Kelangkaan bahan bakar elpiji pascabencana di Sumatera mengakibatkan rentetan dampak. Usaha rakyat mandek, perekonomian daerah terpukul, hingga ancaman kelaparan di mana-mana.
Di tengah hiruk-pikuk antrean pembelian elpiji 3 kilogram, seorang perempuan paruh baya datang menghampiri. Perempuan itu tampak lelah dan basah kuyup di tengah antrean massa. Ia rupanya telah berdiri di sana tujuh jam lamanya demi mendapatkan pasokan elpiji. Namun, hingga sore, elpiji tak kunjung datang.
Selama mengantre, perempuan bernama Khairani (65) tersebut sudah tiga kali diguyur hujan. Makan siang dan shalat pun terlewatkan karena ia khawatir antrean tabung gasnya bakal diserobot orang lain.
Raut wajahnya sudah tampak letih. Ada amarah yang terus ditahan. Antrean panjang itu bukan hanya melelahkan secara fisik tetapi juga menggoyahkan psikisnya. ”Tolonglah, Pak, tolonglah, kami butuh sekali elpiji,” ujar Khairani dengan suara lemah yang bergetar. Matanya memerah dan mulai berair.
Khairani merupakan warga Lambaro, Kabupaten Aceh Besar. Ia datang mengantre di kawasan Lampineung, Banda Aceh, Selasa (16/12/2025), karena mendengar akan datang pasokan elpiji. Hari itu, Khairani bersama ratusan warga ikut mengantre. Akibatnya, antrean pun mengular panjang.
Ia bercerita, stok elpiji di rumahnya telah habis hampir dua pekan lalu. Ia coba mencarinya, tetapi pasokan kosong di mana-mana.
Selama berburu stok elpiji, Khairani coba pula untuk memanfaatkan kayu bakar supaya dirinya dapat tetap memasak. Namun, kayu bakar tidak ada di sekitar tempat tinggalnya. Kayu bakar harus dicari jauh di kebun atau hutan. Harganya pun malah lebih mahal berlipat-lipat.
”Tiga hari terakhir, kami terpaksa beli makan di warung. Tapi, harganya juga sudah naik semua,” ujarnya.
Seporsi nasi telur saja, harganya sudah naik dari Rp 15.000 menjadi Rp 20.000. ”Kami tidak mungkin bisa terus bertahan seperti ini, Pak,” kata Khairani.
Kelangkaan elpiji merupakan salah satu dampak yang timbul akibat bencana ekologis yang melanda Sumatera tiga pekan lalu. Kelangkaan elpiji tidak hanya dirasakan warga di daerah terdampak langsung, tetapi juga warga di luar lokasi bencana.
Secara keseluruhan, bencana menyebabkan banyak akses jalan dan jembatan putus, termasuk di Jembatan Kuta Blang, Kabupaten Bireuen yang menjadi penghubung utama Jalan Nasional Banda Aceh-Medan. Itulah memicu terhambatnya pasokan berbagai kebutuhan. Mulai dari bahan bakar hingga bahan makanan.
Tiga hari terakhir, kami terpaksa beli makan di warung. Tapi, harganya juga sudah naik semua.
Telur ayam kampung misalnya, mayoritas dipasok dari Sumatera Utara. Karena banyaknya akses terputus, transportasi jadi lebih mahal. Harga telur pun naik dari sekitar 50.000 per papan menjadi Rp 75.000 pascabencana.
Bukan hanya warga lokal yang merasakan kesulitan akibat meluasnya dampak bencana. Sukarelawan pun ikut merasakan deritanya. Pendiri Komunitas Lapak Makan Duafa Bandung, Jawa Barat, Rismayanti mengakui beratnya perjuangan mengelola dapur umur bagi penyintas bencana di kawasan Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang sejak Sabtu (6/12/2025).
