Bisnis.com, JAKARTA — Polemik saling klaim antara perusahaan tambang pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dan masyarakat yang masih terjadi perlu penanganan serius dari pemerintah.
Terlebih, persoalan izin pakai kawasan hutan yang kian marak berujung pada kerusakan yang masif. Di sisi lain, sektor ekstraktif seperti pertambangan masih menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional.
Berkaca pada data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki cadangan komoditas mineral dan batu bara yang melimpah, seperti nikel, tembaga, bauksit, timah, emas, perak, besi, dan batu bara.
Selama semester I/2025, produksi batu bara nasional mencapai 357,6 juta ton atau 48,34% dari target produksi tahun 2025 sebesar 739,67 juta ton. Pasokan batu bara nasional itu dialokasikan untuk ekspor sebesar 238 juta ton, memasok 45% kebutuhan listrik dunia.
Sejalan dengan itu, kajian Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menunjukkan bahwa kontribusi sektor pertambangan masih tinggi dengan menyumbang sekitar 8,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Peneliti Alpha Research Database Indonesia Ferdy Hasiman mengungkapkan bahwa polemik saling klaim antara perusahaan tambang pemegang IPPKH dan masyarakat banyak terjadi di beberapa provinsi seperti di Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan.
“Pemerintah pusat harus turun tangan agar polemik tersebut tak berlarut-larut, dan pemerintah pusat [juga] harus mengawal IPPKH yang diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan,” kata Ferdy, dikutip Kamis (17/12/2025).
Dia menekankan bahwa Indonesia memang masih kaya potensi sumber daya alam. Namun, dibutuhkan kepastian hukum dengan penegakan aturan sebagaimana mestinya.
Kawasan hutan, imbuhnya, adalah milik negara sehingga tidak ada yang bisa memanfaatkannya tanpa mengantongi izin dari negara. Termasuk jika ada masyarakat yang melakukan klaim memiliki legalitas atas wilayah hutan, Ferdy menilai, hal itu merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan.
Hal itu berbeda dengan jika klaim tersebut berada di area penggunaan lain (APL), yang merupakan wilayah di luar kawasan hutan negara yang ditetapkan untuk pembangunan di luar sektor kehutanan.
“Seperti pertanian, permukiman, industri, hingga infrastruktur, adalah zonasi tata ruang di Indonesia di mana kegiatan non-kehutanan bisa dilakukan, berbeda dengan Kawasan Hutan yang fungsinya untuk konservasi dan produksi hasil hutan,” tuturnya.
Setali tiga uang, Ketua Bidang Mineral Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) M. Toha menjelaskan bahwa industri tambang memberikan dampak positif signifikan seperti penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat serta daerah melalui pajak/royalti, pengembangan infrastruktur (jalan, komunikasi) di wilayah terpencil, penyediaan bahan baku untuk industri lain, serta peningkatan ekonomi nasional melalui ekspor dan investasi.
“Sektor pertambangan bisa meningkatkan kesejahteraan, membuka akses, dan menggerakkan pertumbuhan ekonomi, namun memerlukan pengelolaan berkelanjutan agar manfaatnya maksimal dan dampak negatifnya minimal,” katanya.
Namun, Toha menegaskan bahwa wilayah hutan adalah mutlak milik negara. Jika lahan terdapat di kawasan hutan, imbuhnya, maka status lahan milik negara.
“Jika perusahaan sudah mengantongi IPPKH, kemudian diklaim oleh masyarakat sebagai tanah adat atau tanah ulayat, kalau berada di kawasan hutan maka klaim itu melanggar aturan perambahan hutan,” kata Toha.
Menurut dia, sesuai dengan perundang-undangan, kawasan hutan tidak bisa dimiliki perorangan. Di kawasan hutan yang ada IPPKH nya, kata dia, jika ada yang memiliki sertifikat maka itu melanggar hukum. Pemilik sertifikat maupun yang menerbitkan bisa dipidana, karena secara hukum di dalam kawasan hutan tidak boleh dikeluarkan sertifikat.
Dia tidak menampik bahwa salah satu isu terbesar yang mengancam kepastian hukum di sektor pertambangan adalah tumpang tindih lahan (overlapping) antara Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan hak guna lainnya (HGU perkebunan), serta terkait dengan masalah IPPKH yang kemudian diklaim oleh masyarakat.
Adapun, pemerintah telah membentuk Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang melibatkan Kementerian ESDM dalam upaya mengembalikan penguasaan negara terhadap kawasan hutan yang dimanfaatkan tanpa izin.
Hingga kini, Satgas PKH menguasai kembali 3.312.022,75 hektare kawasan hutan, dengan 915.206,46 hektare di antaranya telah diserahkan kepada kementerian terkait.
Pertambangan ilegal yang selama ini marak terjadi di Indonesia…





