OPERASI Tangkap Tangan (OTT) yang menjaring oknum jaksa dan pengacara di Banten memicu kritik tajam terhadap moralitas aparat penegak hukum. Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai fenomena ini mengonfirmasi rapuhnya integritas garda terdepan pemberantasan korupsi di Tanah Air.
“Bagaimana mungkin kita bicara soal upaya melawan korupsi kalau kemudian aparat penegak hukum justru terlibat tindak pidana korupsi,” ujar Herdiansyah saat dihubungi, Kamis (18/12).
Ia menegaskan bahwa praktik lancung ini telah mengakar di sektor peradilan, mulai dari tingkat panitera, hakim, hingga pejabat di Mahkamah Agung. Menurutnya, pembenahan di internal aparat hukum merupakan syarat mutlak sebelum bicara mengenai agenda besar pemberantasan korupsi secara nasional.
“Ini bukan kasus tunggal. Kita melihat panitera dan hakim juga terseret. Kalau kita belum beres dengan aparat penegak hukumnya, jangan pernah berharap bisa melawan korupsi,” tegasnya.
Matinya Fungsi Pengawasan
Herdiansyah menyoroti tumpulnya fungsi pengawasan, baik internal maupun eksternal. Menurutnya, keberadaan Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas) dan Komisi Kejaksaan (Komja) terbukti belum efektif meredam syahwat korupsi di korps Adhyaksa.
“Pengawasan internal melalui Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan dan pengawasan eksternal melalui Komisi Kejaksaan itu artinya memang tidak berfungsi dengan baik. Ada problem di situ,” ungkapnya.
Ia mendesak agar sistem pengawasan dibuka lebih transparan dengan melibatkan partisipasi publik secara luas. Selain itu, pembenahan rekrutmen berbasis rekam jejak menjadi kunci untuk melahirkan jaksa yang berintegritas sejak dini.
“Rekrutmen itu harus berbasis rekam jejak yang memadai. Kalau kita ingin jaksa punya integritas, maka sejak awal rekrutmen harus dipastikan rekam jejaknya bagus,” jelasnya.
Soroti Keteladanan Pemimpin
Herdiansyah mengkritik peran Presiden sebagai panglima tertinggi pemberantasan korupsi yang dinilai tidak menunjukkan ketegasan. Ia menyayangkan kebijakan-kebijakan yang dianggap justru meringankan beban para pelaku korupsi.
“Masalahnya sekarang panglima perang korupsi yang harusnya dipimpin Presiden malah permisif dengan persoalan korupsi. Presiden justru memberikan abolisi, amnesti, sampai rehabilitasi kepada orang bermasalah,” cetusnya.
Sikap tersebut dinilai memberikan contoh buruk bagi jajaran di bawahnya. Tanpa adanya keteladanan dari puncak kepemimpinan nasional, Herdiansyah khawatir rentetan kasus hukum yang menjerat jaksa, polisi, dan pengacara hanyalah masalah waktu.
“Ini berkelindan antara pengawasan, rekrutmen, dan hilangnya panglima perang korupsi. Presiden menurut saya gagal memimpin perlawanan terhadap korupsi, bahkan permisif terhadap tindak pidana korupsi,” pungkasnya. (Dev/P-2)




