Perhelatan COP 30 di Brazil sudah selesai, pemerintah mulai bergerak mewujudkan komitmennya terhadap iklim global lewat percepatan penetapan 1,4 juta hektar hutan adat di Indonesia. Gerakan itu merupakan awal dari perubahan paradigma dalam mengelola hutan.
Komitmen itu dipertegas dalam lokakarya nasional bertajuk ”Gerak Bersama Percepatan Penetapan 1,4 Juta Hektar Hutan Adat yang Tangguh dan Berkelanjutan” yang diselenggarakan Kementerian Kehutanan. Acara ini digelar pada 17–18 Desember 2025 di Jakarta. Dalam kesempatan itu, hadir 52 ketua masyarakat hukum adat dari berbagai daerah di Indonesia, serta 350 peserta dari berbagai institusi, termasuk sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, dalam sambutannya menegaskan, perlu perubahan paradigma dalam tata kelola hutan di Indonesia. Paradigma yang dimaksud berupa perubahan konsep pemilihan model pembangunan yang menjaga fungsi ekologi dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
”Menjaga hutan dengan cara yang lama, berulang-ulang, tetapi berharap hasil yang berbeda itu merupakan kekeliruan mendasar atau kebodohan yang hakiki. Saat ini kawasan hutan yang dikelola tidak sebanding dengan kapasitas pengamanannya maupun ketersediaan anggaran pendampingannya,” ungkap Raja Juli di Jakarta, Rabu (17/12/2025).
Perubahan paradigma dalam tata kelola hutan juga dipicu oleh berbagai bencana yang terjadi belakangan ini. Raja Juli bercerita tentang situasi rapat kabinet baru-baru ini yang mencoba menelaah faktor pemicu bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, juga beberapa wilayah lainnya. Dalam rapat itu dikemukakan bagaimana cuaca begitu memengaruhi intensitas volume air sehingga terjadi banjir.
”Namun, dari sisi kami, dengan kerendahan hati dan keterbukaan pikiran, ada sesuatu yang harus diubah dari sektor kehutanan,” ungkap Raja Juli.
Raja Juli mengakui, perlu ada evaluasi tata ruang yang selama ini dikerjakan oleh lembaga yang berbeda-beda. Ia mengatakan, setidaknya terdapat lima sektor tata ruang yang diampu oleh kementerian berbeda, mulai dari udara hingga laut. Untuk itu, perlu harmonisasi kebijakan dan kolaborasi dalam penataan kembali.
“Perlu diakui selama ini soal tata ruang di lima sektor itu belum terkoneksi dengan baik. Seperti ada Izin Usaha Pertambangan (IUP) di tengah hutan lindung atau bahkan kawasan konservasi,” ujar Raja Juli.
Raja Juli menambahkan, sektor kehutanan yang dikelola dengan bijak harus menjadi prioritas. Untuk itu, negara harus hadir untuk melindungi hutan, termasuk masyarakat hukum adat (MHA) yang selama ini dengan tradisi dan budaya telah menjaga hutan. Dengan caranya, MHA menghadapi tuntutan tanpa meninggalkan pilar-pilar penopang kehidupan komunitas adatnya. Pemerintah pun wajib mendukung peran MHA tersebut.
”Dalam forum COP30, telah saya sampaikan bahwa Presiden memberikan arahan untuk mempercepat pengakuan terhadap 1,4 juta hektar wilayah masyarakat hukum adat serta evaluasi tata kelola kehutanan untuk mencapai target tersebut. Untuk itu dibentuk Satgas Percepatan Penetapan Hutan Adat,” ungkapnya.
Dalam upaya mempercepat penetapan hutan adat, kata Raja Juli, Kementerian Kehutanan telah membentuk Satgas Percepatan Penetapan Hutan Adat Nomor 144 Tahun 2025 yang mengedepankan prinsip inklusi dan kolaborasi lintas sektor. Ia mengaku, selama ini Kementerian Kehutanan membuka pintu selebar-lebarnya untuk LSM dan lembaga lainnya karena memiliki visi yang sama, yakni pengelolaan hutan yang lebih baik.
”Hasil studi empiris menunjukkan bahwa hutan yang dikelola masyarakat mampu menurunkan laju deforestasi sebesar 30–50 persen. Jadi peran mereka sangat penting dalam mitigasi bencana dan ketahanan wilayah sebagai garda terdepan,” pungkasnya.
Satgas yang dibentuk itu, lanjut Raja Juli, memiliki target penetapan hutan adat seluas 1,4 juta hektar selama periode 2025–2029. Selain itu, para pihak juga ikut membentuk Tim Percepatan Penetapan Hutan Adat yang dipimpin oleh akademisi, dalam hal ini Soeryo Adiwibowo dari IPB University.
