Siapa yang tidak sedih melihat dampak banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir November lalu. Tidak hanya menyebabkan hampir seribu korban jiwa, 800 ribu orang terpaksa mengungsi, dan 3.2 juta orang terdampak, tetapi juga diikuti dengan berbagai kerusakan infrastruktur, baik fasilitas umum dan pribadi di berbagai tempat.
Lembaga riset independen, Celios, memperkirakan jumlah kerugian di ketiga provinsi terdampak setidaknya mencapai Rp 68,7 triliun. Bahkan, Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang meyakini kerugian material dari bencana yang terjadi di berbagai titik di Sumatra bahkan bisa mencapai di atas Rp 200 triliun.
Sayangnya, ruang fiskal ketiga provinsi yang terdampak bencana pun cukup terbatas. Sebagai catatan, jumlah belanja daerah Provinsi Aceh di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan Tahun 2025 hanya sebesar Rp 11.1 triliun, Provinsi Sumatra Utara sebesar Rp 13,6 triliun, dan Sumatra Barat mencapai Rp 6,2 triliun.
Terlepas dari setiap kabupaten/kota yang memiliki anggarannya masing-masing, dan dengan mengasumsikan tidak ada alokasi anggaran pemulihan bencana dari pemerintah, secara kasat mata dapat dilihat kemampuan fiskal ketiga provinsi sepertinya akan sangat terbatas. Apalagi bila mengingat ketiga provinsi tersebut juga menganut defisit fiskal di APBD mereka setiap tahun.
Dengan kondisi tersebut, tampaknya kita perlu mengantisipasi respons, proses rehabilitasi, dan rekonstruksi pasca-bencana yang akan sangat membutuhkan waktu dan kesabaran.
Dalam dua dekade terakhir, berbagai negara rawan bencana menjadikan Catastrophe Bond (CAT Bond) sebagai instrumen untuk melindungi keuangan negara dari risiko bencana alam. Secara sederhana, CAT Bond adalah obligasi yang dapat dicairkan penerbit saat terjadinya bencana. Negara seperti Jepang, Filipina, hingga negara-negara di kawasan Karibia secara aktif menerbitkan CAT Bond untuk risiko gempa bumi, badai, dan tsunami.
Ketika Filipina dilanda Super Typhoon Odette pada Desember 2021, bencana ini menyebabkan sedikitnya 410 korban jiwa. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sekitar 13 juta orang terdampak secara langsung maupun tidak langsung oleh badai ini. Dalam peristiwa inilah, CAT Bond perdana yang diterbitkan Filipina dua tahun sebelumnya mengalami partial trigger atau dapat dicairkan, sehingga pemerintah langsung menerima pembayaran sebesar US$ 52.5 juta (Rp 876,61 miliar, kurs Rp 16.700/US$) dari pencairan instrumen ini.
CAT Bond milik Filipina ini diterbitkan melalui fasilitas yang disediakan oleh World Bank, dengan nilai perlindungan mencapai US$ 75 juta (Rp 1,25 triliun) untuk risiko gempa bumi (Class A) dan US$ 150 juta (Rp 2,5 triliun) untuk risiko topan dan curah hujan ekstrem (Class B) selama periode 2019-2022.
Instrumen ini menggunakan model parametric trigger, atau instrumen keuangan di mana pembayaran pokok dan bunga kepada investor terikat pada terjadinya peristiwa bencana alam tertentu. Di saat yang sama, fitur nilai probabilitas awal pencairan CAT tersebut adalah sekitar 5.3%, atau setara dengan kejadian besar yang berpeluang terjadi sekitar satu kejadian dalam 19 tahun.
Berbeda dengan skema asuransi bencana, CAT Bond ini menerapkan skema pencairan bertahap sebesar 0%, 35%, 70%, hingga 100% dari nilai pertanggungan, tergantung pada tingkat kerusakan yang terukur. Dengan mekanisme ini, dana dapat dicairkan secara proporsional sesuai tingkat keparahan bencana, sehingga pemerintah tidak hanya mendapatkan akses dana yang cepat, tetapi juga lebih presisi dalam menyesuaikan kebutuhan pembiayaan tanggap darurat.
