INDONESIA hari ini sesungguhnya tidak hanya sedang menghadapi bencana ekologis, tetapi bencana manusia. Banjir, longsor, kekeringan, dan krisis udara bersih yang terus berulang bukanlah peristiwa yang lahir tiba-tiba dari alam yang murka.
Ia lahir dari akumulasi keputusan manusia, cara kita memimpin, membangun, mengelola, dan memperlakukan alam selama puluhan tahun.
Dalam pengertian ini, kerusakan alam adalah refleksi dari kerusakan cara berpikir manusia, dan lebih jauh lagi, kerusakan cara kita memimpin kehidupan bersama.
Ketika hutan gundul, sungai menyempit, pesisir tergerus, dan udara tercemar, sesungguhnya yang sedang rusak bukan hanya ekosistem, tetapi nurani kolektif kita.
Alam tidak runtuh dengan sendirinya, ia diruntuhkan perlahan oleh keserakahan yang dilegalkan, oleh kebijakan yang rabun jangka panjang, oleh kepemimpinan yang lebih sibuk mengejar pertumbuhan daripada menjaga keberlanjutan.
Kita sering menyebutnya bencana alam, padahal dalam banyak kasus, itu adalah bencana moral, bencana etika, dan bencana kepemimpinan.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=kerusakan lingkungan, banjir sumatera&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8xOC8xNTAxMTExMS9rZXBlbWltcGluYW4tZWtvbG9naXMta2VzYWRhcmFuLXlhbmctdGVybGFtYmF0LWRhbi10YWstYm9sZWgtZ2FnYWwtbGFnaQ==&q=Kepemimpinan Ekologis: Kesadaran yang Terlambat dan Tak Boleh Gagal Lagi§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Dalam setiap banjir besar, selalu ada jejak keputusan manusia di hulu. Dalam setiap longsor, ada cerita tentang pembiaran dan kompromi. Dalam setiap kekeringan, ada sejarah eksploitasi yang tak seimbang.
Maka keliru jika kita terus menempatkan alam sebagai pihak yang harus disalahkan, sementara manusia dengan seluruh sistem kepemimpinannya lepas dari refleksi kritis. Alam hanya merespons. Manusialah yang memulai.
Kesadaran inilah yang sering terlambat hadir dalam diskursus publik. Kita terlalu cepat sibuk menghitung kerugian materi, tetapi jarang bertanya, apa yang salah dengan cara kita berpikir, dengan cara kita mengambil keputusan, dan dengan cara kita memimpin?
Baca juga: Bencana, Hak Warga, dan Kewajiban Negara
Padahal, selama manusia tidak berubah, selama pola kepemimpinan tidak bertransformasi, bencana ekologis hanya akan berganti bentuk, bukan berhenti.
Dari titik inilah pembahasan tentang kepemimpinan ekologis menjadi relevan, bahkan mendesak. Ia bukan sekadar konsep lingkungan hidup, melainkan cermin untuk membaca ulang kualitas kemanusiaan kita.
Sebab pada akhirnya, krisis ekologi adalah krisis manusia yang gagal memahami batas, gagal membaca keterhubungan, dan gagal memimpin dengan kebijaksanaan.
Dalam realitas pahit di lapangan, kepemimpinan ekologis bukan sekadar istilah akademik atau slogan kampanye semata.
Di Sumatera, keluarga korban masih bergulat dengan duka yang tak terperi setelah banjir dan longsor memakan ratusan nyawa.
Hingga pertengahan Desember 2025, lebih dari 1.000 orang dilaporkan tewas dan ratusan lainnya hilang akibat banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, angka itu terus bertambah seiring upaya pencarian yang belum selesai.
Dari bencana alam ke bencana cara berpikirSelama ini, bencana sering dipahami sebagai kejadian alamiah yang berada di luar kendali manusia. Pandangan ini tidak sepenuhnya keliru, tetapi juga tidak lengkap.
Banyak bencana hari ini adalah hasil dari interaksi antara fenomena alam dan keputusan manusia, pembukaan hutan tanpa kendali, alih fungsi lahan yang serampangan, tata ruang yang abai terhadap daya dukung lingkungan, serta kebijakan pembangunan yang mengedepankan kecepatan dan keuntungan jangka pendek.
Literatur kepemimpinan kontemporer menyebut kondisi ini sebagai adaptive challenges, persoalan kompleks yang tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan teknis semata, tetapi menuntut perubahan cara berpikir, nilai, dan perilaku kolektif.
Krisis ekologis adalah contoh paling nyata dari tantangan adaptif tersebut.
Sayangnya, banyak pemimpin masih menggunakan paradigma lama dalam menghadapi persoalan baru. Kepemimpinan dipraktikkan secara top-down, reaktif, dan terfragmentasi.
Ketika banjir terjadi, solusi yang ditawarkan adalah normalisasi sungai atau pembangunan tanggul, tanpa menyentuh persoalan hulu seperti deforestasi, tata ruang, dan budaya konsumsi.
Ketika polusi udara memburuk, solusi jangka pendek kembali dikedepankan, sementara perubahan struktural ditunda.
Kepemimpinan ekologis menolak cara berpikir semacam ini. Ia menegaskan bahwa lingkungan bukan sektor tambahan, melainkan fondasi dari seluruh sistem kehidupan. Ketika fondasi ini diabaikan, maka krisis hanya tinggal menunggu waktu.
Baca juga: Bantuan Asing dan Status Darurat Bencana
Salah satu kritik utama dalam kajian kepemimpinan ekologis adalah kecenderungan kita mengagungkan figur pemimpin sebagai pahlawan tunggal.
Model kepemimpinan industrial dan karismatik menempatkan pemimpin sebagai pusat kontrol, pengambil keputusan utama, dan penentu arah organisasi atau negara.
Model ini mungkin efektif dalam situasi krisis jangka pendek, tetapi rapuh ketika berhadapan dengan kompleksitas sistem jangka panjang.
Pendekatan ekologis menawarkan perspektif berbeda. Kepemimpinan dipahami sebagai proses yang muncul dari interaksi antara pemimpin, pengikut, konteks sosial, dan lingkungan alam.



