Peta Jalan Penyelesaian Kasus HAM Berat Masa Lalu, Jalan Keluar atau Jalan Hantu?

kompas.id
19 jam lalu
Cover Berita

Sederet kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM berat masa lalu belum juga dituntaskan hingga kini. Yang terbaru, Kementerian HAM berikhtiar menyelesaikannya dengan merancang Peta Jalan Menuju Penyelesaian Kasus-kasus Pelanggaran HAM Yang Berat di Masa Lalu. Apakah peta jalan bisa betul-betul menyelesaikan kasus-kasus itu?

Peta Jalan Menuju Penyelesaian Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Yang Berat di Masa Lalu diluncurkan oleh Kementerian HAM di Jakarta, Selasa (16/12/2025). Dalam sambutannya, Direktur Jenderal (Dirjen) Pelayanan dan Kepatuhan HAM, Kementerian HAM, Munafrizal Manan menyatakan peta jalan tersebut diinisiasi untuk menangani kasus-kasus HAM berat masa lalu yang masih mengganjal dan belum diselesaikan.

Munafrizal menyatakan, sebanyak 12 kasus pelanggaran HAM berat masih belum selesai secara hukum. Di sisi lain, para korban yang terdampak kasus-kasus ini belum sepenuhnya dipulihkan. 

Belasan kasus ini diakui oleh Presiden Ke-7 Joko Widodo pada Januari 2023. Yakni, peristiwa 1965-1966; peristiwa Talangsari 1989; penembakan misterius 1982-1985; kerusuhan Mei 1998; serta peristiwa 1998 yang meliputi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.

Selanjutnya, kasus penghilangan paksa 1997-1998; peristiwa Simpang KAA-Aceh 1999; peristiwa santet Banyuwangi 1998; peristiwa Wasior 2001; peristiwa Jambu Keupok Aceh 2003; peristiwa Rumah Geudong Aceh 2001-2002; dan peristiwa Wamena 2003.

Menurut Munafrizal, sulitnya penyelesaian hukum kasus-kasus ini karena terbentur masalah pembuktian. Alhasil, yang terjadi adalah bolak-balik berkas perkara penyelidikan, dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ke Kejaksaan Agung, karena belum menemukan dukungan bukti yang kuat agar bisa maju ke persidangan.

Munafrizal yang juga Komisioner Komnas HAM 2017-2022 ini menyebut, pembuktian menjadi kunci karena kasus HAM merupakan pidana khusus.

“Untuk bisa menghukum orang itu, kan, harus beyond reasonable doubt, tidak boleh ada keraguan. Nah, beban pembuktian ini yang dihadapi penegak hukum,” paparnya.

Di sisi non yudisial, pemulihan para korban juga mengalami kesulitan. Munafrizal berujar, negara baru menjangkau 600 dari total 7.000 lebih korban pelanggaran HAM berat di masa lalu, dan bisa saja jumlahnya lebih banyak dari itu.

“Artinya kurang dari 10 persen dari korban yang sudah teridentifikasi. Kalau kerja-kerja pendataan pengidentifikasian para korban dilakukan lebih lanjut, saya kira mungkin jumlahnya lebih besar. Ini pun masih menjadi upaya yang belum maksimal,” paparnya.

Baca JugaMasih Banyak Korban Kasus HAM yang Belum Terima Program Pemulihan
Peta jalan

Untuk menghadapi berbagai permasalahan ini, Munafrizal mengatakan pemerintah telah merancang roadmap atau peta jalan yang bisa menjadi pedoman antar lembaga dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

“Kami sudah mendengar dari berbagai perspektif. Dari Komnas HAM, kemudian Kejaksaan Agung, LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), kemudian Mahkamah Agung. Kemudian dari korban, pakar, ahli, dan seterusnya,” paparnya.

Upaya penyelesaian kasus HAM dalam peta jalan ini meliputi aspek yudisial atau penegakan hukum dan non yudisial berupa pemulihan korban. Peta jalan ini, lanjutnya, akan memberikan rekomendasi terhadap kementerian dan lembaga terkait sehingga bergerak lebih maksimal.

“Sebetulnya penyusunan peta jalan ini juga tidak harus dimonopoli institusi negara. Namun, karena yang disusun oleh bagian dari negara (kementerian), mudah-mudahan bisa menjadi push factor (faktor pendorong),” ujarnya.

Strategi dan mekanisme pemulihan dalam peta jalan ini meliputi empat poin, yakni Inisiatif Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi; Permintaan Maaf oleh Negara dan Pembangunan Memorialisasi Nasional; Pemulihan Hak Korban Secara Holistik, Terencana, dan Terstruktur; dan Jaminan Ketidakberulangan.

Dalam aspek yudisial, penyelesaian ini dilakukan dengan skema Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan aturan lainnya. Kelemahan dan kekosongan dalam mekanisme peradilan HAM juga akan diatasi. Penyelidikan juga difokuskan kepada pelanggaran HAM masa lalu, menyampaikan laporan kepada publik, serta transparansi publik. Para saksi, lanjut Munafrizal, akan diberikan kesempatan untuk mengungkap kebenaran.

Sementara itu, dari aspek non-yudisial, Kementerian HAM mencoba mengurai benang kusut penuntasan pelanggaran HAM dengan mempertemukan para korban bersama pihak-pihak yang berkepentingan. Identifikasi terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat, mulai dari korban 1965, Penembakan Misterius (Petrus), dan lain sebagainya terus dilakukan.

