Dulu Dijajah, Alam Tetap Terjaga; Kini Merdeka, Hutan Kian Terluka

kumparan.com
16 jam lalu
Cover Berita

Di tengah peringatan 80 tahun Indonesia merdeka, bangsa ini seharusnya tidak hanya berhenti pada perayaan kebebasan dari penjajahan selama 350 tahun. Lebih dari itu, kemerdekaan semestinya menjadi momentum untuk mengukur sejauh mana bangsa ini mampu menjaga warisan alamnya sendiri.

Ironisnya, fakta yang terhampar di Pulau Sumatera dan Aceh justru memperlihatkan kenyataan yang kontras: hutan, yang semestinya menjadi simbol kehidupan dan keberlanjutan, kian terlukai di era kemerdekaan.

Pada masa ketika Indonesia belum merdeka, hutan di wilayah seperti Aceh dan Sumatera masih membentang luas dan relatif terjaga. Meski berada di bawah penjajahan Belanda dan mengalami eksploitasi sumber daya, tekanan terhadap hutan belum seintensif hari ini. Industrialisasi skala besar belum menyentuh kawasan-kawasan pedalaman, sehingga tutupan hutan primer masih berfungsi sebagai benteng ekologis yang menjaga keseimbangan alam. Kini, setelah puluhan tahun merdeka, wajah hutan tersebut berubah drastis.

Data riset menunjukkan bahwa Pulau Sumatera saat ini hanya menyisakan sekitar 12 juta hektare hutan alami, atau sekitar 25 persen dari total luas wilayahnya. Dalam tujuh tahun terakhir saja, lebih dari 2,1 juta hektare hutan hilang—setara hampir 3,6 kali luas Pulau Bali. Angka ini mencerminkan laju deforestasi yang tidak bisa lagi dianggap sebagai kejadian sporadis, melainkan krisis ekologis yang berlangsung sistematis.

Aceh, yang selama ini dikenal sebagai salah satu provinsi dengan tutupan hutan terbaik di Sumatera, tidak luput dari tekanan tersebut. Sepanjang 2023, wilayah ini kehilangan sekitar 8.906 hektare tutupan hutan, setara dengan satu setengah kali luas Danau Lut Tawar di Takengon. Meski angka ini lebih rendah dibandingkan beberapa tahun sebelumnya, kehilangan tersebut tetap signifikan karena menyentuh kawasan-kawasan bernilai ekologis tinggi.

Dalam kurun waktu hampir satu dekade terakhir, tren deforestasi di Aceh memang menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan periode puncaknya pada 2015, ketika kehilangan hutan mencapai lebih dari 21 ribu hektare. Namun, penurunan laju tidak serta-merta menghapus ancaman. Kawasan penting seperti Ekosistem Leuser—yang menjadi rumah bagi gajah, orang utan, harimau, dan badak Sumatera—masih terus menghadapi tekanan dari berbagai aktivitas manusia.

Lebih luas lagi, gabungan wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dilaporkan kehilangan sekitar 1,4 juta hektare hutan dalam periode 2016 hingga 2025. Berbagai kegiatan komersial seperti ekspansi perkebunan, pertambangan, hingga pembangunan infrastruktur disebut sebagai pendorong utama hilangnya tutupan hutan. Tekanan ini diperkuat oleh data deforestasi Sumatera pada 2024 yang mencapai lebih dari 78 ribu hektare, dengan Provinsi Riau menjadi penyumbang terbesar.

Perubahan lanskap hutan ini tidak berhenti pada angka-angka statistik. Hutan memiliki fungsi vital sebagai pengatur siklus air, penahan erosi, penyimpan karbon, sekaligus habitat ribuan spesies flora dan fauna. Ketika hutan terus menyusut, kemampuan alam menjalankan fungsi-fungsi tersebut melemah secara drastis.

Dalam beberapa pekan terakhir, Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menjadi saksi bencana alam berskala besar. Banjir dan tanah longsor melanda berbagai daerah, menghancurkan rumah warga, memutus akses transportasi, dan merenggut ratusan nyawa. Hujan ekstrem yang dipengaruhi perubahan iklim memang menjadi pemicu langsung, namun kerusakan hutan memperparah dampaknya. Tanah yang kehilangan penyangga alami tidak lagi mampu menahan air, sehingga aliran hujan langsung berubah menjadi banjir dan longsor mematikan.

