FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Isu dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo kembali menjadi perhatian publik setelah gelar perkara khusus di Polda Metro Jaya, Senin (15/12/2025).
Perkara ini mencuat karena selama berbulan-bulan narasi tentang keaslian ijazah Jokowi terus diperdebatkan di ruang publik, baik melalui media sosial maupun forum-forum diskusi politik.
Tuduhan tersebut tidak hanya menyerang kredibilitas pribadi Jokowi, tetapi juga memunculkan kegaduhan politik dan polarisasi di tengah masyarakat.
Pembahasan isu ini kembali mengemuka dalam sebuah podcast Ruang Konsensus Pagi Indonesia yang dipandu oleh Budius Ma’fil.
Dalam podcast tersebut, Suhadi dari Tim Hukum Merah Putih hadir sebagai narasumber untuk menjelaskan perkembangan terbaru gelar perkara khusus sekaligus meluruskan berbagai anggapan keliru yang beredar di masyarakat.
Kehadiran Suhadi menjadi penting karena ia mengikuti langsung dinamika hukum kasus tersebut dan memahami batas kewenangan penyidik dalam sistem hukum pidana.
Menurut Suhadi, isu ini perlu dibahas secara terbuka karena telah terjadi kesalahpahaman serius mengenai mekanisme hukum. Ia menegaskan bahwa perkara yang telah masuk tahap penetapan tersangka tidak bisa dihentikan secara sepihak oleh penyidik melalui gelar perkara khusus.
“Penghentian perkara itu tidak bisa dilakukan oleh penyidik ketika status tersangka sudah ditetapkan. Ranahnya ada di praperadilan, bukan di tangan penyidik,” ujar Suhadi, dikutip pada Kamis (18/12/2025).
Pernyataan ini disampaikan untuk merespons narasi yang berkembang bahwa kasus tersebut dapat dihentikan begitu saja.
Dalam gelar perkara khusus tersebut, ijazah asli Joko Widodo akhirnya diperlihatkan kepada seluruh peserta gelar. Dokumen yang ditunjukkan tidak hanya ijazah sarjana dari Universitas Gadjah Mada, tetapi juga ijazah pendidikan sebelumnya.
“Ijazah asli Presiden Joko Widodo sudah diperlihatkan kepada seluruh peserta gelar perkara, bukan hanya ijazah S1, tetapi juga ijazah SMA, dan itu ditunjukkan secara terang benderang,” kata Suhadi .
Fakta ini menjadi titik penting karena selama ini keaslian dokumen tersebut terus dipertanyakan oleh sejumlah pihak.
Suhadi menilai bahwa setelah dokumen tersebut diperlihatkan, tidak muncul bantahan berarti dari pihak-pihak yang sebelumnya paling vokal menyuarakan tudingan.
“Setelah ijazah asli diperlihatkan, para pihak yang selama ini meragukan keasliannya justru terdiam dan tidak memberikan bantahan apa pun,” ungkapnya .
Menurut Suhadi, situasi ini menunjukkan bahwa persoalan keaslian ijazah seharusnya sudah tidak lagi menjadi perdebatan di ruang publik.
Alasan Suhadi mengangkat isu ini tidak hanya sebatas menjelaskan fakta gelar perkara, tetapi juga untuk meredam kegaduhan sosial yang timbul akibat narasi yang berulang-ulang disampaikan tanpa dasar hukum yang kuat.
Ia memandang bahwa klaim-klaim seperti hak imunitas atas nama penelitian atau upaya menghentikan perkara di luar jalur hukum justru berpotensi merusak prinsip negara hukum.
Oleh karena itu, menurutnya ketika dokumen yang disengketakan telah diperlihatkan dan dinyatakan asli, proses hukum harus tetap berjalan hingga tahap persidangan agar ada kepastian hukum yang mengikat.
Suhadi berharap publik memahami bahwa penyelesaian kasus ini tidak boleh bergantung pada opini, framing politik, atau tekanan publik, melainkan harus diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme peradilan. (*)


