EtIndonesia. Konflik bersenjata di perbatasan Thailand–Kamboja terus mengalami eskalasi serius dan kini telah memasuki hari ke-9 sejak bentrokan pertama pecah. Pada malam 15 Desember 2025, Angkatan Darat Kerajaan Thailand secara resmi mengumumkan keberhasilan operasi militernya dalam merebut sebuah pangkalan militer milik Kamboja di kawasan perbatasan yang disengketakan.
Dalam pernyataan yang disampaikan melalui media sosial resmi militer Thailand, disebutkan bahwa Resimen Infanteri ke-17 berhasil menguasai pangkalan tersebut setelah pertempuran sengit. Dari lokasi itu, pasukan Thailand menyita sejumlah besar persenjataan dan perlengkapan militer buatan Tiongkok yang sebelumnya berada di tangan militer Kamboja.
Senjata Antitank Generasi Kelima Disita
Di antara barang sitaan paling menonjol adalah sistem rudal antitank generasi kelima, yang disebut-sebut sebagai model terbaru produksi Poly Defence China. Sistem ini menggunakan pemandu pencitraan inframerah (infrared imaging guidance) dan oleh para analis militer dinilai memiliki kemampuan yang mendekati rudal Javelin buatan Amerika Serikat.
Keberadaan senjata berteknologi tinggi tersebut menarik perhatian luas, karena menunjukkan tingkat modernisasi militer Kamboja yang sangat bergantung pada persenjataan Tiongkok. Militer Thailand menduga kuat bahwa pasukan Kamboja belum sepenuhnya menguasai pengoperasian sistem tersebut, atau bahkan meninggalkannya saat melakukan penarikan mundur secara tergesa-gesa.
Thailand Klaim Rampasan Perang Sah
Juru bicara Kementerian Pertahanan Thailand, Surasan, menegaskan bahwa berdasarkan hukum internasional, senjata yang disita di medan perang merupakan rampasan perang yang sah dan berhak disimpan oleh pihak pemenang konflik.
Dia menambahkan bahwa perolehan ini tidak hanya melemahkan kemampuan tempur Kamboja, tetapi juga membuka peluang bagi Thailand untuk mempelajari teknologi persenjataan terbaru Tiongkok secara langsung.
Serangan Udara Besar-besaran dan Klaim Supremasi Udara
Pada saat yang sama, Thailand melancarkan serangan balasan berskala besar. Angkatan Udara Thailand mengerahkan jet tempur F-16 dan Gripen, yang dilaporkan beberapa kali menembus wilayah udara Kamboja hingga sekitar 70 kilometer untuk menyerang dua target militer utama.
Pihak Kamboja mengatakan bahwa pesawat tempur Thailand bergerak hampir tanpa perlawanan berarti, sebuah klaim yang memperkuat pernyataan Bangkok bahwa sistem pertahanan udara Kamboja sangat lemah.
Militer Thailand pun menyatakan bahwa mereka kini telah menguasai supremasi udara penuh di wilayah konflik.
Serangan Laut dan Darat, Konflik Merembet ke Pesisir
Selain operasi udara, Angkatan Laut Thailand turut melancarkan tembakan artileri ke wilayah sekitar Pulau Goyao, menargetkan pos artileri, gudang senjata, dan jalur logistik militer Kamboja. Thailand mengklaim telah menetralisir sekitar 80% ancaman militer di sektor tersebut.
Sementara itu, pasukan darat Thailand dilaporkan berhasil merebut sejumlah dataran tinggi strategis dan wilayah sengketa, dengan konflik kini mulai merembet ke kawasan pesisir. Pemerintah Thailand bahkan mempertimbangkan pemblokiran pasokan bahan bakar ke Kamboja sebagai bentuk tekanan tambahan.
Serangan ke Kawasan Penipuan dan Kasino Ilegal
Dalam beberapa hari terakhir, Angkatan Udara Thailand juga melakukan serangan udara dan tembakan artileri ke wilayah utara Kamboja, yang diduga kuat menjadi lokasi kompleks penipuan telekomunikasi lintas negara dan kasino ilegal.
Sejumlah bangunan dilaporkan hancur. Rekaman video yang beredar memperlihatkan warga dari berbagai negara, termasuk Tiongkok, India, dan Pakistan, melarikan diri secara panik di sepanjang jalan raya.
Pemerintah Thailand menyatakan bahwa operasi ini bertujuan untuk memberantas kejahatan lintas negara, khususnya penipuan daring dan perdagangan manusia yang dikenal sebagai pig-butchering scam.
Dugaan Keterlibatan Jaringan Besar
Mantan jurnalis warga sekaligus pengacara Tiongkok, Chen Qiushi, mengungkapkan bahwa pembangunan kawasan penipuan di Asia Tenggara bukan perkara sederhana. Dia merinci setidaknya empat syarat utama:
- Menyuap operator telekomunikasi besar untuk memperoleh banyak kartu SIM Tiongkok.
- Menyuap platform teknologi dan maskapai penerbangan guna mengakses data pribadi warga.
- Menyuap aparat keamanan dan perbatasan di wilayah Guangxi dan Yunnan untuk memudahkan penyelundupan manusia.
- Memiliki modal besar untuk menyewa pabrik, membangun kawasan penipuan, membeli peralatan, merekrut penjaga bersenjata, dan membayar perlindungan kelompok lokal.
“Kelompok kriminal biasa mana yang mampu melakukan semua itu?” tanyanya secara retoris.
Tekanan Internasional dan Tuduhan Keterlibatan Pihak Ketiga
Sekitar 8 hari sebelum konflik ini, Komisi Komunikasi Federal AS (FCC) memerintahkan China Mobile, China Telecom, dan China Unicom memperbaiki sistem sertifikasi anti-robocall dalam waktu 14 hari, atau menghadapi pencabutan sertifikasi. Langkah ini dinilai sebagai upaya memutus akar penipuan telekomunikasi global.
Pada 15 Desember 2025, Komando Militer Wilayah Kedua Thailand secara langka merilis pernyataan dalam bahasa Mandarin, menuduh personel dari negara ketiga membantu militer Kamboja mengoperasikan drone untuk menyerang posisi Thailand.
Dalam dua hari terakhir, serangan tersebut dilaporkan menewaskan 4 tentara Thailand dan melukai 120 lainnya. Thailand menegaskan bahwa tindakan ini melanggar hukum internasional dan akan diselidiki secara menyeluruh.
Reaksi Publik dan Dukungan Internasional
Gelombang dukungan publik pun bermunculan. Banyak warganet membanjiri akun media sosial Kedutaan Besar Thailand di Tiongkok, mengucapkan terima kasih karena tidak lagi menerima panggilan penipuan. Sebagian menyebut Thailand sebagai “kekuatan besar sejati di Timur”, bahkan menyatakan dukungan dengan berwisata ke Thailand.
Dimensi Geopolitik: Perang Proksi dan Masa Depan ASEAN
Kamboja kerap dijuluki sebagai “Hainan kedua”, dengan tudingan bahwa Tiongkok tidak hanya berinvestasi secara militer, tetapi juga disebut memiliki fasilitas sensitif di wilayah tersebut. Pertanyaan pun muncul: apakah Vietnam akan menjadi sasaran berikutnya, dan apakah kepemimpinan ASEAN akan bergeser?
Dengan anggaran militer Kamboja sekitar 600 juta dolar AS per tahun, sangat timpang dibandingkan Thailand yang mencapai 6 miliar dolar AS, para analis menilai bahwa jika konflik meningkat, rezim Hun Sen dan keluarganya akan terkena dampak paling awal.
Situasi ini bahkan dibandingkan dengan tekanan terhadap rezim Nicolas Maduro di Venezuela, di mana tekanan eksternal dan internal kian menyempitkan ruang gerak penguasa.
Peringatan Perjalanan dan Sikap Resmi Thailand
Kedutaan Besar Amerika Serikat di Thailand telah mengeluarkan peringatan perjalanan, meminta warga AS menghindari wilayah dalam radius 50 km dari perbatasan Thailand–Kamboja. Pemerintah Jepang juga mengimbau warganya untuk memantau situasi dengan saksama.
Pada 16 Desember 2025, pemerintah Thailand menegaskan bahwa konflik hanya dapat berakhir jika Kamboja terlebih dahulu menyatakan gencatan senjata. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Thailand, Maridi, menegaskan bahwa Thailand memandang Kamboja sebagai pihak agresor dan harus menunjukkan itikad baik, termasuk kerja sama dalam pembersihan ranjau perbatasan.
Analisis Militer: Bayangan Perang Proksi AS–Tiongkok
Sejumlah analis militer menilai konflik ini sebagai miniatur perang proksi Amerika Serikat–Tiongkok di Asia Tenggara. Thailand menggunakan sistem persenjataan dan pelatihan ala AS, sementara militer Kamboja sangat bergantung pada senjata dan dukungan Beijing.
Medan tempur sejauh ini menunjukkan keunggulan Thailand dalam kekuatan udara, artileri, dan kendali operasi, sementara dinamika geopolitik regional diperkirakan akan semakin memanas.



