Bangkok, VIVA – Lebih dari 12.000 warga negara Indonesia (WNI) dilaporkan terlibat dan menjadi korban jaringan kejahatan penipuan daring lintas negara dalam periode 2021–2025.
Kondisi tersebut mendorong pemerintah Indonesia menegaskan bahwa penipuan daring telah berkembang menjadi krisis keamanan manusia sekaligus ancaman serius bagi stabilitas regional.
Pernyataan tersebut disampaikan Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) RI Arrmanatha Nasir dalam sesi tingkat tinggi International Conference on Global Partnership against Online Scams di Bangkok, Thailand, Rabu, 17 Desember 2025.
Arrmanatha menekankan bahwa penipuan daring kini bukan lagi kejahatan terisolasi, melainkan aktivitas kriminal terorganisasi berskala industri yang melibatkan jaringan lintas negara.
"Tidak ada satu pun negara di dunia yang dapat menghadapi ancaman ini sendiri. Respons kita harus kolektif, terkoordinasi, dan berskala global," kata Arrmanatha, seperti dikutip dari keterangan pers Kementerian Luar Negeri RI, Kamis, 18 Desember 2025.
Kemlu RI mencatat, dalam satu tahun terakhir Indonesia mengalami kerugian finansial akibat penipuan daring mencapai 474 juta dolar AS atau sekitar Rp7,9 triliun.
Selain kerugian ekonomi, ribuan WNI juga menjadi korban eksploitasi, termasuk tindak pidana perdagangan orang (TPPO), dan dipaksa bekerja sebagai pelaku penipuan di pusat-pusat kejahatan daring di kawasan Asia Tenggara.
Dalam menghadapi ancaman tersebut, Indonesia mendorong tiga prioritas utama aksi global. Pertama, peningkatan signifikan kerja sama penegakan hukum lintas batas melalui pertukaran intelijen secara real time serta operasi bersama untuk membongkar jaringan kriminal terorganisasi.
Kedua, penguatan kolaborasi di bidang keuangan dan siber dengan melibatkan unit intelijen keuangan serta regulator digital guna memutus aliran dana ilegal yang menopang kejahatan daring.
Ketiga, pendekatan yang menempatkan korban sebagai pusat penanganan, melalui perlindungan, rehabilitasi, dan reintegrasi sosial bagi para korban penipuan daring dan TPPO.
Menurut Arrmanatha, upaya global tersebut dapat memanfaatkan mekanisme kerja sama yang telah ada, seperti Bali Process, ASEAN, serta Konvensi PBB Menentang Kejahatan Terorganisir Transnasional (UNTOC).
"Ketidakpedulian memberi ruang bagi kriminal, tetapi kerja sama menciptakan keamanan," ujarnya
Konferensi yang diselenggarakan pemerintah Thailand bersama Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) itu bertujuan membentuk Kemitraan Global Melawan Penipuan Daring, sebagai langkah kolektif menghadapi eskalasi kejahatan siber lintas negara.



