Pendidikan sering diposisikan sebagai sarana mobilitas sosial yang menjanjikan kesetaraan kesempatan. Namun, dalam praktiknya, sistem pendidikan justru mereproduksi ketimpangan, terutama terlihat pada perbedaan antara sekolah negeri dan sekolah swasta di Indonesia. Perbedaan sumber daya, pendekatan pedagogis, serta pengalaman belajar menciptakan peluang yang tidak setara bagi siswa dari latar kelas sosial yang berbeda.
Dengan menggunakan perspektif Jean Anyon, artikel ini menganalisis bagaimana hidden curriculum, kurikulum, dan jaringan sosial di sekolah berperan dalam membentuk serta mempertahankan privilege kelas atas. Analisis ini menunjukkan bahwa sekolah tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga mengarahkan siswa pada posisi sosial tertentu dalam struktur masyarakat.
Hidden Curriculum dan Reproduksi KetimpanganKonsep hidden curriculum dari Jean Anyon merujuk pada nilai, norma, dan pola perilaku yang dipelajari siswa secara tidak langsung melalui praktik sekolah. Dalam konteks Indonesia, perbedaan hidden curriculum antara sekolah negeri dan sekolah swasta tampak jelas dan memiliki dampak besar pada pembentukan habitus siswa.
Di banyak sekolah negeri, hidden curriculum muncul dalam banyak praktik, seperti pembelajaran yang terpusat pada guru, penekanan pada disiplin formal, dan rutinitas administrasi yang ketat.
Nilai yang terbentuk adalah kepatuhan, ketertiban, dan penerimaan terhadap struktur hierarkis. Dalam perspektif Anyon, pola ini mencerminkan karakteristik kelas pekerja di mana kemampuan menjalankan perintah dan bekerja dalam sistem birokratis lebih diprioritaskan daripada kreativitas.
Sebaliknya, sekolah swasta—terutama yang berbiaya tinggi dan berorientasi internasional—menampilkan hidden curriculum yang sangat berbeda. Mereka mendorong diskusi terbuka, pembelajaran berbasis proyek, kemampuan argumentasi, hingga pembentukan kepercayaan diri dan self-agency.
Interaksi guru dan siswa lebih egaliter, mendorong siswa merasa bahwa suara mereka penting. Nilai-nilai seperti inovasi, otonomi, dan kepemimpinan menjadi bagian tak tertulis dari kehidupan sekolah. Menurut kerangka Anyon, ini adalah bentuk hidden curriculum khas kelas menengah atas, yang mempersiapkan siswa untuk posisi sosial yang memiliki kendali dan pengaruh.
Perbedaan hidden curriculum ini tidak hanya menciptakan pengalaman belajar yang berbeda, tetapi berfungsi sebagai mekanisme reproduksi sosial. Siswa dari kelas elite terus dibentuk untuk mempertahankan posisinya, sementara siswa dari kalangan menengah bawah dibentuk untuk menerima struktur sosial yang sudah ada.
Dengan demikian, ketimpangan sekolah bukan hanya masalah fasilitas atau kurikulum formal, melainkan juga bagian dari struktur yang menjaga keberlangsungan privilege.
Kurikulum dan Orientasi Masa DepanKurikulum formal sering dipandang sebagai dokumen resmi yang sama di semua sekolah, tetapi praktiknya sangat berbeda antara sekolah negeri dan sekolah swasta. Sekolah negeri biasanya berfokus pada pemenuhan standar minimal yang ditentukan pemerintah. Guru sering dibatasi oleh target kurikulum, asesmen sumatif, dan tuntutan administrasi. Pembelajaran lebih menekankan penguasaan materi untuk ujian, bukan pengembangan kompetensi jangka panjang.
Hal ini membuat orientasi pendidikan lebih bersifat pragmatis, yaitu menuntaskan kurikulum, lulus ujian, dan mencapai nilai yang cukup. Dalam kerangka Anyon, pola kurikulum ini menghasilkan orientasi masa depan yang sempit dan lebih cocok untuk pekerjaan rutin atau birokratis.
