BENCANA banjir dan tanah longsor yang melanda sebagian wilayah Pulau Sumatra pada akhir November 2025 tidak hanya meninggalkan kerusakan fisik yang masif, tetapi juga trauma mendalam bagi para penyintas.
Hingga Minggu (7/12), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan dampak tragis di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat: 921 orang meninggal dunia, 392 hilang, dan 37.546 rumah mengalami kerusakan.
Di balik angka-angka tersebut, terdapat ancaman kesehatan mental yang nyata. Psikolog klinis lulusan Universitas Indonesia, Kasandra Putranto, memperingatkan bahwa pengalaman yang mengancam nyawa dapat memicu gangguan stres akut.
“Reaksi stres normal umumnya mereda dalam 2–4 minggu. Bila gejala emosional atau fisik menetap lebih dari satu bulan, individu berada pada risiko perkembangan gangguan stres pascatrauma (PTSD) atau gangguan penyesuaian (adjustment disorder),” ujar Kasandra, dikutip Jumat (19/12)
Menurut Kasandra, hilangnya harta benda, putusnya hubungan sosial, hingga runtuhnya harapan menjadi pemicu guncangan emosional.
Gejala yang perlu diwaspadai meliputi kecemasan berlebihan, ledakan emosi, hingga rasa bersalah yang tidak proporsional.
Sebagai solusi, ia menekankan pentingnya dukungan sosial seperti mendengarkan tanpa menginterogasi dan program dukungan psikososial berbasis komunitas.
Perhatian Khusus bagi Kelompok RentanKelompok anak-anak menjadi fokus utama dalam pemulihan pascabencana. Pakar Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Padang (UNP), Evelynd, menjelaskan bahwa pendampingan anak harus dilakukan secara bertahap dan melibatkan orang tua.
“Kegiatan dibuat menyenangkan agar anak bisa kembali fokus. Banyak dari mereka memasuki masa ujian sekolah sehingga pendampingan ini sangat penting untuk mengembalikan stabilitas emosi,” kata Evelynd.
Ia juga menyoroti pentingnya peran orang tua dalam membatasi penggunaan gawai dan memfilter informasi digital yang layak bagi anak. Hal ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 (PP Tunas) mengenai pelindungan anak dari risiko digital.
Upaya konkret di lapangan telah dilakukan melalui kolaborasi Kementerian Komunikasi dan Digital, Save the Children, serta UNP. Mereka menerapkan pendekatan bermain seperti kuis, menggambar, dan membaca cerita untuk mengembalikan semangat anak-anak di pengungsian.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifah Fauzi, menegaskan bahwa negara berkomitmen penuh dalam proses ini.
"Negara hadir untuk memastikan setiap perempuan dan anak serta kelompok rentan lainnya termasuk lansia dan penyandang disabilitas mendapatkan perlindungan dan pemenuhan hak yang layak selama masa tanggap darurat maupun fase pemulihan nantinya," tegasnya.
Melalui layanan trauma healing yang intensif, pemerintah berharap para penyintas dapat membangun kembali resiliensi mereka dan pulih dari bayang-bayang bencana. (Ant/Z-1)





