Ada yang aneh dengan Timur Tengah. Kawasan Timur Tengah, yang kerap dikaitkan dengan ketahanan pangan global dan geopolitik energi, justru mengalami krisis pangan struktural. Kawasan yang memompa miliaran dolar dari perut bumi ini, yang gedung-gedungnya menyentuh langit, yang warganya berkendara mobil mewah, ternyata tidak bisa memberi makan dirinya sendiri.
Lebanon kolaps tahun 2020 bukan karena kehabisan minyak, tapi karena kehabisan roti. Yaman, negara yang dulunya disebut "Arabia Felix" atau Arabia Bahagia karena suburnya, kini 80% penduduknya bergantung pada bantuan pangan internasional. Bahkan Arab Saudi, negara terkaya di Semenanjung Arab, harus impor 80% kebutuhan makanannya.
Ini bukan lagi soal kemiskinan. Ini tentang geografis yang tidak berpihak, sejarah yang keliru, dan pilihan politik yang mahal harganya.
Ketika Gurun Lebih Luas dari Sawah: Akar Krisis Pangan Timur TengahMari kita mulai dari yang paling jujur: Timur Tengah memang bukan tempat yang dirancang untuk pertanian modern.
Coba bayangkan. Dari total luas daratan Timur Tengah dan Afrika Utara, hanya 5% yang bisa ditanami. Sisanya? Gurun pasir, pegunungan tandus, atau dataran berbatu yang tidak akan menumbuhkan apa-apa meski Anda siram dengan air zamzam sekalipun.
Mesir, dengan 100 juta jiwa penduduknya, hanya punya 3,8% lahan yang bisa digarap, hampir semuanya menempel di sepanjang Sungai Nil. Sisanya adalah Sahara yang tidak kenal ampun. Yordania lebih ekstrem: 92% wilayahnya adalah lahan kering yang tidak produktif. Bahkan di Irak yang dijuluki "buaian peradaban" karena punya Tigris dan Efrat, kini pertaniannya sekarat karena kekeringan yang semakin parah.
Dalam penelitian Sowers, Vengosh, dan Weinthal (2011) yang dipublikasikan di jurnal Climatic Change, dijelaskan bahwa "the Middle East and North Africa region is characterized by extreme water scarcity and high vulnerability to climate change impacts" (Timur Tengah dan Afrika Utara dicirikan oleh kelangkaan air yang ekstrem dan kerentanan tinggi terhadap dampak perubahan iklim). Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa Timur Tengah mengalami kenaikan suhu 0,45°C per dekade, dua kali lipat lebih cepat dari rata-rata global. Artinya? Lahan yang sudah sedikit itu akan semakin menyusut. Sumber air yang sudah langka akan makin kering.
Tapi tunggu dulu, ini baru separuh cerita. Karena faktor geografis dan iklim tidak menjelaskan mengapa negara-negara yang punya uang segudang tidak bisa mengatasi masalah ini dengan teknologi.
Gandum sebagai Senjata Politik dalam Ketahanan Pangan Timur TengahInilah bagian yang jarang orang bahas: ketergantungan pangan Timur Tengah bukan hanya konsekuensi alam, tapi juga hasil dari pilihan politik yang sangat disadari.
Ketika Perang Dingin berakhir, banyak negara Timur Tengah yang sebenarnya masih bisa bercocok tanam mulai mengalihkan fokus. Arab Saudi, misalnya, di era 1980-an pernah jadi eksportir gandum. Ya, Anda tidak salah baca, negara gurun itu pernah ekspor gandum!
Tapi Saudi akhirnya sadar: menanam gandum di gurun itu seperti membakar uang. Untuk memproduksi satu kilogram gandum di Arab Saudi, mereka butuh ribuan liter air dari aquifer bawah tanah yang tidak terbarukan. Pada 2016, pemerintah Saudi resmi menghentikan produksi gandum domestik. Keputusan pragmatis, tapi dengan konsekuensi strategis yang dalam.
Kini, negara-negara Timur Tengah import 50% lebih kebutuhan gandum mereka. Dan dari mana? Mayoritas dari Rusia dan Ukraina, dua negara yang sedang perang. Ketika konflik Rusia-Ukraina meletus Februari 2022, harga roti di Mesir langsung naik 50%. Di Lebanon, orang antre berjam-jam hanya untuk mendapat sekarung tepung.
Seperti yang dijelaskan dalam penelitian Breisinger et al. (2014) dalam jurnal Food Policy, "the MENA region is the largest net food-importing region in the world, with food imports valued at $53 billion in 2010" (kawasan MENA adalah pengimpor pangan bersih terbesar di dunia, dengan nilai impor pangan $53 miliar pada 2010). Angka ini terus meningkat, menurut data terbaru FAO, impor pangan kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara kini mencapai $110 miliar per tahun. Ini bukan lagi soal ketergantungan, ini adalah kerentanan yang dieksploitasi dalam politik global.
