Bukan Cinta Kalau Bikin Tersakiti! Ini 5 Langkah Keluar dari Hubungan Toksik

tabloidbintang.com
2 jam lalu
Cover Berita

TABLOIDBINTANG.COM - Mengakhiri hubungan yang toksik bukan perkara mudah. Bagi banyak orang, keputusan itu justru terasa lebih berat dibandingkan tetap bertahan di dalamnya. Beban tersebut makin berlipat ganda akibat campur tangan keluarga, rasa bersalah emosional, tekanan sosial, lingkar pertemanan yang sama, hingga ketakutan akan komentar orang lain.

Namun ada satu kebenaran yang sering disadari terlambat: hubungan yang menguras energi, mengontrol, menimbulkan rasa takut, atau membuat seseorang terus meragukan dirinya sendiri bukanlah cinta. Dan memilih untuk pergi dari hubungan seperti itu bukanlah kegagalan, melainkan bentuk penghargaan terhadap diri sendiri.

Bagi mereka yang merasa ada sesuatu yang sangat keliru tetapi belum tahu bagaimana cara keluar, berikut lima langkah nyata dan praktis untuk mengakhiri hubungan toksik tanpa kehilangan diri sendiri.

1. Jujurlah pada diri sendiri sebelum pada siapa pun
Sebelum berhadapan dengan pasangan atau mengumumkan apa pun ke publik, kejujuran pada diri sendiri adalah hal utama—bukan versi yang disaring, melainkan yang paling tidak nyaman.

Ajukan pertanyaan sederhana: Apakah Anda lebih sering cemas daripada bahagia? Takut menyuarakan pendapat? Terus meminta maaf meski tidak salah? Merasa diri Anda semakin kecil dari waktu ke waktu?

banyak orang diajarkan untuk beradaptasi, berkompromi, dan “membuat semuanya berhasil” dengan harga apa pun—terutama perempuan. Namun penyesuaian diri tidak seharusnya mengorbankan kesehatan mental, martabat, atau keselamatan. Jika tubuh dan pikiran terus berada dalam mode siaga, itu adalah tanda yang perlu dipercaya.

Menuliskan semuanya dapat membantu. Pola yang terlihat di atas kertas sering kali membuat kebenaran tak lagi bisa diabaikan.

2. Berhenti menunggu penutupan (closure) yang mungkin tak pernah datang
Salah satu alasan terbesar orang terjebak dalam hubungan toksik adalah harapan akan penutupan: permintaan maaf, momen kejelasan, atau percakapan terakhir yang membuat segalanya masuk akal.

Kenyataannya, orang yang toksik jarang memberi penutupan yang bersih. Mereka menghindari tanggung jawab, memutarbalikkan fakta, menangis saat dihadapkan, atau tiba-tiba berjanji berubah. Dalam sekejap, Anda pun terseret kembali.

Anda tidak memerlukan izin siapa pun untuk pergi. Rasa sakit Anda tidak perlu dipahami orang lain agar menjadi sah. Terkadang, penutupan adalah keputusan untuk memilih kedamaian daripada penjelasan.

Dalam banyak hubungan—terutama yang sudah lama atau melibatkan keluarga—ada tekanan untuk “mengakhiri dengan baik”. Melindungi kesehatan mental juga merupakan akhir yang baik.

3. Tetapkan batasan yang jelas dan patuhi
Ketika keputusan sudah dibuat, sampaikan dengan tegas—tanpa dramatis, tanpa kejam.

Ucapkan seperlunya dan hindari debat emosional yang panjang. Pasangan toksik sering berkembang dalam kebingungan dan sinyal campur aduk. Jika pintu dibiarkan setengah terbuka, mereka akan terus mengetuk.

Ini juga berarti membatasi kontak setelah putus. Memblokir atau membisukan bukan tindakan kekanak-kanakan, melainkan upaya melindungi diri—terutama jika hubungan melibatkan manipulasi emosional, gaslighting, atau kontrol.

Di situasi di mana mantan kerap berada dalam lingkar pertemanan, acara keluarga, atau tempat kerja yang sama, batasan menjadi semakin penting. Anda berhak menolak “sekadar mengobrol”, “mengecek kabar”, atau “tetap berteman” jika itu menyakiti Anda.

Penyembuhan membutuhkan ruang. Ambillah.

4. Bersiap menghadapi rasa bersalah, tekanan, dan reaksi emosional
Bagian ini jarang dibicarakan, namun nyata.

Setelah mengakhiri hubungan toksik, rasa bersalah sering datang bertubi-tubi. Anda mungkin merasa egois atau terlalu cepat menyerah. Keluarga bisa menekan untuk mempertimbangkan ulang. Teman menyarankan untuk “sedikit mengalah”.

Pasangan toksik mungkin menangis, mengancam, menyalahkan, atau tiba-tiba menampilkan sosok yang selama ini Anda dambakan. Ini sangat membingungkan.

Ingat kembali alasan Anda pergi. Buka catatan, baca ulang pertimbangan Anda. Bicaralah dengan seseorang yang mengetahui cerita secara utuh, bukan hanya sisi baiknya.

Anda tidak bertanggung jawab memperbaiki seseorang yang menolak berubah. Memilih diri sendiri bukanlah tindakan kejam.

5. Bangun kembali diri Anda secara perlahan, tanpa terburu-buru memulai yang baru
Usai hubungan toksik berakhir, sering muncul rasa hampa. Rutinitas berubah. Ponsel terasa lebih sunyi. Emosi berayun antara lega dan sedih.

Jangan terburu-buru mengisi kekosongan dengan hubungan baru atau distraksi semata demi menghindari ketidaknyamanan. Hadapi perasaan itu. Pulihlah dengan benar.

Luangkan waktu untuk kembali mengenal diri sendiri—minat, batasan, dan kebutuhan Anda. Proses ini mungkin lambat, tetapi di sanalah kekuatan Anda tumbuh kembali.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Penikaman di Sekolah Rusia, Seorang Anak Tewas
• 8 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Digugat Cerai Atalia Praratya, Ridwan Kamil Gandeng 8 Pengacara
• 4 jam lalurctiplus.com
thumb
Pemprov Kepri Percepat Renovasi 99 RTLH di Sejumlah Daerah
• 1 jam lalutvrinews.com
thumb
PBNU Salurkan Bantuan Korban Bencana Aceh dari Sumabnagn Rapat Pleno
• 13 jam lalutvonenews.com
thumb
Hari ke-9 Perang Thailand–Kamboja: Pangkalan Direbut, Rudal China Disita, Asia Tenggara Darurat
• 3 jam laluerabaru.net
Berhasil disimpan.