GenPI.co - Begitu mendarat di bandara Morowali, kemarin, saya disapa sesama penumpang dari Makassar. Ia jurusan Balikpapan-Makassar-Morowali. Saya jurusan Surabaya-Makassar-Morowali.
"Sudah ada yang menjemput Pak?"
"Belum ada".
"Tujuannya ke mana, Pak?"
"Tidak tahu".
Terdiam.
"Anda sendiri mau ke mana?"
"Saya ada kantor di sini Pak," katanya.
"Ada mobil?"
"Ada".
"Boleh ikut?"
"Sangat boleh. Senang sekali".
Sebenarnya saya sudah melihat-lihat brosur di meja kecil yang ditunggu dua wanita muda di dekat pengambilan bagasi. Adakah mobil yang bisa disewa. Ada Avanza. Ada Xenia. Ada beberapa. Semua mobil kelas itu. Tidak ada yang sedikit lebih besar. Satu jam Rp 400.000. Ada yang Rp 800.000.
Saya ikut mobil yang gratis.
"Sering ke Morowali?" tanya saya.
"Setahun dua-tiga kali".
"Punya proyek apa?"
"Survei dan pemetaan tanah".
Namanya: Arif Setiawan. Orang Kebumen. Alumnus geodesi UGM. Pun S-2-nya. Di Morowali ia punya karyawan 20 orang –enam di antaranya insinyur geodesi.
Bandara Morowali ini masih terlihat baru. Kecil tapi tertata dan bersih. Termasuk toiletnya. Material bangunannya bukan kelas tiga.
Pesawat yang mendarat di bandara ini hanya dari dua jurusan: Makassar (enam kali sehari) dan Palu (sekali sehari). Semuanya Wings Air.
--
Jarak tempuh Makassar-Morowali 1,5 jam. Pesawatnya melintasi Teluk Bone, lalu, sesaat sebelum mendarat melintasi danau Towuti.
Bandara ini milik Pemkab Morowali. Bukan bandara yang sedang jadi topik berita di medsos. Yang diributkan itu adalah bandara khusus milik perusahaan nikel. Lokasinya di dekat industrial estate –sekitar dua jam perjalanan mobil dari bandara yang saya darati itu.
Dulu Freeport juga punya bandara khusus di Timika. Lama-lama pesawat komersial boleh ikut mendarat di sana. Pun di Bontang/Sangatta, bandaranya khusus milik perusahaan minyak. Kini juga boleh untuk pesawat komersial.
Bandara nikel di Morowali kelihatannya akan tetap berstatus bandara khusus. Kan sudah punya bandara komersial --meskipun landasannya kalah panjang.
"Kita tunggu mobil di sini," ujar Arif yang berhenti di teras bandara. Arif menjabat dirut di perusahaan survei yang dimiliki empat alumnus geodesi UGM itu.
Sesaat kemudian kami pun sudah masuk mobil Arif: Wuling. Saya akan ikut saja ke kantornya di kota Bungku –ibu kota kabupaten Morowali.
Keluar dari bandara mobil melewati jalan kampung. Jalan baru yang khusus menuju bandara belum selesai dikerjakan. Kampung ini mengesankan: rumah-rumahnya baik –untuk ukuran kampung. Umumnya seperti baru dipugar. Dalam hati saya berpikir: ini pasti dampak positif hilirisasi nikel di Morowali.
Baru 10 menit meninggalkan bandara saya dapat WA dari teman lama di Palu: Kamil Badrun. Saya memang berkabar kepadanya bahwa hari itu ke Morowali.
"Jangan meninggalkan bandara. Suami saya akan jemput ke bandara," ujar Mega, teman Kamil Badrun.
Mega dulunya wartawati di Poso. Nama aslinyi: Erni Johan Pau. Dia dapat nama Mega sejak meliput kedatangan Presiden Megawati ke Poso. Saat terjadi keributan Erni terpapar gas air mata. Sampai sakit.
Maka saya minta ke Arif untuk diturunkan di pinggir jalan. Untuk dijemput suami Mega. Ternyata saya diturunkan di sebuah warung ikan bakar. Sekalian saja makan siang: tepat jam 12.00.
Itu sesuai dengan cita-cita: di Morowali harus makan ikan bakar. Juga woku. Ikannya sangat segar. Apalagi warung itu di dekat kampung nelayan.
"Sebaiknya saya harus ke mana?" tanya saya usai makan ikan bakar.
"Tetap ke Bungku, lihat-lihat Bungku," ujar suami Mega.
"Setuju," jawab saya. Kami berpisah dengan Arif meski tujuan sama-sama ke Bungku.
Dari bandara ke Bungku ternyata jauh sekali: 1,5 jam. Melintasi jalan Trans Sulawesi. Menyusuri pantai.
Di warung ikan bakar tadi saya banyak bertanya soal kehidupan orang kampung dekat bandara. Kenapa begitu sejahtera. Karena nikel?
"Bukan Pak," jawab si warung.
"Lalu karena apa?"
"Kelapa sawit," jawabnya.
Orang-orang di kampung itu rata-rata punya kebun sawit antara 5 sampai 10 hektare. Makanya di sepanjang jalan saya melihat banyak kebun sawit.
Ternyata justru sawit lebih dulu mewabah di Morowali –jauh sebelum nikel.
Morowali ternyata tidak harus identik dengan nikel. Mungkin saja sawit di atas nikel di bawah.(Dahlan Iskan)
Tonton Video viral berikut:




