BOGOR, KOMPAS.com – Jalan setapak di Kampung Nusa, Pulo Empang, Kota Bogor berliku di antara rumah-rumah yang berdiri rapat.
Menjelang siang, suara anak-anak bercampur dengan aktivitas warga yang keluar masuk lorong sempit itu.
Sepeda motor melintas bergantian, menyesuaikan lebar jalan yang hanya cukup dilalui satu kendaraan.
Lorong tersebut memanjang dan sempit, nyaris hanya cukup dilewati satu orang dewasa.
Dinding rumah berdiri rapat di kiri dan kanan, catnya mengelupas dan kusam, menyimpan jejak usia serta kelembapan yang tak pernah benar-benar pergi.
Cahaya matahari masuk terbatas, menetes dari celah atap seng dan genteng yang saling tindih, membuat lorong tetap remang bahkan di siang hari.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=indepth, Kampung Nusa Pulo Empang Bogor, Pulo Empang Bogor, bantaran sungai Cisadane, kehidupan warga bantaran sungai Cisadane&post-url=aHR0cHM6Ly9tZWdhcG9saXRhbi5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8xOC8xODEyNTM4MS9iZXJ0YWhhbi1oaWR1cC1kaS1sb3Jvbmctc2VtcGl0LWthbXB1bmctbnVzYS1wdWxvLWVtcGFuZy1ib2dvcg==&q=Bertahan Hidup di Lorong Sempit Kampung Nusa Pulo Empang Bogor§ion=Megapolitan' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Di sepanjang jalur, karung-karung besar berwarna putih berjajar tak beraturan. Isinya beragam, barang bekas, sampah, hingga hasil pungutan sehari-hari.
Pakaian warga tergantung di tali jemuran yang dipasang seadanya di atas kepala. Handuk, kaus, dan kain rumah tangga bergoyang pelan, menambah kesan padat di ruang yang sudah sesak.
Pintu-pintu rumah berdempetan. Sebagian terbuka, sebagian tertutup rapat. Dari balik dinding tipis itu, kehidupan berjalan apa adanya, orang keluar masuk, menyimpan barang, menjemur pakaian, dan menata ruang seadanya di tengah keterbatasan.
Tak jauh dari lorong permukiman, aliran Sungai Cisadane mengalir deras. Beberapa warga tampak mencuci pakaian atau mandi di tepi sungai, melanjutkan kebiasaan lama yang masih bertahan.
Air dari hulu membawa kesejukan, tetapi juga tantangan, terutama saat hujan lebat datang dan debit sungai naik mendekati rumah-rumah warga.
Baca juga: Hidup dari Gunungan Sampah Bantargebang, Andi Raup Rp 30 Juta per Bulan dari Limbah Plastik
Jejak Permukiman di Tanah PengairanKetua RT setempat, menjelaskan bahwa kawasan tersebut dulunya merupakan tanah pengairan yang sempat digunakan untuk kegiatan industri pengolahan kulit.
“Setahu saya ini dulu pabrik sejenis pengelolaan kulit sebelum ada permukiman kayak gini. Terus mungkin seiring berjalannya waktu juga, mungkin satu bersatu jadi permukiman,” kata Kusnadi saat ditemui di kediamannya, Rabu (17/12/2025).
Status tanah pengairan itulah yang kemudian menjadi batas besar bagi pembangunan. Kusnadi menyebut pemerintah menghadapi kendala hukum untuk melakukan perbaikan infrastruktur di wilayah tersebut.
“Kalau di sini untuk pemerintah tuh kendalanya masalah tanahnya, jadi nggak bisa di sini sama pemerintah setempat untuk perbaikan infrastruktur jalan, alasannya ya gitu,” ujarnya.
Seiring waktu, jumlah warga di Kampung Nusa mengalami fluktuasi. Pada masa tertentu, kawasan ini pernah dihuni sekitar 100 kepala keluarga. Kini, jumlahnya berkurang menjadi sekitar 70 KK.
“Sejak saya tinggal di sini itu memang grafiknya menurun, karena dulu kan di sini sebelum dulu waktu ada Ramayana,” jelas Kusnadi.
Penutupan pasar yang dulu menjadi pusat aktivitas ekonomi warga disebut sebagai salah satu penyebab berkurangnya jumlah penduduk.
Banyak warga yang akhirnya memilih pulang ke kampung halaman masing-masing.