Rusia, misalnya, tahu betul bahwa gandum adalah amunisi diplomasi. Saat Barat menjatuhkan sanksi ekonomi, Moskow bisa main cantik dengan menawarkan gandum murah ke Mesir, Aljazair, atau Turki. Di sisi lain, AS juga memainkan kartu yang sama: bantuan pangan sebagai alat foreign policy.
Gandum bukan lagi sekadar makanan. Dia sudah jadi senjata geopolitik.
Negara Gagal dan Krisis Pangan di Timur TengahSekarang tambahkan faktor ketiga yang membuat semuanya semakin rumit: instabilitas politik.
Ketika sebuah negara sibuk berperang, siapa yang mikirin pertanian? Suriah, yang dulunya swasembada gandum, kini produksinya anjlok 70% sejak perang saudara dimulai tahun 2011. Petani tidak bisa ke ladang karena ranjau darat. Sistem irigasi hancur dibom. Infrastruktur distribusi lumpuh.
Yaman bahkan lebih tragis. Negara yang dulunya punya tradisi pertanian ribuan tahun ini kini mengalami krisis kemanusiaan terburuk di abad 21. PBB mencatat 17 juta orang Yaman, lebih dari setengah populasinya, tidak tahu akan makan apa besok. Bukan karena tidak ada uang, tapi karena makanan tidak bisa masuk akibat blokade, infrastruktur hancur, dan pertanian lumpuh karena konflik.
Penelitian yang dilakukan oleh Sowers et al. (2011) mengungkapkan bahwa "armed conflict in the region has destroyed agricultural infrastructure, displaced farming populations, and disrupted food distribution systems" (konflik bersenjata di kawasan ini telah menghancurkan infrastruktur pertanian, mengungsikan populasi petani, dan mengganggu sistem distribusi pangan). Mereka juga menekankan bahwa "water scarcity acts as a 'threat multiplier' that exacerbates existing tensions and conflicts" (kelangkaan air bertindak sebagai 'pengganda ancaman' yang memperburuk ketegangan dan konflik yang sudah ada).
Menurut laporan FAO (2022) dalam Regional Overview of Food Security and Nutrition, "conflict-affected countries in the region experience food insecurity rates 2-3 times higher than stable countries" (negara-negara yang terkena konflik di kawasan ini mengalami tingkat ketidakamanan pangan 2-3 kali lebih tinggi daripada negara-negara yang stabil). Perang menghancurkan bukan hanya nyawa, tapi juga sistem yang membuat orang bisa bertahan hidup.
Dan ini menciptakan siklus setan: kelaparan memicu ketidakstabilan, ketidakstabilan memperparah kelaparan. Ketika orang lapar, mereka lebih mudah direkrut oleh kelompok ekstremis yang menjanjikan makanan. ISIS di puncak kekuasaannya tahu betul ini, mereka kontrol ladang gandum Suriah dan Irak sebagai strategi rekrutmen.
Solusi yang Tidak SederhanaBeberapa negara teluk mencoba strategi "food diplomacy"—membeli atau menyewa lahan pertanian di negara lain. Arab Saudi punya ladang gandum di Ethiopia. UEA investasi pertanian di Sudan. Qatar beli peternakan di Australia.
Tapi ini menciptakan masalah etis baru: apakah adil jika negara kaya membeli lahan subur di negara miskin yang penduduknya sendiri kekurangan pangan?
Teknologi juga bukan jawaban ajaib. Vertical farming, hidroponik, desalinasi air laut, semuanya membutuhkan energi dan investasi masif. UEA memang punya gedung vertical farm terbesar di dunia, tapi produksinya baru bisa cover 2% kebutuhan sayuran Dubai. Sisanya? Tetap impor.
Yang paling realistis mungkin adalah diversifikasi sumber impor dan investasi pada regional food security. Tapi ini butuh kerja sama regional yang solid, sesuatu yang sangat sulit di kawasan yang sarat konflik dan rivalitas.
Pelajaran untuk KitaKisah krisis pangan Timur Tengah adalah peringatan keras: uang tidak bisa membeli segalanya. Ketika dasar-dasar survival seperti makanan bergantung pada faktor eksternal, geografis, iklim, politik global, maka kemakmuran jadi sangat rapuh.
Bagi Indonesia yang punya tanah subur dan curah hujan melimpah, ini reminder bahwa food security adalah aset strategis yang harus dijaga mati-matian. Jangan sampai kita seperti Timur Tengah: kaya sumber daya tapi tidak bisa makan.
Karena pada akhirnya, gedung pencakar langit bisa dibangun dengan uang. Tapi gandum? Dia butuh tanah yang tepat, air yang cukup, dan langit yang tidak terlalu panas. Dan itu tidak bisa dibeli dengan berapa pun uang minyak.