Di sekolah swasta, kurikulum tidak hanya mengikuti standar nasional tetapi diperkuat dengan kurikulum internasional, seperti IB, Cambridge, atau kurikulum internal yang lebih fleksibel. Pembelajaran menekankan literasi global, kemampuan analitis, riset, kolaborasi, dan kompetensi abad 21.
Siswa didorong untuk membuat proyek, riset mandiri, hingga berpartisipasi dalam kompetisi internasional. Mata pelajaran seperti entrepreneurship, design, teknologi, atau kepemimpinan sering ditambahkan sebagai nilai jual. Orientasi masa depan yang dibangun sangat luas, mulai dari studi luar negeri, karier profesional internasional, hingga posisi sosial yang strategis.
Kurikulum di sekolah swasta juga lebih terintegrasi dengan pembangunan modal budaya, seperti kemampuan berbahasa asing, kebiasaan membaca literatur global, kemampuan presentasi, serta pengalaman berinteraksi dengan komunitas elite. Akses terhadap fasilitas tambahan—seperti laboratorium modern, klub debat, atau kegiatan seni profesional—semakin memperkuat keunggulan siswa elite.
Pada akhirnya, perbedaan orientasi kurikulum ini menciptakan jurang antara siswa yang dipersiapkan untuk menjadi warga dunia dengan kompetensi global dan siswa yang disiapkan hanya untuk memenuhi standar minimal akademik. Kurikulum—dalam pengertian Anyon—menjadi alat yang mengarahkan anak-anak pada masa depan sosial yang sudah ditetapkan sesuai latar kelas mereka.
Reproduksi Kelas Sosial dan Akses PrivilegeSiswa yang bersekolah di sekolah swasta biasanya berasal dari keluarga dengan modal ekonomi yang tinggi. Modal ini memungkinkan mereka mengakses fasilitas terbaik, kurikulum internasional, kegiatan ekstrakulikuler unggulan, hingga jaringan sosial (networking) yang sangat berguna di masa depan.
Sekolah swasta juga merupakan ruang sosial tertutup, memelihara hubungan antarkeluarga berada. Jaringan ini sering menjadi modal simbolik yang membuka kesempatan kerja, magang, atau akses ke lembaga pendidikan luar negeri. Dengan kata lain, sekolah swasta berfungsi sebagai “mesin reproduksi” elite; bukan hanya melalui kurikulum, melainkan juga melalui jejaring dan budaya institusional.
Sementara itu, siswa sekolah negeri yang lebih banyak berasal dari keluarga kelas menengah bawah mengalami keterbatasan sejak awal. Fasilitas minim, pembelajaran yang repetitif, dan kurikulum berbasis standar minimum menyebabkan mereka hanya mengembangkan sebagian kecil dari potensi sosial dan kognitif mereka.
Siswa negeri jarang terekspos pada kesempatan global atau jaringan elite, sehingga jarak sosial degan kelompok atas semakin melebar. Bahkan, ketika siswa negeri memiliki kemampuan akademik tinggi, mereka tetap menghadapi hambatan struktural, seperti keterbatasan biaya, kurangnya bimbingan studi atau minimnya modal budaya.
Dalam kerangka reproduksi sosial, ketimpangan ini bukan sekadar masalah kualitas pendidikan, melainkan juga bagian dari mekanisme sosial yang memastikan kelas atas tetap berada di posisi atas, sementara kelas bawah berada di lingkaran keterbatasan. Sekolah—dengan segala praktik dan strukturnya—menjadi perpanjangan tangan dari ketidaksetaraan yang diwariskan lintas generasi.




:strip_icc()/kly-media-production/medias/4023003/original/099779700_1652589008-20220515-kawasan-Puncak-dipadati-pengunjung-ARBAS-3.jpg)