Bencana serupa juga terjadi di berbagai wilayah Asia Tenggara, dengan Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang paling terdampak. Kelompok lingkungan menilai bahwa besarnya skala bencana tidak bisa dilepaskan dari deforestasi yang berlangsung selama puluhan tahun. Hutan yang semestinya menyerap dan memperlambat aliran air hujan kini semakin terkikis, membuat masyarakat berada pada posisi paling rentan ketika cuaca ekstrem terjadi.

Dampak krisis hutan ini tidak hanya dirasakan manusia. Satwa liar pun berada dalam kondisi terancam. Orang utan Tapanuli, yang populasinya diperkirakan kurang dari 800 individu di dunia, menghadapi tekanan habitat yang kian intens akibat perambahan hutan dan proyek industri. Hilangnya tutupan hutan memaksa satwa keluar dari habitat alaminya, meningkatkan risiko konflik dengan manusia.

Di Aceh, konflik antara manusia dan gajah Sumatera terus meningkat seiring menyempitnya ruang jelajah satwa. Perjumpaan yang tidak terhindarkan ini sering kali berujung pada kerugian kedua belah pihak—ladang warga rusak, satwa terluka, bahkan kehilangan nyawa.

Pemerintah Indonesia dalam beberapa waktu terakhir berupaya menunjukkan ketegasan dengan menjatuhkan denda puluhan triliun rupiah kepada perusahaan-perusahaan ilegal yang beroperasi di kawasan hutan. Penyitaan lahan berskala besar juga dilakukan sebagai bagian dari penegakan hukum. Langkah ini menjadi sinyal penting bahwa negara mulai mengambil kembali kendali atas pengelolaan hutan.

Namun, tantangan masih jauh dari selesai. Banyak izin usaha di kawasan hutan dinilai belum sepenuhnya mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis. Di sisi lain, penegakan hukum yang tidak konsisten membuat kerusakan kerap terulang. Tanpa pengawasan ketat dan keberpihakan nyata pada kelestarian lingkungan, kebijakan sering kali berhenti pada dokumen formal.

Krisis hutan ini pada akhirnya memanggil peran lebih luas dari seluruh elemen masyarakat. Pendidikan lingkungan, riset ilmiah yang berkelanjutan, serta keterlibatan publik dalam pemantauan hutan menjadi fondasi penting untuk memastikan pembangunan berjalan seimbang dengan daya dukung alam.

Delapan puluh tahun kemerdekaan seharusnya dimaknai lebih dari sekadar kebebasan politik. Ia adalah kesempatan untuk merefleksikan tanggung jawab bangsa terhadap alam yang diwariskan kepada generasi mendatang. Hutan bukan sekadar bentang hijau di peta, melainkan sumber kehidupan, penyangga ekonomi masyarakat lokal, dan benteng alami dari bencana.

Bangsa yang benar-benar merdeka adalah bangsa yang mampu menjaga alamnya sendiri. Jika di era kemerdekaan hutan justru kian terlukai, maka perjuangan belum benar-benar selesai. Tugas besar masih menanti: memastikan bahwa kemerdekaan tidak hanya dirayakan oleh manusia, tetapi juga dirasakan oleh alam Indonesia.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Tel-U Buka Jalan Mahasiswa ke Industri, Kunjungi Media Group
• 15 jam lalumedcom.id
thumb
3 OTT KPK Dalam Sehari: Banten, Bekasi dan Hulu Sungai Utara
• 12 jam lalukumparan.com
thumb
TNI Beri Trauma Healing bagi Pengungsi Banjir di Posko MTsN 1 Langkat
• 23 jam lalutvrinews.com
thumb
Prakiraan Cuaca Jumat, 19 Desember 2025: Hujan Ringan di Aceh, Medan dan Jakarta
• 4 jam lalumediaindonesia.com
thumb
Harga Emas Dunia Tergelincir
• 1 jam lalumetrotvnews.com
Berhasil disimpan.