Apakah data center di balik digitalisasi kampus sepenuhnya bebas dari jejak karbon?
Kemajuan teknologi digital di era kontemporer menghadirkan berbagai kemudahan dalam kehidupan masyarakat, termasuk di lingkungan pendidikan tinggi. Salah satu wujud kemajuan itu adalah cloud computing, sebuah model komputasi di mana ribuan mesin bekerja secara terdistribusi.
Di perguruan tinggi, cloud computing menjadi tulang punggung digitalisasi akademik, mulai dari pengumpulan tugas, penyimpanan dokumen, hingga pelaksanaan perkuliahan secara daring.
Layanan tersebut nyaris tak terlihat secara fisik. Namun, kerap menciptakan ilusi bahwa aktivitas digitalisasi bersifat immaterial dan ramah lingkungan. Namun, kenyataannya tidak sederhana.
Dibalik itu terdapat infrastruktur fisik berupa data center yang beroperasi secara intensif, dan berkelanjutan. Data center mengkonsumsi energi listrik dalam skala masif untuk menjalankan server, menjaga stabilitas jaringan serta mengoperasikan sistem pendinginan.
Akibatnya tingkat konsumsi energi disamakan dengan sektor industri yang dikenal beremisi tinggi. Kondisi ini menjadikan digitalisasi perguruan tinggi bukan sekadar persoalan teknis, atau administratif, melainkan isu penting terkait politik energi dan keberlanjutan lingkungan.
Dampak ekologis digitalisasi semakin terlihat ketika aktivitas digital mahasiswa dilakukan secara bersamaan oleh jutaan orang. Mengunggah tugas, menyimpan data di cloud, mengikuti rapat daring, atau streaming materi pembelajaran yang tampak sepele secara individual, justru menimbulkan lonjakan konsumsi energi yang signifikan pada data center jika dilakukan secara kolektif. Ironisnya, dimensi ekologis ini sering luput dari perhatian dalam kebijakan kampus yang cenderung merayakan digitalisasi sebagai simbol kemajuan.
Data center: apa yang sebenarnya terjadi di balik layar
Dalam konteks digitalisasi kampus yang semakin masif, data center menjadi aspek kunci infrastruktur yang memudahkan seluruh aktivitas akademik berlangsung secara efisien dan terhubung, mulai dari pengumpulan tugas mahasiswa melalui platform penyimpanan daring, akses bahan bacaan digital, hingga kegiatan perkuliahan yang mengandalkan video meet.
Namun, di balik kemudahannya, keberadaan data center justru memiliki konsekuensi ekologis yang cukup besar. Hal ini penting dibahas karena intensitas penggunaan cloud mahasiswa meningkatkan beban kerja data center yang pada akhirnya memperluas konsumsi energi untuk mengoperasikan sekaligus menjaga stabilitas suhu server.
Padahal dalam konteks digitalisasi. Keberadaan IT yang semakin masif menjadi sarana infrastruktur memudahkan seluruh aktivitas akademik perguruan tinggi berlangsung secara efisien. Adanya kemudahan ini perlu digaris bawahi. Data center justru memiliki konsekuensi ekologis yang cukup besar.
Beban kerja data center yang pada akhirnya memperluas konsumsi energi untuk mengoperasikan sekaligus menjaga stabilitas suhu server. Untuk itu, perlu dipahami dampak lingkungannya sejauh mana digitalisasi kampus yang ramah lingkungan supaya tidak menimbulkan beban energi.
Mengacu pada Telecommunication Industry Association (TIA), data center merupakan fasilitas yang dirancang untuk menampung perangkat komputasi beserta infrastruktur pendukungnya, seperti sistem catu daya, pendinginan, proteksi kebakaran, dan keamanan fisik.
Pendinginan: sumber konsumsi energi yang sering terlupakan
Di iklim tropis seperti Indonesia, energi yang dibutuhkan untuk menjaga suhu ruang data center semakin besar. Bahkan, berbagai laporan teknis menunjukkan bahwa 50% hingga 60% konsumsi energi data center habis hanya untuk sistem pendinginan. Hal ini terlihat dari rata-rata PUE global yang masih berkisar pada angka 1.5–1.6.
Artinya, untuk setiap 1 kWh listrik yang digunakan server, terdapat tambahan 0.5 hingga 0.6 kWh yang dibutuhkan untuk menjalankan infrastruktur penunjang. Dampak lingkungan dari sistem pendinginan ini tidak hanya berhenti pada tingginya konsumsi energi. Tetapi juga membawa risiko ekologis lain apabila sistem pendingin tidak dikelola secara tepat.
Jejak karbon digital secara kuantitatif data center menghabiskan sekitar 415 TWh pertahun setara dengan 1,5% konsumsi listrik dunia. Jika angka ini digunakan seluruh perguruan tinggi, turut menambah konsumsi energi yang harus ditangani data center.
