FAJAR.CO.ID, JAKARTA — DPR RI menyoroti kayu gelondongan berbagai jenis dan ukuran yang tersapu banjir bandang Sumatera menghantam pemukiman warga hingga menutupi akses jalan.
Kayu gelondongan yang diduga berasal dari perambahan hutan itu pun dimanfaatkan warga seperti dibuat papan. Seperti yang terjadi di Garoga, Batangtoru, Tapanuli Selatan.
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Alex Indra Lukman menegaskan pemanfaatan kayu-kayu tersebut tidak boleh dilakukan sembarangan, meski dianggap bernilai ekonomis bagi masyarakat.
Argumen tersebut kata Alex, berpedoman pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
“Hari ini kita melihat warga menjadikan kayu berbagai ukuran sebagai barang bernilai ekonomis. Ini tak bisa dibiarkan terus berlanjut, karena penanganannya mesti merujuk UU No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah,” kata Politikus PDI Perjuangan itu, Senin (15/12).
“Sama halnya dengan puing-puing bangunan, kayu-kayu ini tentu akan sangat banyak peminatnya. Terlebih, kualitas kayunya terlihat sangat bagus. Tentunya, memiliki nilai ekonomis tinggi,” sambung Alex.
Ia menjelaskan material kayu yang terbawa banjir tersebut masuk dalam kategori sampah spesifik, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (4) UU Pengelolaan Sampah, yakni sampah yang timbul akibat bencana alam.
Adapun kategori sampah spesifik juga mencakup sampah yang mengandung B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), sampah yang mengandung limbah B3, puing bongkaran bangunan, sampah yang secara teknologi belum dapat diolah, serta sampah yang timbul secara tidak periodik.
Sehingga ia mendorong pelibatan pihak ketiga agar pembersihan berjalan cepat, dan tetap memberi manfaat ekonomi tanpa melanggar hukum maupun merusak lingkungan.
Alex menyebut mestinya tumpukan sampah itu ditangani secara spesifik, baik lantaran karakteristik, volume, frekuensi timbulnya, maupun karena faktor lainnya, yang memerlukan cara penanganan yang tidak normatif berurutan.
Menurutnya, Peraturan Pemerintah (PP) No 27 Tahun 2020 yang merupakan petunjuk teknis UU Pengelolaan Sampah, memberi ruang pada pemerintah, baik pusat maupun daerah, memanfaatkan sampah akibat bencana ini untuk kegiatan bernilai ekonomis.
“Di tengah keterbatasan kemampuan fiskal daerah, keberadaan kayu-kayu tersebut setidaknya akan membantu berbagai kebutuhan mendesak dalam penanganan dampak bencana,” tegasnya. (Pram/fajar)



