Jakarta, VIVA – Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo memprediksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal IV-2025 bakal membaik, didorong peningkatan konsumsi rumah tangga serta realisasi investasi.
Dia menjelaskan, perbaikan konsumsi rumah tangga didukung oleh realisasi belanja sosial pemerintah, serta keyakinan masyarakat terhadap kondisi penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja yang terus meningkat.
“Perkembangan ini mendorong meningkatnya penjualan eceran pada berbagai kelompok barang,” kata Perry dalam konferensi pers, Rabu, 17 Desember 2025.
- [tangkapan layar]
Sedangkan realisasi investasi, khususnya pada sektor non-bangunan, juga akan membaik dengan meningkatnya keyakinan pelaku usaha. Dimana, hal itu tercermin pada pola ekspansi Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur.
Secara sektoral, kinerja positif ditunjukkan oleh Lapangan Usaha (LU) industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, transportasi dan pergudangan, serta penyediaan akomodasi dan makan minum.
Namun, Perry juga menyoroti perlunya penguatan permintaan domestik, mengingat kinerja ekspor diperkirakan melambat. Hal itu akibat berakhirnya frontloading ekspor (upaya mempercepat pengiriman ekspor untuk menghindari dampak ketidakpastian kebijakan) ke Amerika Serikat (AS), serta penurunan permintaan dari Tiongkok dan India.
Secara keseluruhan, Perry memprediksi pertumbuhan ekonomi 2025 berada dalam kisaran 4,7–5,5 persen, dan akan berlanjut serta meningkat menjadi 4,9–5,7 persen pada tahun depan. Perry mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang tercatat positif tersebut terutama didukung oleh stabilitas harga di dalam negeri yang tetap terjaga.
Dia menyampaikan, inflasi pada November 2025 tercatat sebesar 2,72 persen secara tahunan alias year-on-year (yoy), dipengaruhi oleh inflasi kelompok komoditas inti yang terjaga di level 2,36 persen (yoy).
Walaupun inflasi kelompok komoditas dengan harga diatur pemerintah (administered prices) terjaga rendah di 1,58 persen (yoy), pihaknya menyoroti inflasi kelompok komoditas dengan harga bergejolak (volatile food) yang masih relatif tinggi sebesar 5,48 persen (yoy).
Perry mengatakan, tingginya inflasi volatile food tersebut terutama disumbang oleh komoditas bawang merah akibat keterbatasan pasokan karena gangguan cuaca dan kenaikan harga benih. Namun, BI optimistis inflasi volatile food dapat tetap terkendali melalui sinergi Tim Pengendalian Inflasi Pusat/Daerah (TPIP/TPID) serta penguatan implementasi Program Ketahanan Pangan Nasional.