Jejak karbon digital: angka dan implikasinya
Beberapa studi menunjukkan bahwa transmisi data membutuhkan sekitar 0,03 kWh per 1GB. Jika dikalikan dengan intensitas emisi listrik Indonesia yang mencapai 600-900 CO2/kWh. Maka setiap 1GB data yang diunggah atau diakses mahasiswa menghasilkan sekitar 20-30 gram CO. Asumsinya, saat mahasiswa menggunakan 5-10 GB data
untuk aktivitas akademik setiap minggu, maka secara akumulatif, satu fakultas dapat menghasilkan puluhan ton CO₂ per tahun dari aktivitas digital semata.
Studi kasus di Indonesia: pola konsumsi energi kampus
Gambaran mengenai tingginya beban energi data center juga dapat dilihat dari sejumlah studi kasus kampus di Indonesia. Penelitian yang dilakukan Adelina Farfaza (2024) di ITS menunjukkan bahwa pada pusat data milik Pemerintah Kota Surabaya, sumber emisi terbesar berasal dari server (44%) dan sistem pendinginan (32%), dengan total emisi tahunan yang mencapai ratusan ribu kilogram CO₂.
Temuan ini menegaskan bahwa struktur konsumsi energi data center cenderung bersifat konsisten, di mana beban utama selalu bertumpu pada perangkat komputasi dan sistem pendinginan yang beroperasi secara terus-menerus.
Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa peningkatan aktivitas digital, termasuk penggunaan cloud oleh mahasiswa, akan secara langsung memperbesar tekanan energi pada dua komponen tersebut jika tidak diimbangi dengan efisiensi teknis.
Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, mulai mendorong penerapan konsep green data center melalui optimasi sistem pendinginan dan virtualisasi server untuk menekan konsumsi listrik. Namun, hingga kini belum tersedia data publik yang memadai mengenai volume beban data yang diproses secara berkala, sehingga sulit menilai sejauh mana efektivitas kebijakan tersebut.
Relevansi dan adopsi kebijakan di tingkat fakultas/kampus
Institut Teknologi PLN (ITPLN) menjadi contoh konkret kampus yang berhasil menekan jejak karbon data center melalui penggunaan energi hijau. Melalui Renewable Energy Certificate (REC), ITPLN memperoleh pengakuan atas pemakaian listrik dari sumber energi baru terbarukan (EBT), seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Cirata.
Dengan konsumsi listrik sebesar 915 MWh, penggunaan REC memungkinkan kampus menjalankan operasional data center tanpa menambah beban emisi secara signifikan. Pendekatan ini menjadi bukti bahwa transisi energi hijau bisa menjadi solusi nyata untuk mengimbangi tingginya konsumsi energi akibat aktivitas cloud mahasiswa, mulai dari pengunggahan tugas, akses materi digital, hingga streaming kelas daring.
Sementara itu, Universitas Indonesia (UI) menonjol sebagai pelopor Green Campus melalui program UI GreenMetric, yang menilai kinerja lingkungan universitas secara global sekaligus mendorong praktik ramah lingkungan. Dalam konteks data center, UI menerapkan energi terbarukan melalui panel surya di gedung-gedung strategis, penggunaan lampu LED, dan perangkat hemat energi. Langkah-langkah ini membantu menurunkan ketergantungan server terhadap listrik konvensional dan menekan emisi karbon, sekaligus memastikan layanan cloud mahasiswa tetap berjalan lancar.
Semua langkah-langkah tersebut membantu menurunkan ketergantungan server terhadap listrik konvensional dan menekan emisi karbon, sekaligus memastikan layanan cloud mahasiswa tetap berjalan lancar.
Sebagai strategi internal, kampus juga dapat merumuskan peraturan rektor tentang green energy dan green data center sebagai dasar hukum bagi seluruh unit kerja. Peraturan ini mengatur audit energi jejak karbon digital secara berkala. Memetakan konsumsi listrik, kapasitas server dan pemanfaatan cloud mahasiswa.
Tahap implementasi bisa mengacu pada Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 2 tahun 2024 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang menjadi instrumen penting mendorong pemanfaatan energi tenaga surya.
Kemudian, adopsi standar Green Data Center melalui penggunaan cloud berjejak karbon rendah, pembatasan kapasitas penyimpanan akun institusional, pengaturan retensi data otomatis, serta edukasi penggunaan platform rapat daring hemat bandwidth bagi mahasiswa dan dosen.
Terakhir melakukan pengawasan berkala melalui monitoring konsumsi energi, evaluasi capaian emisi, dan pelaporan kinerja lingkungan memastikan strategi ini tidak berhenti pada konsep semata, melainkan terimplementasi secara efektif.
