Putusan Mahkamah Konstitusi Soal Uji Materi UU Tipikor Dinilai Kontradiktif

jpnn.com
10 jam lalu
Cover Berita

jpnn.com, JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji materi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31/1999 jo Undang-undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dinilai kontradiktif.

Meski menolak seluruh permohonan pemohon, MK mengakui adanya multitafsir atas kedua pasal tersebut yang menimbulkan ketidakpastian. Karena itu, MK merekomendasikan kepada pembuat undang-undang untuk merumuskan ulang kedua pasal tersebut.

BACA JUGA: MK Segera Putuskan 3 Perkara Uji Materi UU Kejaksaan Soal Imunitas Jaksa

Kuasa hukum para pemohon, Maqdir Ismail mengatakan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor pada dasarnya dituangkan dalam Pasal 603 dan 604 Undang-Undang KUHP yang sudah disahkan dan mulai berlaku tahun depan.

“Yang kami tidak habis mengerti, bagaimana MK meminta kedua pasal tersebut diperbaiki oleh DPR. Sementara, DPR sudah memutuskan dan undang-undang tersebut akan berlaku. Kami menangkapnya, ini sebagai anjuran MK agar kami menggugat lagi Pasal 603 dan 604 KUHP dengan alasan ketidakpastian hukum,” ujar Maqdir kepada wartawan, Kamis (18/12).

BACA JUGA: 24 Tokoh Antikorupsi Ajukan Amicus Curiae Terkait Uji Materi UU Tipikor di MK

Namun demikian, Maqdir juga tidak menampik adanya kemungkinan bahwa MK melalui putusannya secara sengaja melempar persoalan ini ke publik, bahwa DPR yang harus membereskan hal ini.

“Ini menurut saya merupakan perdebatan yang tidak akan ada habisnya tanpa adanya kebijakan tentang politik hukum dalam pemberantasan korupsi yang jelas. Karena Pasal 2 dan 3, khususnya terkait kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi, hanya ada di Indonesia. Tidak ada di negara lain,” kata Maqdir.

BACA JUGA: Mantan Pimpinan KPK Soroti Pasal Karet Dalam Gugatan UU Tipikor

Maqdir lalu mencontohkan Myanmar sebagai negara yang sangat keras dalam pemberantasan korupsi. Meski demikian, negara tersebut tidak menyandarkan pada unsur kerugian negara, tetapi pada unsur suap, penyalahgunaan wewenang, atau perbuatan melawan hukum lainnya.

“Kami tidak ingin pemberantasan korupsi hanya berdasarkan unsur kerugian keuangan negara. Yang mana, itu hanya ilusi dari orang yang melakukan perhitungan karena angkanya tidak nyata. Ini bukan kontestasi penegak hukum yang merasa bahwa perkara yang ditanganinya lebih besar dari perkara lain,” kata Maqdir.

Salah satu pemohon, Hotashi Nababan menambahkan, uji materiil terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 pada dasarnya merupakan upaya untuk melindungi para pejabat publik, termasuk direksi badan usaha milik negara (BUMN) dari ketidakpastian hukum.

“Saya sangat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Namun, melihat perkara yang terjadi pada Tom Lembong, Ira Puspadew, dan banyak lagi, maka akan bertambah lagi orang-orang yang dikriminalisasi seperti saya dengan ditolaknya judicial review ini. Karena, tidak perlu pembuktian adanya niat jahat,”tutur Hotashi, yang pernah divonis bersalah pada perkara korupsi Merpati Airlines.

Dalam putusan atas uji materi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dengan nomor perkara 142/PUU?XXII/2024 dan 161/PUU?XXII/2024 yang dibacakan Rabu (17/12), MK menolak seluruh permohonan para pemohon.

Namun, MK memahami adanya diskursus mengenai multitafsir dan ketidakkonsistenan aparat penegak hukum terhadap norma Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 yang bisa menimbulkan ketidakpastian.

Oleh karena itu, MK merekomendasikan pembentuk undang-undang untuk mengkaji kembali dan merumuskan ulang kedua pasal tersebut.

Selain itu, putusan atas Perkara 161/PUU?XXII/2024 juga diwarnai oleh perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari salah satu hakim, Arsul Sani.

Menurut dia, seharusnya MK mengabulkan sebagian permohonan, yaitu untuk norma Pasal 2 ayat 1 perlu ditambahkan frasa “dengan maksud” sebagai bukti adanya niat jahat (mens rea).

Sebagaimana diketahui, uji materi atas Pasal 2 ayat (1) dan Pasa 3 UU Tipikor dimohonkan oleh Syahril Japarin (mantan Direktur Utama Perum Perindo), Kukuh Kertasafari (mantan pegawai Chevron Indonesia), Nur Alam (mantan Gubernur Sulawesi Tenggara), dan Hotashi Nababan (mantan Direktur Utama Merpati Airlines).

Para pemohon meminta agar MK menghapuskan frasa “kerugian keuangan negara” dalam kedua pasal tersebut atau tetap digunakan dengan tambahan syarat adanya unsur suap dan niat jahat. (cuy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... 18 Akademisi Hukum Minta MK Batasi Pasal 21 UU Tipikor, Dinilai Overkriminalisasi


Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Waspada Pandemi H5N1, Ilmuwan Ingatkan Pentingnya Kecepatan Respons Sebelum 10 Kasus Pertama
• 18 jam lalumediaindonesia.com
thumb
Bahasa Portugis Masuk Sekolah: Potensi atau Ancaman bagi Bahasa Indonesia?
• 13 jam lalukumparan.com
thumb
Heboh Diisukan Jadi Simpanan Pejabat, Shandy Aulia Batasi Komentar Akun Media Sosialnya
• 13 jam lalufajar.co.id
thumb
Langkah Awal Universitas Purdue: Tolak Menerima Mahasiswa Tiongkok Bisa Picu Efek Domino di Kampus Barat
• 12 jam laluerabaru.net
thumb
Kejagung pastikan transparansi dalam kasus OTT KPK di Banten
• 4 menit laluantaranews.com
Berhasil disimpan.