Banyak orang bertanya dalam hati,
“Kalau Allah adil, kenapa hidup tidak adil?”
Ada yang sejak awal hidup terasa aman, ada yang harus memikirkan banyak hal sejak muda. Ada yang setelah lulus cepat bekerja, ada yang masih berjuang mencari arah. Pertanyaan ini wajar. Dunia hari ini membuat perbandingan menjadi sangat mudah. Kita melihat pencapaian orang lain setiap hari, lalu tanpa sadar mengukur hidup sendiri dengan ukuran yang sama.
Sering kali kita tidak sedang iri, kita hanya lelah merasa tertinggal.
Masalahnya sering bukan pada keadilan Allah, tetapi pada cara kita memahaminya.
Dalam ilmu ekonomi ada konsep sederhana yang dikenal sebagai Hukum Gossen. Intinya begini: kenikmatan tidak terus bertambah seiring dengan bertambahnya pendapatan. Seseorang yang sebelumnya bergaji tiga juta lalu naik menjadi enam juta akan merasakan lonjakan kebahagiaan yang besar. Hidup terasa lebih lega. Banyak kebutuhan dasar yang sebelumnya menekan kini bisa dipenuhi. Namun, ketika gaji itu naik lagi menjadi sepuluh juta atau lebih, rasa bahagianya tidak lagi melonjak sebesar sebelumnya. Standar hidup ikut naik, dan apa yang dulu terasa istimewa perlahan menjadi biasa. Bukan karena uangnya tidak cukup, tetapi karena manusia memang memiliki batas dalam merasakan nikmat.
Masalahnya, manusia tidak pernah benar-benar berhenti di satu rasa cukup. Ketika satu tingkat pendapatan sudah terasa normal, kita mulai berharap pada angka berikutnya. Bukan selalu karena serakah, tetapi karena rasa puas memang cepat menyesuaikan diri.
Di titik inilah pola ini menjadi jelas. Ketika kenaikan gaji tidak lagi memberi rasa puas yang sama, kita mulai mencari hal lain: gaya hidup, kenyamanan, pengakuan, atau rasa aman yang lebih besar. Namun, upaya ini pun tidak pernah benar-benar mengakhiri rasa kurang. Artinya, kepuasan tidak ditentukan oleh besarnya pendapatan, melainkan oleh cara manusia merasakan hidupnya.
Di sinilah letak keadilan yang sering luput kita sadari. Allah tidak menyamakan besarnya gaji manusia, tetapi menetapkan batas rasa puas yang serupa pada semua manusia. Ada yang hidup dengan pendapatan besar, ada yang hidup dengan pendapatan kecil, tetapi tidak ada satu pun manusia yang bisa merasa puas tanpa batas.
Jalan hidup memang berbeda-beda, tetapi pada titik tertentu semua orang akan sama-sama merasa biasa saja dengan apa yang dimilikinya.
Karena itu, pendapatan besar tidak otomatis membuat seseorang bahagia, dan pendapatan kecil tidak otomatis membuat seseorang sengsara. Semua orang akan sampai pada titik jenuh. Semua orang akan merasakan bahwa dunia, seberapa pun luasnya, tidak pernah sepenuhnya memuaskan.
Jika keadilan Allah dipahami sebagai semua orang harus memiliki pendapatan dan hidup yang sama, maka dunia memang akan selalu terasa tidak adil. Namun, jika keadilan dipahami sebagai kenyataan bahwa tidak ada manusia yang diberi kemampuan tanpa batas untuk menikmati dunia, maka perbedaan itu tidak lagi berarti ketidakadilan mutlak.
Keadilan Allah tidak selalu terlihat dari luar. Ia bekerja pelan di dalam diri manusia, melalui batas rasa yang membuat dunia tidak pernah menjadi tujuan akhir. Dunia memang tidak pernah berjanji akan adil.
Mungkin keadilan Allah bukan soal siapa yang hidupnya paling mapan, tetapi siapa yang tidak diberi dunia terlalu besar sampai lupa arah pulang.
Dunia tidak adil, tetapi Allah tidak pernah memberi siapa pun kemampuan untuk merasa puas tanpa batas.





