Menembus Awan dan Harapan Tinggi

kumparan.com
5 jam lalu
Cover Berita

Tepat pada bulan Agustus, aku mengambil satu langkah besar. Sebuah langkah yang dipenuhi harapan, tetapi tak lepas dari keraguan. Langkah yang sejak awal terus mempertanyakan: Haruskah aku melanjutkan atau berhenti sampai di sini?

Di dalam pesawat, aku terdiam setelah pramugari memerintahkan seluruh penumpang mengenakan sabuk pengaman. Di sebelah kiriku, ibuku mengantarkanku pergi, ia tampak sibuk dengan aktivitasnya sendiri. Dia akan menemaniku untuk beberapa bulan di kota perantauan. Tak lama setelahnya, pesawat ini terbang ke atas. Aku menatap lurus ke depan, membiarkan ingatan membawa pikiranku kembali ke hari-hari yang telah lewat.

Kaca pesawat menjadi saksi bisu atas diam dan renunganku. Aku teringat masa perjuangan yang dipenuhi dengan pikiran yang berisik, kekhawatiran, dan kebingungan jika aku mampu atau tidak menembus universitas impian. Perjuangan itu mulai terasa nyata saat aku memasuki kelas tiga SMA. Pada awalnya, aku benar-benar bingung menentukan jurusan dan universitas yang akan kupilih.

Aku terlalu tenggelam dalam kebimbanganku sendiri hingga tak banyak berbagi dengan orang tua mengenai langkah selanjutnya. Memasuki kelas dua belas, hari-hariku diisi dengan usaha tanpa henti untuk mempersiapkan ujian masuk perguruan tinggi. Tak jarang aku belajar hingga larut malam. Ayah dan ibu sesekali menasihati, “Jangan terlalu lama belajar sampai lupa makan.”

Namun, kata-kata itu justru semakin menguatkanku. Satu hal yang terus terpatri di kepalaku saat itu: aku harus lulus.Aku tahu, aku tidak sendirian. Teman-temanku pun merasakan hal yang sama. Perasaan bingung, takut, dan bimbang. Kami berada di persimpangan yang sama, di mana setiap langkah terasa berat karena akan menentukan masa depan.

Setiap hari aku bertanya pada diri sendiri tentang minatku yang tak kunjung ditemukan. Selanjutnya, keraguan akan sanggupkah melangkah ke fase yang lebih serius dalam hidup. Hingga mendekati hari ujian, aku tetap diliputi keraguan saat harus memilih jurusan. Dengan rasa penat dan kejenuhan yang menumpuk, akhirnya aku memilih tanpa banyak pertimbangan.

Tanpa diskusi panjang, tanpa rencana matang. Waktu ujian pun tiba dan berlalu. Aku dinyatakan diterima di salah satu pilihan, tetapi perasaanku campur aduk. Ada kebahagiaan, tetapi juga ketakutan. Aku ragu pada diriku sendiri, takut tidak kuat hidup mandiri di negeri perantauan.

Hari-hariku kembali tenggelam dalam pertimbangan yang tak berujung. Saat itu, orang tuaku selalu berada di sisiku. Mereka meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dan akhirnya, aku memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan ini.

Keluargaku mengantarku hingga ke bandara. Dari sorot mata dan raut wajah mereka, aku melihat secercah harapan dan perhatian. Tanpa kata-kata, mereka mendoakanku dari hati terdalam agar aku baik-baik saja dan mampu menjemput jalanku sendiri.

Di tengah keramaian bandara, aku tersadar bahwa perjalanan ini harus kutempuh dengan semangat yang tak boleh padam. Aku harus meromantisasi setiap tantangan yang ada, karena dari sanalah aku belajar melangkah, melewati fase demi fase menuju tangga kesuksesan yang kucita-citakan.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Jimly Sebut Polri Tak Bakal Lantik Pejabat di Luar Struktur Usai Penerbitan Perpol
• 4 jam laluokezone.com
thumb
Laporan Majalah Inggris, Pakistan Tembak Jatuh 4 Jet Rafale India
• 22 jam lalurepublika.co.id
thumb
Aksi Kapolsek Cileungsi: 2 Kali Nyamar Demi Bongkar Perkara
• 8 jam laludetik.com
thumb
Plester Luka Hermes Dijual Rp3,2 Juta
• 12 jam lalubeautynesia.id
thumb
Usai Turun Gunung Cek Lembah Anai, Menteri PU: Ada Illegal Logging!
• 10 jam lalucnbcindonesia.com
Berhasil disimpan.