Bursa Efek Indonesia (BEI) menyatakan tidak ada pasar modal di dunia yang sepenuhnya terbebas dari ancaman keamanan siber, menyusul mencuatnya laporan dugaan pembobolan dana investasi puluhan miliar rupiah milik nasabah PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia. BEI menilai risiko siber merupakan tantangan struktural global yang harus dimitigasi bersama oleh seluruh ekosistem pasar modal.
Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik menyampaikan serangan siber bersifat lintas negara dan terus berkembang seiring meningkatnya digitalisasi sistem perdagangan dan transaksi investasi.
“Tidak ada negara yang sekarang ini steril, imun dari cyber,” ujar Jeffrey, kepada wartawan di Jakarta, Rabu (17/12/2025).
Baca Juga: Kerugian Kasus Dugaan Ilegal Akses Akun Mirae Asset Bertambah Jadi Rp 200 Miliar
Jeffrey menjelaskan, dari sisi infrastruktur bursa, BEI telah menetapkan persyaratan keamanan teknologi informasi yang wajib dipenuhi oleh seluruh anggota bursa. Setiap jaringan dan aplikasi yang digunakan dalam kegiatan perdagangan harus melalui evaluasi oleh independent reviewer yang memiliki kompetensi di bidang keamanan teknologi informasi.
“Kalau terkait IT, bursa sudah mensyaratkan setiap jaringan dan aplikasi itu harus sudah lulus dari evaluasi yang dilakukan oleh independent reviewer,” katanya.
Ia menegaskan, BEI tidak memiliki kewenangan maupun kapasitas teknis untuk melakukan penilaian langsung terhadap sistem teknologi informasi masing-masing anggota bursa. Oleh karena itu, mekanisme penilaian independen menjadi bagian dari kerangka pengawasan untuk memastikan standar keamanan dipenuhi secara konsisten.
Baca Juga: DPR Tekan OJK Perkuat Keamanan Siber Pasar Modal, Imbas Kasus Nasabah Mirae Sekuritas
Di sisi lain, BEI mendorong peran asosiasi perusahaan efek untuk mulai membahas dan menyusun standar keamanan siber yang lebih terstruktur. Menurut Jeffrey, risiko siber tidak dapat ditangani secara parsial atau berdasarkan kasus per kasus, melainkan membutuhkan pendekatan menyeluruh yang melibatkan bursa, perusahaan efek, dan pemangku kepentingan lain.
Dalam konteks investor, Jeffrey menekankan pentingnya peningkatan literasi keamanan siber tanpa menempatkan investor sebagai pihak yang disalahkan. BEI berencana memasukkan materi kesadaran keamanan siber ke dalam program edukasi pasar modal agar investor memahami cara melindungi data pribadi dan aset investasinya.
“Edukasi ini untuk meningkatkan kewaspadaan investor terhadap potensi kejahatan siber, termasuk penyalahgunaan data dan akses tidak sah,” ujarnya.
Pernyataan BEI tersebut disampaikan di tengah proses hukum atas laporan seorang nasabah bernama Irman (70) yang melaporkan PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia ke pihak berwajib. Laporan tersebut terkait dugaan tindak pidana penipuan dan illegal access setelah dana investasinya senilai Rp71 miliar diduga raib tanpa penjelasan.
Laporan dugaan illegal access itu dibuat pada Jumat (28/11/2025) dan terdaftar dengan nomor LP/B/583/XI/2025/SPKT/Bareskrim Polri. Dalam laporan tersebut, Irman melaporkan sejumlah petinggi PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia.
Kuasa hukum pelapor turut menyertakan sejumlah barang bukti berupa dokumen transaksi yang diduga dilakukan secara ilegal. Laporan tersebut mencantumkan dugaan pelanggaran sejumlah pasal, antara lain Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Transfer Dana, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, serta Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
BEI menyatakan akan terus meninjau kebijakan dan persyaratan keamanan teknologi informasi, serta mendorong kolaborasi dengan regulator dan pelaku industri guna merespons dinamika risiko siber yang terus berkembang, seiring upaya menjaga integritas dan kepercayaan terhadap pasar modal Indonesia.





