JAKARTA, KOMPAS - Sejumlah aset pemerintah Indonesia di Perancis berhasil dipertahankan setelah Pengadilan Tribunal de Paris menolak permohonan penyitaan yang diajukan oleh Navayo International AG. Meski demikian, pemerintah Indonesia masih memantau apakah perusahaan yang pernah menjadi rekanan Kementerian Pertahanan dalam pengadaan Satelit Slot Orbit 123 Bujur Timur itu akan mengajukan banding atas putusan tersebut.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Anang Supriatna, ketika dihubungi, Kamis (18/12/2025), membenarkan bahwa Pengadilan Tribunal de Paris menolak permohonan penyitaan yang diajukan oleh Navayo International AG. Dalam putusan tertanggal 11 Desember 2025, hakim eksekusi menyatakan bahwa seluruh properti yang dimohonkan untuk disita merupakan aset diplomatik yang digunakan untuk menjalankan fungsi perwakilan RI.
"Karena itu, aset tersebut dilindungi oleh prinsip imunitas diplomatik berdasarkan hukum internasional dan hukum Perancis," ungkapnya.
Anang menjelaskan, Pengadilan Tribunal de Paris juga menegaskan bahwa penyitaan yang sebelumnya dilakukan tidak memiliki dasar hukum yang sah, sehingga dinyatakan batal. Sebelumnya, juru sita yang ditunjuk Navayo telah mendatangi beberapa aset pemerintah RI di Paris.
Selain itu, lanjut dia, Pengadilan Tribunal de Paris membebankan biaya perkara dan prosedur sita kepada pihak Navayo. Dengan putusan ini, Indonesia tetap memiliki kewenangan penuh atas aset-aset tersebut dan tidak terdapat pembatasan hukum atas pengelolaannya.
Pemerintah Indonesia, kata Anang, menyambut putusan ini sebagai bentuk penghormatan terhadap hukum internasional dan Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik. Putusan tersebut merupakan preseden penting dalam perlindungan aset negara di luar negeri.
Meski demikian, masih terbuka kemungkinan Navayo mengajukan banding atas putusan tersebut. "Pemerintah juga akan terus memantau langkah hukum lanjutan yang mungkin ditempuh pihak Navayo serta menyiapkan langkah antisipatif untuk menjaga kepentingan negara secara menyeluruh," ujarnya.
Kronologi
Gugatan penyitaan aset Pemerintah Indonesia di Paris itu bermula dari terungkapnya kasus korupsi proyek pengadaan Satelit Slot Orbit 123 Bujur Timur di Kementerian Pertahanan 2012-2021. Dalam proyek pengadaan itu, Leonardi yang pada 2016 merupakan Kepala Badan Sarana Pertahanan Kemenhan menandatangani kontrak dengan Gabor Kuti, CEO Navayo International AG. Kontrak berupa penyediaan terminal pengguna jasa dan peralatan yang terkait (Agreement for The Provision of User Terminal and Related Service and Equipment). Nilai kontrak yang ditandatangani adalah 34,1 juta dollar AS yang kemudian berubah menjadi 29,9 juta dollar AS.
Navayo disebut menindaklanjutinya dengan mengirim barang kepada Kemenhan. Atas persetujuan Mayjen Bambang Hartawan, Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan, dan Leonardi, diterbitkan empat surat Sertifikat Kinerja (Certificate of Performance) terhadap pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh Navayo. Sertifikat tersebut telah disiapkan oleh Anthony Thomas Van Der Hayden, tenaga ahli Kemenhan yang berperan sebagai perantara. Namun, empat surat itu diterbitkan tanpa lebih dulu mengecek barang yang dikirim.
Navayo lantas menagih dengan mengirimkan empat buah invoice atau permintaan pembayaran kepada Kemenhan. Namun, hingga 2019, tidak tersedia anggaran pengadaan satelit di Kemenhan.
Pihak Kejagung yang di kemudian hari menyidik perkara itu menyatakan bahwa permintaan pembayaran dari Navayo adalah fiktif. Kejagung juga telah meminta ahli satelit untuk memeriksa perlengkapan yang dikirimkan ke Indonesia. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium terhadap 550 telepon genggam yang dikirimkan, semua bukan merupakan telepon genggam satelit dan tidak ditemukan inti secure chip.
Kejagung juga menyatakan pekerjaan yang telah dilakukan Navayo tidak pernah diuji dengan Satelit Artemis yang dioperasikan di Slot Orbit 123 derajat BT. Barang-barang yang dikirim Navayo ke Kemenhan pun tidak pernah dibuka untuk diperiksa. Hasilnya, disimpulkan bahwa hasil pekerjaan Navayo tidak dapat digunakan untuk membangun sebuah program user terminal.
Invoice yang dikirimkan pihak Navayo ke Kemenhan tersebut kemudian dijadikan dasar Navayo untuk menggugat Indonesia ke pengadilan arbitrase. Berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase (International Commercial Court on High Court) Singapura, Kemenhan diharuskan membayar 20,8 juta dollar AS karena telah menandatangani Sertifikat Kinerja.
Sebaliknya, menurut perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh Navayo International AG telah menimbulkan kerugian negara sebanyak 21,3 juta dollar AS atau sekitar Rp 300 miliar. BPKP juga mengeluarkan audit bahwa Navayo telah melakukan wanprestasi karena tidak memenuhi kewajibannya.
Menurut perhitungan BPKP, nilai pekerjaan yang sudah dilakukan oleh Navayo hanya Rp 1,9 miliar. Nilai ini disebut memiliki selisih sangat jauh dari nilai kontrak yang ditandatangani dengan Kemenhan. (Kompas.id, 20/3/2025)
Tidak ada titik temu, Navayo pun mengajukan permohonan kepada pengadilan Perancis untuk mengeksekusi putusan dari arbitrase Singapura. Permohonan itu dimaksudkan untuk menyita beberapa aset Pemerintah RI yang ada di Perancis.
Beberapa aset yang terancam disita adalah Wisma Wakil Kepala Perwakilan Republik Indonesia, rumah dinas Atase Pertahanan, dan rumah dinas (apartemen) Koordinator Fungsi Politik Kedutaan Besar RI di Paris. Penyitaan itu berdasarkan putusan Pengadilan Paris yang mengesahkan Putusan Tribunal Arbritase Singapura tanggal 22 April 2021 yang dimohonkan oleh Navayo atas putusan Arbitrase International Commercial Court (ICC) Singapura.
Pada tanggal 29 Juli 2024, juru sita yang ditunjuk oleh Navayo mendatangi dan memasuki tanpa izin rumah dinas yang didiami oleh Koordinator Fungsi Ekonomi KBRI Paris. Penyitaan berlanjut pada 20 Agustus 2024, ketika juru sita akan mengambil paksa aset KBRI Paris hingga mengakibatkan kerusakan pada kunci pintu-pintu apartemen.
Ditanya perihal putusan pengadilan di Perancis yang memenangkan pemerintah Indonesia tersebut, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyatakan, pemerintah tengah menunggu proses hukum yang melibatkan perusahaan Navayo. Perusahaan berbasis di Hongaria itu juga disebut-sebut terlibat dalam kasus korupsi proyek pengadaan satelit Kemenhan yang disidik oleh Kejagung.
“Kalau untuk Navayo, biarkan saja prosesnya berjalan, karena kami menunggu semuanya. Pemerintah lagi melakukan upaya terkait dengan kasus tersebut, ya,” ujarnya di Jakarta.





