KEMENTERIAN Keuangan (Kemenkeu) terus membenahi sistem perpajakan Coretax guna menggenjot penerimaan negara. Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, perbaikan sistem menjadi prioritas agar proses pemungutan pajak semakin efisien ke depan.
Hingga 30 November 2025, penerimaan pajak baru sebesar Rp1.634 triliun atau 78,7% dari target Rp2.076,9 triliun. Capaian tersebut lebih rendah dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu, yakni Rp1.688,6 triliun.
“Kita perbaiki sistem digital wajib pajak kita. Saya harap tahun depan kita akan lebih efisien dalam mengumpulkan pajak dengan target yang bisa lebih tinggi lagi,” ujar Purbaya dalam konferensi pers APBN Kinerja dan Fakta (KiTa) yang digelar secara daring, Kamis (18/12).
Sebagai bagian dari pembenahan, Kemenkeu telah melakukan simulasi pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi melalui sistem Coretax terhadap lebih dari 60 ribu wajib pajak (WP). Pihaknya mengklaim uji coba tersebut berjalan dengan baik.
Purbaya menjelaskan, perbaikan Coretax menjadi krusial karena sistem ini sempat mengalami kendala pada Januari hingga Februari 2025. Gangguan tersebut menyebabkan kesulitan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) oleh wajib pajak dan berdampak pada penerimaan pajak nasional.
"Sistem pajak untuk Coretax sudah bisa kita perbaiki, tetapi mungkin ke depan akan kita perbaiki (terus) kalau ada ketidaksempurnaan," tegasnya.
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara mengungkapkan, hingga 30 November 2025, pendapatan negara telah mencapai Rp2.351,5 triliun atau 82,1% dari target APBN 2025 sebesar Rp2.865,5 triliun. Capaian tersebut ditopang oleh penerimaan pajak sebesar Rp1.634 triliun, kepabeanan dan cukai Rp269 triliun, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp444,9 triliun.
Pemerintah, katanya, mencermati perbedaan antara realisasi penerimaan pajak secara bruto dan neto. Selisih antara keduanya berasal dari restitusi pajak. Menurutnya, penerimaan yang benar-benar masuk ke kas negara adalah penerimaan neto setelah dikurangi restitusi tersebut.
Kinerja pengumpulan pajak hingga November disebut mengalami perbaikan. Pada Oktober 2025, Suhasil menyebut sejumlah jenis pajak mengalami pertumbuhan negatif secara bruto, terutama Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi, PPh Pasal 21, serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
"Namun, hingga akhir November 2025, PPN dan PPnBM sudah tumbuh positif, meski masih kecil pertumbuhannya," kata Suhasil.
Berdasarkan data Kemenkeu, realisasi bruto penerimaan pajak hingga November 2025 tercatat mencapai Rp1.985,48 triliun. Angka ini lebih tinggi dibandingkan realisasi hingga Oktober 2025 yang sebesar Rp1.799,55 triliun, serta melampaui realisasi pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp1.947,65 triliun.
Kinerja positif tersebut terutama ditopang oleh penerimaan PPh Badan yang terus tumbuh. Hingga November 2025, PPh Badan tercatat sebesar Rp359,78 triliun atau meningkat 4,7%. Sementara pada Oktober 2025, realisasinya mencapai Rp331,39 triliun dengan pertumbuhan 5,3%.
Di sisi lain, penerimaan dari PPh Orang Pribadi dan PPh Pasal 21 masih mengalami kontraksi. Hingga November 2025, penerimaan dari pos ini tercatat sebesar Rp218,94 triliun atau turun 7,6%. Meski demikian, kontraksi ini lebih dangkal dibandingkan Oktober 2025, ketika realisasinya turun 12,6% dengan nilai Rp192,19 triliun.
Suahasil berharap pada Desember 2025 pertumbuhan PPN dan PPnBM akan semakin kuat.
"PPN dan PPnBM itu adalah denyut nadi preekonomian. Kenapa? Karena pajak pertambahan nilai PPN itu dibayarkan kalau ada transaksi. Kalau tidak ada transaksi tidak ada PPN-nya," ucapnya.
Namun demikian, ia mengingatkan bahwa PPN dan PPnBM juga dipengaruhi oleh restitusi, sehingga secara neto pertumbuhannya masih tercatat negatif. Hingga akhir November 2025, PPN dan PPnBM secara neto masih mengalami kontraksi atau minus 6,6% dibandingkan November 2024 menjadi Rp660,77 triliun. Namun, angka ini membaik dari Oktober 2025 yang sebesar Rp556,61 triliun atau minus 10,3%
Uji CobaDirektur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto mengungkapkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah dua kali melakukan uji coba sistem Coretax. Pertama dilakukan pada November 2025 dengan melibatkan sekitar 25.000 pegawai di lingkungan DJP. Hasilnya diklaim berjalan baik, meski sempat terjadi sedikit keterlambatan pada tahap awal.
Untuk uji coba kedua dilaksanakan pada 10 Desember 2025 dengan cakupan yang lebih luas, yakni melibatkan sekitar 50.000 pegawai di seluruh Kementerian Keuangan.
"Dari hasil uji coba menunjukkan banyak perbaikan, tidak seperti yang periode sebelumnya," ucapnya.
Ia berharap, hingga periode pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Orang Pribadi pada 31 Maret 2026, sistem Coretax dapat berjalan optimal. DJP memperkirakan sekitar 13 juta wajib pajak orang pribadi akan menyampaikan SPT dan prosesnya dapat berlangsung lancar.
Sementara itu, penyampaian SPT wajib pajak badan atau korporasi, seperti yang dilakukan pada tahun pajak 2025, akan berlangsung pada akhir periode pelaporan, yakni dari Januari hingga 30 April 2026.
Bimo juga memaparkan perkembangan aktivasi akun Coretax. Hingga saat ini, jumlah akun yang telah diaktivasi mencapai sekitar 7,7 juta wajib pajak. Dari total sekitar 14,9 juta wajib pajak yang wajib melaporkan SPT Tahun Pajak 2024, angka tersebut setara dengan 51,66% Adapun dari jumlah wajib pajak yang telah mengaktivasi akun, sekitar 4,8 juta di antaranya atau 32,38% telah membuat kode otorisasi dan sertifikat elektronik sebagai syarat pelaporan SPT secara digital. (E-4)





