JAKARTA, KOMPAS – Manager Industrial Sales PT Pertamina Patra Niaga periode Januari 2022-Juli 2023 Doni Indrawan mengungkapkan alasan PT Pertamina Patra Niaga mengabaikan indikator bottom price atau harga batas bawah dalam penjualan BBM solar/ bio solar kepada sektor industri. Praktik tersebut dilakukan demi memenangkan persaingan di pasar Business to Business (B2B) sehingga konsumen besar Pertamina juga tidak hilang atau beralih kepada kompetitor asing.
Namun, dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum, keputusan Pertamina mengabaikan harga batas bawah dalam penjualan solar/bio solar itu mengakibatkan keuangan negara merugi hingga Rp 2,4 triliun selama 2021-2023.
Pernyataan Doni itu disampaikan saat menjadi saksi dalam sidang lanjutan perkara korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina periode 2018-2023 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (18/15/2025).
Doni dihadirkan jaksa penuntut umum untuk tiga terdakwa yakni Bekas Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, Manager Import & Export Product Trading PT PPN Edward Corne dan VP Trading & Other Business PT PPN Maya Kusmaya. Sidang ini dipimpin ketua majelis hakim Fajar Kusuma Aji.
Awalnya, jaksa penuntut umum Feraldy Abraham Harahap meminta penjelasan terhadap saksi Doni terkait penawaran solar/bio solar salah satunya ke perusahaan PT Merah Putih Petroleum. Sebab, berdasarkan berita acara pemeriksaaan, Doni pernah mengaku menawarkan BBM kepada perusahaan swasta tersebut. Jaksa juga menanyakan terkait penyusunan formula penawaran harga yang diajukan.
Terhadap pertanyaan tersebut, Doni menjelaskan, bahwa dalam penyusunan formula penawaran harga untuk perusahaan tersebut, pihaknya tidak menggunakan bottom price atau harga batas bawah sebagai acuan. Pihaknya justru menggunakan harga pokok produksi (HPP) dengan margin nol persen untuk kontrak dengan PT Merah Putih Petroleum (MPP).
“Tadi saya sudah menjelaskan, yang digunakan untuk perhitungan PT MPP itu menggunakan HPP margin nol persen. Itu sesuai otoritas Vice President Industrial & Marine Fuel Business, pada saat itu Pak Mochamad Ardie yang memutuskan menggunakan acuan HPP margin nol persen, jadi tidak menggunakan bottom price,” kata Doni.
Doni menyebut, nilai kontrak penjualan dengan PT MPP sebesar Rp 1 triliun. Kontrak itu ditandatangani oleh Riva Siahaan saat menjadi Direktur Pemasaran dan Niaga PT PPN periode 2021-2023.
Selanjutnya Doni menjelaskan, acuan bottom price sebenarnya adalah indikator harga terendah yang diperbarui setiap dua minggu. Acuan harga batas bawah kerap tidak diterapkan agar konsumen besar Pertamina tidak hilang atau beralih ke kompetitor asing seperti Exxon atau Shell.
"Kalau kita pakai bottom price untuk perusahaan yang kompetisinya tinggi, pasti kita akan kalah. Sebagai bukti, PT Kideco tidak dilayani oleh kita karena harga kita tidak masuk (tidak kompetitif)," ungkap Doni.
Menurut jaksa, dengan menggunakan HPP margin nol persen itu berarti tidak ada keuntungan yang dapat diambil dari biaya produksi dasar oleh PT PPN.
Doni beralasan, acuan harga batas bawah bukanlah satu-satunya acuan wajib dalam negosiasi penjualan dengan konsumen. Justru dengan menggunakan HPP margin nol persen itu Pertamina dinilai dapat bersaing dengan kompetitor asing sekaligus bisa mendapatkan pelanggan baru.
“Bottom price itu menjadi salah satu indikator, bukan satu-satunya. Secara nilai, bottom price pasti lebih tinggi dibandingkan HPP (Harga Pokok Penjualan) margin nol persen. Untuk industri dengan tingkat kompetisi tinggi, kami tidak menggunakan bottom price untuk mempertahankan customer," ujarnya.
Menurut Doni, jika semua harus menggunakan mekanisme acuan harga batas bawah, maka PT Pertamina Patra Niaga sulit mendapatkan pelanggan baru dan akan ke kompetitornya. Acuan harga batas bawah itu baru bisa diterapkan untuk perusahaan-perusahaan swasta yang ingin memperpanjang kontrak
“Jadi kalau misalnya kita mau menjual ke customer history, history pricing-nya sudah baik, itu saya mengajukan bottom price. Kalau history misalkan, maaf saya sebut industrinya, Indofood sebelumnya sudah tinggi harganya. Jadi karena sudah tinggi, saya mengacu untuk perpanjangan kontrak mengacu bottom price. Tapi untuk industri lain yang mungkin tingkat competitiveness-nya tinggi. Saya tidak menggunakan bottom price. Misalkan di Merah Putih Petroleum,” kata Doni.