Dari sisi pembeli, CAT Bond umumnya dibeli oleh investor institusional seperti dana pensiun, perusahaan reasuransi, dan hedge fund yang mencari imbal hasil tinggi. Selama tidak terjadi bencana, investor menerima kupon berkala yang bisa mencapai 1,5-2x lebih tinggi dari obligasi biasa. Namun ketika bencana terjadi, sebagian atau seluruh pokok investasi secara otomatis dapat dicairkan penerbit untuk menanggulangi bencana.
Perlukah CAT Bond Bagi Indonesia?Menurut Laporan Badan Pusat Statistik (BPS), tren kejadian bencana di Indonesia menunjukkan peningkatan selama 25 tahun terakhir. Pada tahun 2024, tercatat 3,472 kejadian bencana secara nasional, yang didominasi oleh banjir, kebakaran hutan, dan tanah longsor.
Dari sisi ekonomi, BPS dalam laporan "Cerita Data Statistik Untuk Indonesia – Menakar Dampak Ekonomi Akibat Bencana di Indonesia" yang diterbitkan di 28 Mei 2025 lalu mencatat tren kejadian bencana di Indonesia dalam 25 tahun terakhir mengalami kecenderungan meningkat, bahkan disertai dengan meluasnya risiko ke wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak terdampak.
Selain menimbulkan korban jiwa, BPS juga mencatat bahwa sepanjang periode 2000-2016, kerugian ekonomi akibat bencana rata-rata mencapai sekitar Rp 22.8 triliun per tahun. Angka tersebut diperkirakan baru merepresentasikan sekitar 60% dari total kerugian riil yang sebenarnya. Pada skala kejadian besar, kerugian ekonomi akibat tsunami Aceh 2004 dikabarkan mencapai US$ 5 miliar, gempa Yogyakarta 2006 sebesar US$ 3,1 miliar, dan gempa Palu 2018 sekitar Rp 18,5 triliun.
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa instrumen pembiayaan bencana, mulai dari pembentukan Indonesia Natural Disaster Management Fund (INDMF) hingga Pooling Fund Bencana (PFB) melalui Perpres Nomor 75 Tahun 2021. Implementasi terbaru juga terlihat dari peluncuran asuransi Barang Milik Negara (BMN) yang melindungi aset negara senilai Rp 91 triliun dari risiko bencana.
Namun, skema ini hanya melindungi aset negara, dan belum menyentuh kebutuhan pemerintah daerah untuk membiayai pemulihan ekonomi pascabencana. Sebagian besar pembiayaan bencana di Indonesia masih bersifat reaktif, di mana dana baru digerakkan setelah bencana terjadi dan kerusakan ekonomi telah meluas.
Kondisi ini membuat proses pemulihan sangat bergantung pada kecepatan realokasi APBN dan APBD, bantuan darurat, serta donasi publik yang tidak pasti. Mengingat sepanjang 2024 Indonesia mengalami lebih dari 3.400 kejadian bencana, kebutuhan pendanaan semestinya menjadi agenda fiskal yang rutin dan terencana, bukan sekadar respons darurat pasca-kejadian.
Apakah Model CAT Bond Bisa Diterapkan di Indonesia?Berbeda dengan skema pembiayaan bencana yang reaktif, CAT Bond menawarkan mekanisme yang jauh lebih cepat dan terstruktur. Keunggulannya terlihat pada pencairan dana yang instan, penilaian kerusakan yang objektif, serta kepastian pendanaan yang disesuaikan dengan tingkat keparahan bencana.
Seperti obligasi konvensional, CAT Bond juga wajib memenuhi prinsip good corporate governance (GCG), keterbukaan informasi, audit independen, dan pelaporan berkala, sehingga pencairan dana di saat bencana terjadi pun harus sesuai dengan aturan dan pengawasan yang berlaku.
Agar CAT Bond dapat diimplementasikan, Indonesia perlu menyiapkan kerangka regulasi dan kelembagaan yang kokoh. Hingga kini belum ada payung hukum yang secara spesifik mengatur penerbitan insurance-linked securities seperti CAT Bond di Indonesia, sehingga diperlukan aturan baru terkait struktur instrumen, mekanisme pencairan, serta tata kelola penggunaan dana.
Kesiapan koordinasi antara Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Kementerian Keuangan menjadi faktor penting agar pencairan dana dapat disalurkan dengan cepat serta transparan.
Dari sisi pembeli, CAT Bond memiliki peluang besar untuk menarik minat investor, baik domestik maupun global. Umumnya CAT Bond dibeli oleh perusahaan reasuransi, hedge fund, dan dana pensiun yang mencari diversifikasi risiko karena korelasinya rendah dengan kondisi makroekonomi. Indonesia juga memiliki basis investor domestik seperti dana pensiun badan usaha milik negara (BUMN), perusahaan asuransi, lembaga keuangan negara, berpotensi menjadi pembeli instrumen ini.
Melihat rata-rata kerugian bencana Indonesia yang mencapai Rp 22,8 triliun per tahun, ukuran CAT Bond tahap awal yang realistis untuk Indonesia berada di kisaran US$ 100–150 juta (Rp 1,67 triliun-Rp 2,5 triliun). Nilai ini memang belum mampu menutupi seluruh kerugian bencana besar, namun cukup untuk memperkuat likuiditas tanggap darurat dan mempercepat fase pemulihan awal. Selain itu, nominal yang terukur juga menjaga agar pembayaran kupon tidak membebani pemerintah, mengingat imbal hasil CAT Bond global yang saat ini rata-rata berada di sekitar 8,8% dan secara historis sering berada di level belasan persen.
Solidarity CAT Bond dan Konsep Polluter PaysPerihal kupon tinggi yang berpotensi membebani pemerintah, muncullah sebuah alternatif berupa “Solidarity CAT Bond”, yakni CAT Bond berkupon rendah yang secara realistis dapat dipatok di kisaran 3-4%. Pendekatan ini ditujukan untuk menyediakan opsi pembiayaan berbasis solidaritas, di mana investor masuk bukan hanya demi imbal hasil, tetapi sebagai kontribusi nyata terhadap penanggulangan bencana di Indonesia.
Dalam praktiknya, masyarakat Indonesia sering berdonasi setiap kali terjadi bencana, namun seringkali muncul isu terkait transparansi aliran dana serta ketepatan sasaran realisasi bantuan. Di sinilah CAT Bond bersinar, karena sebagai instrumen pasar keuangan, penerbitannya wajib memenuhi prinsip GCG serta standar pelaporan dan pengawasan yang ketat. Dengan demikian, penggunaan dana dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan kepada publik, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap dana mereka meningkat.
Sebagai pembanding, Danantara sebelumnya menerbitkan Patriot Bonds dengan kupon hanya sebesar 2%, yang ditopang oleh semangat solidaritas dan nasionalisme, dan tetap mendapat respons pasar yang kuat. Prinsip serupa dapat diterapkan pada Solidarity CAT Bond, bahwa tidak seluruh investor masuk semata karena imbal hasil finansial, tetapi juga karena dorongan sosial untuk berkontribusi terhadap kepentingan masyarakat.
Selain masyarakat yang ingin berdonasi secara sukarela, perusahaan yang terbukti berkontribusi terhadap deforestasi dan kerusakan ekosistem juga dapat diwajibkan membeli obligasi ini sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan. Skema ini menjadi bentuk konkret penerapan prinsip polluter pays, di mana pihak yang menimbulkan kerusakan turut menanggung biaya pemulihan pasca-bencana. Mekanisme ini juga dapat menjadi instrumen nyata untuk memperbaiki profil Environmental, Social, and Governance (ESG) perusahaan.


