Selingkuh hampir selalu dipandang sebagai tindakan salah. Dalam banyak budaya, ia dikaitkan dengan pengkhianatan, kebohongan, dan kegagalan moral. Namun kenyataannya, tidak semua orang yang berselingkuh memandang dirinya sebagai sosok yang buruk. Bahkan, banyak dari mereka yang tidak merasa terlalu menyesal setelahnya.
Hal ini sering memunculkan pertanyaan. Jika perselingkuhan dianggap salah, kenapa pelakunya bisa tetap menjalani hidup dengan tenang, seolah tidak terjadi apa apa? Apakah mereka tidak punya rasa bersalah, atau ada mekanisme psikologis tertentu yang bekerja di baliknya?
Penelitian psikologi menunjukkan bahwa jawabannya bukan sesederhana kurangnya moral. Otak manusia memiliki cara tersendiri untuk menjaga citra diri tetap utuh, bahkan setelah seseorang melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai yang ia yakini.
Kebutuhan untuk Tetap Merasa Menjadi Orang BaikSetiap orang pada dasarnya ingin memandang dirinya sebagai pribadi yang baik, rasional, dan bermoral. Citra diri ini penting karena berkaitan langsung dengan harga diri dan kestabilan emosional. Masalah muncul ketika seseorang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai tersebut, termasuk perselingkuhan.
Pada titik ini, seseorang dihadapkan pada dua hal yang saling bertabrakan. Di satu sisi, ada nilai moral tentang kesetiaan. Di sisi lain, ada fakta bahwa ia telah melanggar nilai tersebut. Benturan ini menimbulkan ketegangan psikologis yang tidak nyaman.
Dalam psikologi, kondisi ini dikenal sebagai cognitive dissonance. Jika ketegangan ini dibiarkan terlalu lama, seseorang bisa mengalami rasa bersalah yang intens, malu, bahkan krisis identitas. Otak cenderung tidak menyukai kondisi tersebut dan akan berusaha mencari jalan keluar.
Mengubah Makna, Bukan Menghapus PeristiwaMenariknya, banyak pelaku perselingkuhan tidak menyangkal apa yang mereka lakukan. Mereka tahu bahwa tindakannya melanggar komitmen. Namun yang berubah bukan faktanya, melainkan cara mereka memaknai pengalaman tersebut.
Dalam penelitian tentang pengalaman perselingkuhan pada dewasa muda, banyak responden mulai membingkai ulang peristiwa itu sebagai sesuatu yang memiliki makna tertentu. Perselingkuhan tidak lagi dipandang sebagai kesalahan mutlak, tetapi sebagai pengalaman hidup.
Bagi sebagian orang, perselingkuhan dianggap sebagai cara untuk mengenali kebutuhan emosional diri sendiri. Bagi yang lain, ia dilihat sebagai titik balik untuk memahami hubungan yang sedang dijalani. Dengan cara ini, otak berhasil menjembatani jarak antara tindakan yang dilakukan dan citra diri yang ingin dipertahankan.
Seseorang tetap bisa berkata pada dirinya sendiri, “Aku melakukan hal yang keliru, tapi aku bukan orang yang sepenuhnya buruk.”
Pembenaran yang Terasa Masuk AkalDalam banyak narasi, pelaku juga menekankan konteks emosional sebelum perselingkuhan terjadi. Mereka merasa diabaikan, tidak diperhatikan, atau tidak diinginkan dalam hubungan utama. Fokus cerita pun bergeser dari tindakan selingkuh itu sendiri ke kondisi batin yang mendahuluinya.
Ini bukan sekadar mencari alasan. Dari sudut pandang psikologi, ini adalah mekanisme perlindungan diri. Dengan menempatkan diri sebagai individu yang sedang kekurangan secara emosional, beban rasa bersalah menjadi lebih ringan dan lebih mudah diterima.
Tanggung jawab moral memang tidak sepenuhnya hilang. Namun secara mental, tekanan yang dirasakan menjadi jauh lebih kecil. Otak berhasil menjaga harga diri agar tidak runtuh.
Tidak Menyesal Bukan Berarti Tidak SadarSalah satu temuan yang cukup mengejutkan dari penelitian ini adalah bahwa mayoritas pelaku menyatakan tidak menyesal. Namun penting untuk dipahami bahwa tidak menyesal tidak selalu berarti ingin mengulanginya.
Sebagian orang memilih untuk tidak mengulangi perselingkuhan, meski mereka tidak sepenuhnya menyesali pengalaman tersebut. Ini menunjukkan bahwa rasa penyesalan dan keputusan perilaku adalah dua hal yang berbeda.
Tidak menyesal sering kali berarti pengalaman itu sudah berhasil diserap ke dalam identitas diri tanpa merusaknya. Sementara keputusan untuk tidak mengulang lebih dipengaruhi oleh pertimbangan lain, seperti risiko, dampak jangka panjang, atau perubahan prioritas hidup.
Perselingkuhan sebagai Pelajaran HidupBanyak pelaku menyebut perselingkuhan sebagai pelajaran hidup. Dari sudut pandang psikologi, ini adalah strategi yang sangat efektif untuk menjaga keseimbangan mental.
Dengan menganggap pengalaman tersebut sebagai proses belajar, otak melakukan beberapa hal sekaligus. Kesalahan diubah menjadi makna, rasa malu diganti dengan refleksi, dan identitas diri tetap dipertahankan sebagai individu yang berkembang.
Narasi ini membuat seseorang tetap merasa utuh secara psikologis, meskipun ia telah melakukan pelanggaran moral yang cukup berat.
Mengapa Hal Ini Penting DipahamiMemahami mekanisme ini bukan berarti membenarkan perselingkuhan. Namun pemahaman ini membantu kita melihat bahwa perilaku manusia tidak selalu didorong oleh niat jahat.
Banyak keputusan bermasalah justru lahir dari upaya mempertahankan kesehatan mental, meskipun caranya keliru. Ketika citra diri terasa lebih terancam daripada nilai moral, otak akan memilih bertahan dengan caranya sendiri.
Dalam konteks hubungan, hal ini menjelaskan mengapa perselingkuhan tidak selalu diikuti rasa bersalah yang mendalam, dan mengapa sebagian orang dapat melanjutkan hidup seolah tidak terjadi apa apa.


