Ternate tersohor sebagai penghasil pala di dunia serta menjadi sumber mata pencaharian sebagian warganya. Bahkan sedari kecil ada yang menggantungkan hidupnya dari pala hingga rela tidak bersekolah.
Begitulah sekelumit cerita seorang siswa Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 26 Ternate, Almahdi Rahman (12). Albert, nama panggilan dari teman-temannya, sangat hafal dengan kekhasan bau dan tekstur pala, rempah khas Ternate.
Hampir setiap hari, ia menggenggam buah kecil beraroma tajam itu dan memasukkannya ke dalam tas kecil yang menempel di punggungnya. Semua itu ia lakukan demi menabung guna satu keinginan sederhana, untuk membeli baju baru setiap Idul Fitri tiba.
“Topi ini dibeli pakai uang sendiri,” kata dia sambil memegang erat topi hijau yang sudah robek di beberapa bagian, seolah itu adalah harta paling berharga yang ia punya.
Ia bangga karena bisa membeli sesuatu dari hasil jerih payahnya sendiri. Di usianya yang baru dua belas tahun, Albert sudah memahami arti bekerja dan menabung.
Ia tinggal di Kulaba, bersama kedua orang tuanya, dua kakak, dan satu adik di rumah sederhana berdinding papan dan beratap seng. Sebelum bersekolah di Sekolah Rakyat, hari-harinya banyak dihabiskan di kebun pala.
“Sehari-hari pergi ke kebun pala, buat cari duit,” ujarnya ringan, seperti sudah terbiasa dengan rutinitas yang bagi anak lain seusianya mungkin terasa berat.
Kalau hasilnya banyak, ia bisa membawa pulang Rp 50 ribu sekali panen. Albert menjual pala ke penjual dekat rumah, orang yang sudah ia kenal lama.
Kadang, kalau sedang tidak ke kebun, ia membantu orang tuanya mengangkat karung atau menyapu halaman rumah. Di sela waktu luang, ia suka bermain di laut, berenang, menyelam, bahkan kadang mencari ikan bersama teman-teman.
Soal makanan, Albert tidak rewel. “Makan apa saja bisa,” katanya. Tapi ketika bicara soal Sekolah Rakyat, matanya langsung berbinar. “Makanannya enak. Lebih enak dari rumah. Ada susu, ada buah.”
Ia tahu tentang sekolah ini dari orang tuanya. Saat pertama kali datang, ia langsung suka. “Kamarnya lebih bagus dari di rumah. Ada layar (kipas angin).”
Di rumah, ia biasa tidur sekamar dengan adiknya. Sudah lama orang tuanya tidak datang menjenguk. Terakhir kali, katanya, saat minggu pertama sekolah.
“Kangen sama orang rumah,” ucapnya lirih.
Namun rasa rindu itu sedikit terobati oleh kehangatan di Sekolah Rakyat. Ia punya banyak teman yang baik, tempat tidur yang sejuk, dan guru-guru yang sabar.
“Teman baik-baik, sering main bola, kadang main layangan juga,” katanya.
Sebelum percakapan berakhir, ia diam sejenak. Tatapannya menerawang ke halaman sekolah yang rindang. Lalu dengan suara pelan ia mengucapkan perasaan tulus terhadap orang-orang yang telah hadir mengubah hidupnya dari bocah pencari pala menjadi bagian dari Sekolah Rakyat.
“Terima kasih kepada guru-guru. Bapak dan Ibu wali asuh. Presiden Prabowo juga karena sudah memasukkan saya ke Sekolah Rakyat ini.”
Sebelum pamit, ia meneguk air minum, menepuk celananya yang berdebu, lalu berkata ingin kembali ke kelas.
“Abis ini mau belajar BTQ (Baca Tulis Quran), senang banget sekolah di sini,” ujarnya sambil tersenyum lebar sebelum berlari kecil menuju ruang belajar, meninggalkan jejak debu dan semangat yang terasa hangat di udara siang Ternate.
Albert, satu dari sekian siswa yang mendapat kesempatan kedua untuk menata ulang hidupnya, dari garis batas terbawah menuju harapan yang lebih luas.
Melalui program prioritas Presiden Prabowo Subianto, Sekolah Rakyat hadir sebagai jembatan untuk mengentaskan kemiskinan dari pelosok-pelosok negeri. Dari anak-anak seperti Almahdi, harapan tumbuh kembali, dari kebun pala, dari laut Ternate, dari tangan kecil yang tak berhenti berjuang.