Nyaris semua bahan makanan tidak tersedia di Aceh Tamiang. Rismayanti pun terpaksa mendatangkan semua keperluan untuk dapur umum dari Kota Medan di Sumatera Utara. Semua bahan makanan hingga elpiji dipesan dan dikirim dengan menyewa truk dari Medan ke Kuala Simpang.
Hal itu membuat ongkos operasional dapur umum lebih tinggi karena banyak tersedot untuk menyewa truk. ”Kalau ongkos sewa itu bisa dimanfaatkan untuk membeli kebutuhan pokok, itu bisa menambah jumlah porsi makanan yang disediakan,” ujarnya.
Dapur umum Rismayanti dituntut untuk dapat menyediakan ribuan porsi dalam sehari. Menu yang disajikan terdiri dari protein hewani dan nabati atau bergizi lengkap. ”Semua menu itu dibagikan kepada warga terdampak dan sukarelawan lain, seperti kepada TNI dan tenaga medis,” katanya. Bisa dibayangkan besarnya ongkos yang harus keluar demi memenuhi kebutuhan yang besar itu.
Dengan dampak bencana yang begitu besar dan luas, diperlukan masuknya bantuan secara cepat dan terpadu. Ketua Komisi I DPRD Aceh Tengku Muharuddin meminta Presiden tidak mengabaikan fenomena kelangkaan elpiji dan kenaikan harga berbagai jenis kebutuhan pokok.
Dia pun mendesak Presiden tidak menghambat bantuan internasional saat bencana Sumatera tidak ditetapkan sebagai bencana nasional. Menurutnya, bantuan internasional sangat penting untuk percepatan penanganan tanggap darurat bencana dan pemulihan.
”Penanganan dampak bencana ini tidak dapat dibatasi, mobilisasi bantuan harus diperluas untuk memenuhi kebutuhan mendesak. Sebab, penyaluran bantuan tidak bisa dilakukan secara normal karena banyak akses jalan putus. Saat ini, banyak warga di wilayah yang masih terisolasi dalam posisi kedinginan, kelaparan, dan mulai diserang penyakit,” kata Muharuddin.
Muharuddin pun mengingatkan semua pihak tidak mengedepankan ego sektoral dalam penanganan bencana ini. Sebaliknya, yang harus dikedepankan adalah nasib warga terdampak yang semakin kritis.
”Jangan main-main dengan nyawa rakyat yang tertimpa bencana. Penanganan yang buruk bukan hanya akan mengorbankan nyawa rakyat, melainkan pula bisa menimbulkan kembali trauma masa konflik yang masih sangat membekas di Aceh,” tegas Muharuddin.
Anggota Solidaritas Perempuan Bungong Jeumpa Aceh Fitriani mengutarakan, perempuan dan anak adalah kelompok paling rentan dalam keadaan serba sulit akibat dampak bencana yang kian meluas ini. Paling tidak, selama ini, perempuan dituntut untuk mengelola keuangan dan mengurus semua kebutuhan rumah tangga.
Saat semua bahan pokok sulit didapat dan harga tinggi, perempuan rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga hingga berujung perceraian. Sebaliknya, anak-anak mereka terancam kelaparan, tidak ataupun putus sekolah, hingga menjadi anak broken home.
Hal itu turut dipicu tingkat stres tinggi yang dialami oleh laki-laki karena mereka kesulitan mencari nafkah ataupun mencukupi nafkah keluarga. ”Kalau keadaan serba sulit ini berkepanjangan, dampak paling nyata dan paling dekat dengan masyarakat yang bisa tinbul ialah krisis sosial. Itu menjadi bencana susulan yang akan menghantui masyarakat,” ujar Fitriani.
Dampak bencana yang sangat besar dan terus meluas di Aceh bukanlah isapan jempol. Jeritan hati Khairani adalah gambaran nyata puncak derita yang dirasakan warga. Semoga hati para penguasa terketuk dengan fakta tersebut.





