BANDA ACEH, KOMPAS - Sejumlah kalangan menggelar aksi bendera putih di Banda Aceh, Aceh. Mereka menuntut pemerintah lebih serius dan tidak setengah hati menangani dampak bencana ekologis di Sumatera, terutama di Aceh.
Aksi ini diinisiasi sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Aceh Peduli Bencana Sumatera. Ada puluhan hingga ratusan warga yang turut serta, baik perempuan maupun laki-laki dan anak-anak hingga orang lanjut usia.
Mereka menyuarakan keresahannya di seberang Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Kamis (18/12/2025) dari pukul 10.30 hingga 12.00 WIB. Selama aksi, mereka mengibarkan belasan hingga puluhan bendera putih yang dibuat dari kain-kain seadanya.
Salah satu peserta aksi, Nurmi Ali (49) mengatakan, dampak bencana yang berkepanjangan membuat puluhan ribu warga masih terisolasi. Hal itu terjadi di pelosok kawasan pesisir timur dan wilayah tengah atau pegunungan Aceh.
Berhari-hari, kata Nurmi, warga bertahan hidup dengan stok konsumsi yang kian menipis. Obat-obatan ataupun layanan medis juga tidak memadai.
Menurut Nurmi, perempuan atau ibu menyusui, bayi hingga anak-anak, dan lansia menjadi kelompok paling rentan. Mereka tidak bisa berbuat banyak untuk berjalan kaki jauh guna mencari bantuan konsumsi atau obat-obatan.
"Tak pelak, banyak dari kelompok rentan yang kelaparan, sakit, hingga meninggal di pengungsian," ujarnya.
Nurmi menuturkan, saat kelompok rentan merasakan penderitaan akibat ketimpangan perhatian negara, itu akan berisiko menimbulkan konflik. Maka dari itu, Nurmi mengingatkan, pemerintah pusat tidak main-main dengan dampak bencana kali ini.
Munawar Liza (51), mantan Wali Kota Sabang, juga mengatakan hal yang sama. Munawar mengatakan, dahulu, bencana tsunami 2004 berhasil mendekatkan kembali Aceh dan Indonesia. Sebaliknya, bencana ekologis kali ini berpotensi menjauhkan lagi Aceh dan Indonesia.
Bencana kali ini, kata Munawar, imbasnya sangat besar dan kian meluas. Bukan hanya dirasakan warga di lokasi terdampak, melainkan pula warga di lokasi-lokasi yang tidak terkena dampak tersebut.
Dampak luas tersebut, meliputi padam listrik, gangguan sinyal komunikasi, hingga kelangkaan sejumlah kebutuhan pokok, seperti gas elpiji dan beberapa bahan makanan. Itu sangat memukul aktivitas masyarakat, termasuk perekonomian.
Untuk itu, Nurmi dan Munawar mendesak pemerintah pusat segera menetapkan bencana Sumatera menjadi bencana nasional. Tujuannya, agar semua komponen nasional memberikan perhatian dan dukungan penuh terhadap percepatan penanganan maupun pemulihan dampak bencana.
"Warga terdampak di lokasi yang masih terisolasi mulai kelaparan dan sakit. Jangan biarkan mereka meninggal. Warga yang tidak terdampak langsung juga ikut menderita karena listrik, jaringan komunikasi, dan pasokan kebutuhan pokok terganggu," kata Munawar.
Rahmad Maulidin, koordinator aksi, mengatakan, masyarakat sudah lelah dengan buruknya penanganan bencana di Aceh. Selain belum menetapkan status bencana nasional, pemerintah masih menolak bantuan asing.
Padahal, kata dia, dampak bencana sangat mengkhawatirkan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga 18 Desember 2025 mencatat, banjir bandang dan longsor Sumatera menyebabkan 1.059 tewas, 192 orang masih hilang, 7.000 orang luka-luka, serta 514.200 orang harus mengungsi.
Bencana itu pun mengakibatkan kerusakan terhadap 147.256 rumah, 1.600 fasilitas umum, 967 fasilitas pendidikan, 434 rumah ibadah, 290 gedung perkantoran, 219 fasilitas kesehatan, dan 145 jembatan. Semua dampak itu tersebar di 52 kabupaten/kota di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
"Kita juga terus dipertontonkan sikap pejabat negara yang tidak berempati. Mereka berulang kali memberikan keterangan yang menyakitkan hati masyarakat," tutur Rahmad.
Sebaliknya, penanganan bencana cenderung masih jalan di tempat selama kurang lebih tiga pekan pascabencana terjadi. Banyak akses jalan darat yang masih putus. Akibatnya, tak sedikit wilayah terdampak yang masih terisolasi.
Itu membuat warga di lokasi bersangkutan mengalami krisis pangan dan sakit-sakitan. Rahmad menuturkan, jumlah armada udara yang dijadikan tulang punggung pendistribusian bantuan pun sangat terbatas.
Dampak bencana turut meluas ke wilayah-wilayah yang tidak terdampak. Aktivitas masyakarat terhambat karena sistem kelistrikan tak kunjung pulih sepenuhnya.
Masyarakat harus antre berjam-jam lamanya demi mendapatkan satu tabung gas elpiji. Harga bahan makanan melonjak tajam karena pasokan dari dalam maupun luar Aceh terganggu. "Semua itu sangat memukul perekonomian Aceh," kata Rahmad.