Dalam acara itu, Soeryo mengatakan, pihaknya membuat peta jalan percepatan penetapan hutan adat seluas 1,4 juta hektar di seluruh Indonesia dengan melibatkan semua pihak, termasuk LSM. Peta jalan atau roadmap itu dapat dijadikan dokumen sekaligus komitmen bersama yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam penyusunan peta jalan itu, lanjut Soeryo, pihaknya bersama Kementerian Kehutanan juga menyusun pedoman calon verifikator hutan adat yang dirancang untuk memberikan pembekalan dan sikap profesional dalam memverifikasi hutan adat. ”Hasilnya nanti dari tim verifikator itu dilaporkan ke tim terpadu, jadi ada kompetensi yang diperlukan di sini,” ungkapnya.
Soeryo menambahkan, rancangan peta jalan itu akan dibahas bersama para pihak yang selama ini memberikan masukan konstruktif untuk percepatan penetapan hutan adat. Setelah peta jalan dibentuk, maka semua pihak punya dasar untuk segera menetapkan hutan adat di seluruh Indonesia sesuai dengan target yang ingin dicapai.
”Dalam penyusunan peta jalan ini, Kementerian Kehutanan tak bisa sendiri. Mau tidak mau harus berkolaborasi dengan semua pihak,” kata Soeryo.
Soeryo mengungkapkan, hutan adat menjadi begitu penting karena hutan adat merupakan identitas bangsa Indonesia. Menurutnya, masyarakat adat sebagai subjek hukum pun harus dilindungi dan diakui karena mereka adalah penjaga hutan yang sesungguhnya.
”Dari sini kita bisa melihat identitas asli orang Indonesia, penjaga hutan sesungguhnya yang ada di tingkat tapak itu adalah masyarakat adat. Jika tujuan ini tercapai, semoga bencana Sumatera itu menjadi yang terakhir,” ungkap Soeryo.
Sejauh ini, berdasarkan data Kementerian Kehutanan, pengakuan hutan adat telah diberikan kepada 169 Masyarakat Hukum Adat dengan luasan lebih kurang 366.955 hektar pada lebih dari 88.461 keluarga. Direktur Jenderal Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan Catur Endah Prasetiani mengungkapkan, penetapan 1,4 juta hektar hutan adat ini merupakan lompatan besar agar hutan semakin dikelola dengan bijak.
Hadir dalam dialog, Erasmus Cahyadi, Deputi II Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Ia mengingatkan, selama ini penetapan hutan adat belum sesuai dengan harapan masyarakat adat sebagai subjek hukum. Ia mencontohkan ada masyarakat adat yang mengusulkan ribuan hektar, namun ditetapkan puluhan hektar. Hal itu, menurutnya, merupakan refleksi kebijakan yang kompleks.
”Kemendagri belum mengambil peran dalam hal ini. Seharusnya Kemendagri bisa mengambil inisiatif untuk mendaftarkan wilayah dan mengakui subjeknya. Kenapa demikian, karena ujungnya masih ada di pemerintah daerah yang secara administrasi berada di bawah kendali Kementerian Dalam Negeri,” ungkap Erasmus.
Erasmus menambahkan, sejak putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 keluar, terjadi gegap gempita pembentukan kebijakan di pemerintah daerah. Setidaknya ada lebih dari 300 kebijakan daerah tentang masyarakat adat dengan berbagai model pengaturannya.
”Jadi, harmonisasi dan kolaborasi kebijakan yang utama itu juga harus dilakukan antarlembaga kementerian dan sampai ke daerah,” ungkap Erasmus.
Dalam acara itu, Raja Juli bersama Endah juga menyerahkan Surat Keputusan Penetapan Status Hutan Adat untuk komunitas atau kelompok Masyarakat Hukum Adat Dayak Punan Uheng Kereho dari Kalimantan Barat, tepatnya di Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu. Hutan adat seluas 30.700 hektar atau hampir setengah luas Provinsi DKI Jakarta itu diberikan secara simbolik kepada Ketua MHA Uheng Kereho, Hermanus Bucher.
Hermanus mengungkapkan rasa syukurnya karena setelah sekian lama berjuang mendapatkan pengakuan dan mengusulkan hutan adat, akhirnya bisa dicapai. Ia berharap penetapan hutan adat bisa dilakukan serentak di semua daerah, terutama di Kalimantan.
”Hutan adat itu sumber hidup kami, dan selama ini kami berjuang untuk mendapatkan ini agar hutan lebih dilindungi. Kenapa demikian, karena selama ini kawasan hutan ini selalu menjadi sumber konflik juga,” kata Hermanus.
Hermanus mengungkapkan, dengan penetapan hutan adat, ia berharap konflik kian mereda dan masyarakat adat bisa dengan bebas memanfaatkan hutan sesuai dengan kebutuhan adat dan istiadat di Kapuas Hulu, terutama Dayak Punan Uheng Kereho.
”Perjuangan ini belum selesai, karena kami juga berharap pendampingan tidak berhenti hanya karena hutan adat ditetapkan,” ungkap Hermanus.