Pemulihan para korban yang berkolaborasi dengan 19 kementerian dan lembaga sesuai Instruksi Presiden (Inpres) No 2 Tahun 2023 akan diperkuat. Munafrizal menyebut, saat ini, sejumlah kementerian dan lembaga juga masih belum melaksanakan amanat Inpres ini sepenuh hati.

“Tentu saja upaya penyelesaian itu tetap dalam dua kerangka utama, yaitu yudisial, bagaimana 12 kasus itu bisa diselesaikan, dalam pengertin ada kesimpulan hukum akhir atas statusnya sebagai sebuah hasil penyelidikan dari Komnas HAM,” kata Munafrizal usai peluncuran.

“Nah, kemudian yang non-yudisial, tetap melanjutkan skema duku skema Inpres yang sudah pernah dijalankan oleh pemerintah sebelumnya. Tetapi diharapkan dengan skema yang lebih maksimal memberikan manfaat pemulihan bagi korban,” lanjutnya.

Baca JugaNegara Akui Terjadinya Pelanggaran HAM Berat di 12 Peristiwa Masa Lalu
Jalan hantu

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid berpendapat, peta jalan yang dirancang Kementerian HAM hanya akan menjadi jalan buntu dan jalan hantu jika tidak mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah. Apalagi, jika tidak ada keberanian politik untuk menghadapi perlawanan dari pihak-pihak yang terlibat.

“Buntu karena tidak akan membawa jalan keluar terbaik yang telah ditetapkan oleh hukum nasional. Menjadi hantu karena hanya akan membayangi korban dalam gelapnya situasi HAM di Indonesia,” ujarnya saat dihubungi terpisah.

Menurut Usman, UU yang berlaku sudah jelas mengatur apa yang diwajibkan pemerintah untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat. Namun, yang terjadi malah tidak adanya koherensi atau perpaduan di antara menteri-menteri dalam memaknai pelanggaran HAM berat ini. 

Contohnya, saat Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menyangkal adanya pelangggaran HAM berat pada 1998. Pernyataan ini disampaikan setelah dia dilantik 20 Oktober 2024.

Baca JugaSoal Pelanggaran HAM, Menko Hukum Yusril: Baiknya Jangan Terus Lihat Masa Lalu

Menteri Kebudayaan Fadli Zon juga beberapa kali menyangkal adanya pemerkosaan massal dalam tragedi 1998. Kementerian yang dia pimpin bahkan mengeluarkan buku sejarah yang Usman anggap cenderung menutupi kasus kekerasan di masa lalu tersebut.

“Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tidak adanya koherensi sikap dan kebijakan antar pejabat Kementerian. Menteri Yusril menyangkal pernah terjadi PHB di masa lalu. Menteri Fadli Zon juga menyangkal adanya perkosaan massal, bahkan menulis ulang sejarah yang menempatkan kasus masa lalu sebatas ekses dari narasi palsu tentang keberhasilan pembangunan,” paparnya.

Padahal, lanjut Usman, tidak perlu mengeluarkan peta jalan, tetapi cukup dengan bekerja berdasarkan amanat undang-undang. “Yang tidak cukup sekali lagi adalah itikad baik dan keberanian politik untuk menghadapi perlawanan dari mereka yang terlibat,” tegasnya.

Keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu pun melihat demikian. Ini setidaknya seperti dituturkan oleh Maria Katarina Sumarsih, ibu dari Bernardus Realino Norma Irawan yang meninggal karena terjangan peluru oleh aparat saat Tragedi Semanggi I.

Menueutnya, pemerintah hanya perlu tunduk pada UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Apalagi, Presiden RI saat dijabat Jokowi sudah mengakui 12 pelanggaran HAM berat yang seharusnya ditindaklanjuti penegak hukum.

“Indonesia sebagai negara hukum, seharusnya pemerintah melaksanakan undang-undang yang dibuat bersama DPR. Bila Presiden RI mengakui terjadinya 12 perkara pelanggaran berat HAM di negeri ini, beranikah Jaksa Agung sebagai Penyidik juga mengakuinya?” ujarnya saat dihubungi terpisah.

Menurut Sumarsih, dokumen penyelidikan itu harus segera ditindaklanjuti. Apalagi, penentuan terjadi atau tidaknya Pelanggaran HAM Berat itu ditentukan Komnas HAM sebagai penyelidik dan Jaksa Agung sebagai penyidik.

“Bagi saya, pemerintah tidak perlu menerbitkan peta jalan, sebab pemerintah bersama DPR telah menerbitkan UU tentang Pengadilan HAM. UU ini sudah mengatur mekanisme penyelesaian pelanggaran berat HAM masa lalu. Komnas HAM melakukan penyelidikan, lalu Jaksa Agung menindaklanjuti ke tingkat penyidikan,” ujarnya.

KOMPAS
Video Berita Terkait Penyelesaian Kasus HAM Berat Masa Lalu





Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Tiga Wirausahawan Sosial Terpilih sebagai Ashoka Fellow 2025
• 6 jam lalukatadata.co.id
thumb
Harga Buyback Emas Antam, UBS & Galeri 24 di Pegadaian Hari Ini 18 Desember 2025
• 22 jam lalubisnis.com
thumb
Liga Champions Wanita: Chelsea Otomatis ke Perempat Final, MU-Arsenal Playoff
• 12 jam lalukumparan.com
thumb
Tak Digaji Sejak April, 152 Buruh PT San Xiong Steel Ajukan Gugatan PHI
• 13 jam lalukumparan.com
thumb
KPK Sudah Tetapkan Tersangka Hasil OTT di Banten, Termasuk Jaksa
• 4 jam lalucnbcindonesia.com
Berhasil disimpan.