Di tingkat pemerintah, dukungan terhadap pengelolaan data center yang lebih efisien dapat diwujudkan melalui regulasi efisiensi energi, pemberian insentif fiskal, serta standardisasi nasional untuk data center hijau. Kebijakan ini penting untuk memberikan kerangka teknis sekaligus kepastian hukum bagi perguruan tinggi dalam melakukan transformasi infrastruktur digital.
Selain itu, belum meratanya kesadaran institusional mengenai jejak karbon digital juga menjadi hambatan tersendiri. Banyak kampus masih memandang data center semata sebagai fasilitas pendukung teknologi, bukan sebagai sumber konsumsi energi dan emisi yang perlu dikelola secara strategis.
Dalam analisis SWOT (strength, weakness, opportunity, threat) kami, kebijakan green energy dan green data center menunjukkan bahwa kekuatan utama terletak pada adanya dasar hukum internal yang jelas melalui pelaksanaan audit energi dan jejak karbon digital secara berkala, pemanfaatan energi surya untuk mengurangi ketergantungan listrik konvensional, serta penerapan standar data center hijau.
Akibatnya, aspek keberlanjutan seringkali belum menjadi pertimbangan utama dalam perencanaan dan penganggaran infrastruktur teknologi informasi di lingkungan perguruan tinggi. Investasi pada data center lebih difokuskan pada peningkatan kapasitas penyimpanan dan kecepatan akses, tanpa diimbangi evaluasi terhadap efisiensi energi, sistem pendinginan, maupun sumber listrik yang digunakan. Padahal, tanpa pengelolaan yang berkelanjutan, ekspansi infrastruktur digital justru berpotensi memperbesar beban emisi karbon institusi pendidikan itu sendiri.
Namun, kebijakan ini masih memiliki kelemahan berupa keterbatasan anggaran untuk investasi infrastruktur, ketimpangan kapasitas teknis antar unit, potensi resistensi internal, serta lemahnya pengawasan jika tidak didukung tim keberlanjutan khusus.
Di sisi peluang, pemerintah mendukung regulasi ketersediaan skema insentif dan pembiayaan energi terbarukan.
Sementara itu, ancaman yang dihadapi meliputi keterbatasan pasokan energi terbarukan dalam sistem kelistrikan nasional, perbedaan kesiapan implementasi antar institusi, peningkatan beban digital yang berpotensi menaikkan emisi jika tidak dikelola secara efisien, serta ketergantungan pada penyedia layanan digital yang belum sepenuhnya menerapkan standar jejak karbon rendah.
Sebagai penutup, sudah saatnya digitalisasi kampus tidak lagi diperlakukan sebagai simbol kemajuan yang seolah bersih dan bebas konsekuensi. Setiap tugas yang diunggah, ruang penyimpanan cloud yang terus bertambah, dan kelas daring yang kita ikuti, sesungguhnya meninggalkan jejak karbon nyata melalui data center yang bekerja tanpa henti dan menyerap energi dalam jumlah besar.
Kenyamanan teknologi digital sering kali menutupi fakta bahwa aktivitas akademik sehari-hari memiliki biaya ekologis yang tidak kecil. Pengalaman di sejumlah perguruan tinggi menunjukkan bahwa tekanan energi dari data center bukan sesuatu yang mustahil dikelolah.
Energi terbarukan, efisiensi operasional server. Serta penerapan kebijakan green data center membuktikan bahwa infrastruktur digital kampus dapat diarahkan ke jalur yang lebih berkelanjutan. Melalui pendekatan tersebut, peningkatan penggunaan cloud oleh mahasiswa tidak harus selalu berbanding dengan kenaikan emisi karbon yang harus kita hadapi.
Kesadaran atas fakta ini menuntut perubahan cara pandang seluruh sivitas akademika terhadap teknologi digital. Digitalisasi perlu ditempatkan sebagai proses yang bertanggung jawab, di mana efisiensi energi dan keberlanjutan lingkungan menjadi bagian dari etika penggunaan teknologi.
Kampus tidak cukup hanya mendorong pemanfaatan platform digital, tetapi juga harus memastikan tata kelola infrastruktur pendukungnya berjalan selaras dengan prinsip ramah lingkungan. Dengan demikian, kemajuan teknologi tidak hadir sebagai paradoks ekologis, melainkan sebagai instrumen transformasi yang adil, berkelanjutan, dan berpihak pada masa depan bumi.
Pengalaman ITPLN dan Universitas Indonesia menunjukkan bahwa tekanan energi dari data center bukan sesuatu yang mustahil dikelola. Integrasi energi terbarukan, efisiensi operasional server, serta penerapan kebijakan green data center membuktikan bahwa infrastruktur digital kampus dapat diarahkan ke jalur yang lebih berkelanjutan. Dengan pendekatan tersebut, peningkatan penggunaan cloud oleh mahasiswa tidak harus selalu berbanding dengan kenaikan emisi karbon yang harus kita hadapi. [but]
Sharim Dezhneva Denalis dan tim mahasiswa Fisipol UGM