Sementara itu, saksi lainnya, bekas Direktur Utama PT PPN 2020-2021 Mas’ud Khamid mengatakan, saat menjadi dirut ia menerbitkan surat keputusan direksi yang mengatur harga jual khusus pada Maret 2021. Ia menyebut ada empat syarat untuk Pertamina boleh menjual BBM di bawah bottom price atau di bawah harga pasar.
Syarat itu yakni karena stok melimpah sementara serapan pasar rendah, produk solar sudah terlalu lama disimpan, permintaan regulator dari pemerintah untuk sektor tertentu misal untuk Kereta Api atau maskapai Garuda serta kontrak jangka panjang atau terikat perjanjian dengan pelanggan strategis.
“Jika dilakukan di luar kondisi khusus atau dalam kondisi normal, Pertamina pasti rugi," ujar Mas'ud.
Hal terpenting lainnya adalah dalam kontrak penjualan juga harus mendapatkan persetujuan atau tanda tangan dua direktur, yaitu Direktur Marketing Korporat dan Direktur Perencanaan Bisnis.
"Direktur Perencanaan Bisnis harus terlibat untuk memverifikasi kebenaran di lapangan, seperti apakah benar kilang produksinya tinggi atau apakah benar tangki BBM sudah penuh. Ini untuk mencegah ketidakdisiplinan di level operasional," kata Mas'udi.
Mas'udi mengaku setelah menerbitkan SK itu, pada Mei 2021 ia dicopot dari jabatannya. Mas’udi lalu digantikan oleh Alfian Nasution untuk menduduki jabatan Dirut PT PPN 2021-2023.
Berdasarkan surat dakwaan jaksa, perbuatan terdakwa Riva Siahaan yang telah menandatangani kontrak penjualan BBM solar/bio solar dengan harga dibawah bottom price selama periode tahun 2021-2023 disebut telah memperkaya 14 korporasi termasuk PT MPP. PT MPP disebut diperkaya sekitar Rp 256,2 miliar akibat penjualan solar murah dibawah acuan bottom price. Dalam penjualan solar murah itu, total kerugian negara ditaksir mencapai Rp 2,5 triliun.
Selain perbuatan penjualan solar murah itu terdapat modus korupsi lainnya yakni terkait dengan ekspor minyak mentah domestik dan impor minyak mentah hingga pengadaan sewa kapal, sewa terminal BBM, hingga kompensasi BBM dengan RON90.
Sementara itu, secara keseluruhan dalam skandal rekayasa tata kelola minyak mentah itu telah menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar 2,73 miliar dollar AS dan Rp 25,43 triliun serta kerugian perekonomian negara yang ditaksir mencapai Rp 171,9 triliun. Total kerugian dalam skandal ini mencapai Rp 285 triliun sesuai Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sementara itu, ketua majelis hakim Fajar Kusuma Aji ketika membuka sidang mengumumkan bahwa Pengadilan Tipikor Jakarta sudah menerima pelimpahan berkas untuk delapan tersangka lainnya yang akan segera disidangkan pada Rabu, 24 Desember 2025. Untuk itu, sidang terhadap terdakwa Riva dan lainnya harus digabung dengan para terdakwa dari klaster swasta setiap Selasa. Hal ini harus dilakukan sidang sidang delapan tersangka nantinya akan dilakukan setiap Kamis.
”Baik ya. Jadi, sebelum dihadirkan saksinya, perlu kami beritahukan sehubungan dengan dilimpahkannya berkas perkara Pertamina lainnya. Ada delapan berkas perkara kemarin. Jadi, mau enggak mau nanti akan kita gabung menjadi satu kali sidang gitu. Karena hari Kamis minggu depan nanti untuk perkara Pertamina yang lainnya dan kta sudah enggak punya hari lain. Jadi, ini harus kita satukan gitu ya,” ujar hakim.
Adapun delapan tersangka yang akan disidangkan adalah Alfian Nasution, Vice President Supply dan Distribusi PT Pertamina (Persero) tahun 2011-2015; Hanung Budya, Direktur Pemasaran & Niaga PT Pertamina (Persero) tahun 2014; Toto Nugroho, Senior Vice President Integrated Supply Chain tahun 2017-2018; Dwi Sudarsono, Vice President Crude and Product PT Pertamina (Persero) 2018-2020; dan Arief Sukmara, Direktur Gas, Petrochemical & New Business, PT Pertamina International Shipping.
Lalu, Hasto Wibowo, SVP Integrated Supply Chain tahun 2018-2020; Martin Haendra Nata, Business Development Manager PT Trafigura 2019-2021; Indra Putra Harsono, Business Development Manager PT Mahameru Kencana Abadi.
Dalam perkara ini total ada 18 tersangka yang ditetapkan Kejaksaan Agung termasuk M Riza Chalid, yang merupakan penerima manfaat atau beneficial owner PT Orbit Terminal Merak yang masih buron.




