jpnn.com, JAKARTA - Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) mendesak Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap penerbitan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) PT Socfindo Limapuluh di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara.
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PB HMI Alwi Hasbi Silalahi menilai penerbitan PKKPR tersebut tidak mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Batubara yang berlaku secara hukum.
BACA JUGA: PB HMI Anggap Kemenhaj Main-Main Dalam Mengurus Haji
“Ini bukan sekadar persoalan administrasi, tapi menyangkut kepatuhan terhadap peraturan daerah yang mengikat. Jika RTRW Kabupaten Batubara diabaikan, maka PKKPR tersebut patut diduga cacat prosedur,” kata Alwi dalam keterangannya.
Alwi menjelaskan, berdasarkan hasil telaah dokumen tata ruang, sekitar 1.000 hektare lahan HGU PT Socfindo dalam RTRW Kabupaten Batubara telah ditetapkan sebagai kawasan permukiman perkotaan.
BACA JUGA: HMI Desak Percepatan Revitalisasi Irigasi sebagai Fondasi Swasembada Pangan
Namun, PKKPR justru diterbitkan dengan merujuk pada RTRW Provinsi Sumatera Utara yang masih menetapkan kawasan tersebut sebagai area perkebunan.
“Dalam hierarki tata ruang, RTRW kabupaten adalah rujukan utama untuk penilaian kesesuaian pemanfaatan ruang. Mengabaikannya jelas bertentangan dengan Permen ATR/BPN Nomor 13 Tahun 2021,” tegasnya.
BACA JUGA: Datangi Kejati Sumut, HMI Tantang Harli Siregar Periksa Pejabat BSI
Menurut Alwi, praktik tersebut melanggar asas berjenjang dan komplementer dalam penataan ruang.
Ia menilai penerbitan PKKPR tanpa verifikasi lintas dokumen yang utuh berpotensi menimbulkan risiko hukum serius di kemudian hari.
“Kalau keputusan ini dibiarkan, negara berhadapan dengan potensi gugatan tata usaha negara, konflik pemanfaatan ruang, hingga distorsi perencanaan pembangunan daerah,” ujarnya.
PB HMI juga menyoroti potensi kerugian negara yang bisa muncul akibat ketidaksesuaian zonasi tersebut.
Alwi menyebut, salah penetapan ruang dapat menghilangkan peluang pengembangan kawasan permukiman, menurunkan nilai ekonomi ruang, serta melemahkan akuntabilitas pengelolaan aset negara.
Lebih jauh, Alwi mengingatkan adanya dugaan penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, apabila pejabat terkait mengetahui adanya RTRW Kabupaten namun sengaja tidak menjadikannya dasar penerbitan PKKPR.
“Jika ini dilakukan dengan sadar, maka bukan hanya pelanggaran prosedur, tetapi berpotensi masuk kategori melampaui atau menyalahgunakan kewenangan,” katanya.
Atas dasar itu, PB HMI secara resmi mendorong BPKP untuk melakukan audit kepatuhan dan audit tata ruang terhadap proses penerbitan PKKPR PT Socfindo, termasuk menghitung potensi kerugian negara dan menelusuri alur pengambilan keputusan di internal ATR/BPN.
“Pemeriksaan BPKP penting bukan hanya untuk kasus ini, tapi juga sebagai momentum pembenahan tata kelola PKKPR secara nasional agar penataan ruang benar-benar berpihak pada kepentingan publik dan pembangunan jangka panjang,” pungkas Alwi. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif




