membangun drama politik atau framing tertentu di ruang publik.
“Ini bukan soal bantuan asing atau tidak, melainkan soal bagaimana narasi dibentuk. Jika ada pihak ketiga yang membangun kesan seolah-olah Aceh membutuhkan intervensi luar karena negara absen, hal ini berpotensi berbahaya secara politik dan sosial,” katanya.
Menurut Bawono, masyarakat Aceh memiliki karakter yang kuat dan bermartabat. Dalam sejarahnya, masyarakat Aceh tidak pernah menjadikan bencana sebagai alat untuk meminta-minta bantuan.
“Bantuan tentu sah dan baik, tetapi harus diletakkan dalam kerangka solidaritas serta mekanisme resmi. Bukan untuk dipolitisasi,” ujarnya.
Ia menegaskan, penanganan bencana seharusnya difokuskan pada kerja nyata di lapangan, transparansi distribusi bantuan, serta percepatan pemulihan masyarakat terdampak.
“Semua pihak seharusnya menahan diri agar tidak menyeret bencana ke kepentingan lain yang justru mengaburkan upaya kemanusiaan,” tutup Bawono.
Hal senada disampaikan, pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah. Trubus mengingatkan agar penanganan bencana banjir dan longsor di Aceh tidak diseret ke ruang politisasi, menyusul beredarnya informasi mengenai adanya surat permohonan dukungan kepada lembaga internasional yang disebut tidak diketahui oleh Pemerintah Aceh.
Menurut Trubus, penanganan bencana merupakan domain tata kelola negara yang harus dijalankan melalui mekanisme resmi serta koordinasi yang jelas antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
“Jika ada langkah yang berjalan di luar sepengetahuan pemerintah daerah, apalagi terkait komunikasi dengan pihak asing, hal itu perlu dikritisi agar bencana tidak dijadikan ruang politisasi atau kepentingan lain,” ujar Trubus.
Ia merujuk pada pernyataan Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem yang menegaskan tidak mengetahui adanya surat permohonan bantuan kepada lembaga internasional, serta menyatakan bahwa surat tersebut bukan dibuat oleh Pemerintah Aceh.
Trubus menekankan bantuan internasional bukan isu yang terlarang, tapi harus ditempatkan dalam kerangka kewenangan dan prosedur resmi negara.
“Yang menjadi masalah bukan bantuan itu sendiri, melainkan cara dan jalur yang ditempuh. Jika tidak melalui otoritas yang sah, hal itu berpotensi menimbulkan distorsi tata kelola,” katanya.
Menurutnya, Aceh memiliki pengalaman dan kapasitas sosial yang kuat dalam menghadapi bencana. Negara juga telah hadir melalui berbagai instrumen dan lembaga terkait dalam penanganan darurat.
“Oleh karena itu, yang perlu dijaga adalah fokus pada pemulihan dan keselamatan warga, bukan membangun narasi yang berpotensi memicu perpecahan serta melemahkan kepercayaan publik,” ujar Trubus. Ia mengingatkan seluruh pihak untuk menahan diri dan tidak menjadikan bencana sebagai ruang kontestasi politik.




