Bank Indonesia (BI) memperkuat bauran kebijakannya untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di tengah transmisi suku bunga yang dinilai belum optimal. Hingga pertengahan Desember 2025, bank sentral telah menggelontorkan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) senilai Rp 388,1 triliun kepada perbankan, dengan sasaran utama mempercepat penurunan suku bunga kredit sekaligus mendorong penyaluran pembiayaan ke sektor riil.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, langkah ini menjadi bagian dari penguatan kebijakan makroprudensial yang berbasis kinerja dan berorientasi ke depan. Dia menilai pelonggaran moneter yang sudah dilakukan sepanjang 2025 perlu direspons lebih cepat oleh perbankan, terutama melalui penyesuaian suku bunga kredit agar dunia usaha dan masyarakat kembali agresif mengakses pembiayaan.
Insentif KLM tersebut disalurkan ke berbagai kelompok bank. Bank BUMN menjadi penerima terbesar dengan nilai Rp 177,1 triliun, disusul bank swasta nasional (BUSN) Rp 169,5 triliun, bank pembangunan daerah (BPD) Rp 34,6 triliun, serta kantor cabang bank asing (KCBA) Rp 7,0 triliun. Dari sisi sektor, insentif diarahkan ke bidang prioritas seperti pertanian, industri dan hilirisasi, jasa termasuk ekonomi kreatif, konstruksi, real estate dan perumahan, serta UMKM, koperasi, inklusi, dan pembiayaan berkelanjutan.
“Penguatan kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) dan akselerasi digitalisasi sistem pembayaran juga ditempuh untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” kata Perry dalam konferensi pers, Rabu (17/12).
BI Minta Perbankan Turunkan Suku Bunga Lebih Cepat
BI secara tegas menyoroti masih lambatnya penurunan suku bunga kredit perbankan dibandingkan penurunan suku bunga dana. Untuk itu, bank sentral menyesuaikan skema insentif KLM agar lebih memberi imbal hasil bagi bank yang responsif menurunkan bunga kredit.
Sejak 16 Desember 2025, BI mempertahankan total insentif KLM paling tinggi sebesar 5,5 persen dari dana pihak ketiga (DPK). Namun, komposisinya diubah. Insentif dari penyaluran kredit ke sektor tertentu (lending channel) diturunkan dari maksimal 5 persen menjadi 4,5 persen dari DPK. Sebaliknya, insentif yang dikaitkan langsung dengan penurunan suku bunga kredit (interest rate channel) justru dinaikkan dua kali lipat, dari maksimal 0,5 persen menjadi 1,0 persen dari DPK.
Kebijakan ini ditempuh seiring pelonggaran moneter yang cukup agresif sepanjang 2025. BI-Rate telah turun 125 basis poin, diikuti penurunan suku bunga pasar uang dan instrumen keuangan. Suku bunga INDONIA, misalnya, turun 191 bps dari 6,03 persen pada awal 2025 menjadi 4,12 persen per 16 Desember 2025. Imbal hasil SRBI dan SBN juga bergerak turun signifikan.
Meski demikian, BI mencatat transmisi ke suku bunga kredit masih tertahan. Hingga November 2025, suku bunga kredit baru turun 24 bps dari 9,20 persen menjadi 8,96 persen, jauh lebih lambat dibanding penurunan suku bunga deposito yang mencapai 67 bps.
“Namun, penurunan suku bunga kredit perbankan cenderung lebih lambat dan karenanya perlu terus didorong,” kata Perry.
Kredit Perbankan Mulai Naik, tapi Permintaan Masih Tertahan
Dari sisi intermediasi, kinerja kredit perbankan menunjukkan perbaikan meski belum sepenuhnya kuat. Pada November 2025, kredit tumbuh 7,74 persen secara tahunan (year on year/yoy), meningkat dari 7,36 persen (yoy) pada Oktober. Namun, BI menilai permintaan kredit masih tertahan oleh sikap wait and see pelaku usaha, optimalisasi pembiayaan internal korporasi, serta lambatnya penurunan suku bunga kredit.
Hal ini tercermin dari masih besarnya fasilitas pinjaman yang belum dicairkan (undisbursed loan), yang mencapai Rp 2.509,4 triliun atau sekitar 23,18 persen dari total plafon kredit. Di sisi lain, kapasitas penawaran kredit perbankan sebenarnya sangat memadai. Likuiditas bank kuat dengan rasio alat likuid terhadap DPK (AL/DPK) mencapai 29,67 persen, sementara DPK tumbuh 12,03 persen (yoy).
Kondisi likuiditas ini didukung oleh ekspansi moneter BI, pelonggaran KLM, serta kebijakan fiskal pemerintah, termasuk penempatan dana pemerintah di sejumlah bank besar. Minat perbankan untuk menyalurkan kredit juga relatif terjaga, tercermin dari persyaratan kredit yang makin longgar, meski ada pengecualian pada segmen kredit konsumsi dan UMKM akibat peningkatan risiko.
BI mencatat kredit UMKM pada November 2025 justru terkontraksi 0,64 persen (yoy). Dengan kondisi tersebut, BI memperkirakan pertumbuhan kredit sepanjang 2025 berada di batas bawah kisaran 8–11 persen (yoy) dan berpotensi meningkat pada 2026.
Ke depan, Perry menegaskan akan terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) guna mendorong pertumbuhan kredit yang lebih sehat, sekaligus memastikan struktur suku bunga perbankan semakin efisien untuk menopang pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.




