Kasus "Influencer" dan Batasan Kebebasan Berekspresi dalam Demokrasi

kompas.id
11 jam lalu
Cover Berita

Kebebasan, salah satunya dalam mengekspresikan pendapat, menjadi prinsip yang harus terjamin dalam demokrasi. Namun, kebebasan berpendapat bisa dimaknai secara berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. Apakah ada batasan kebebasan dalam sebuah demokrasi?

Kasus yang kini tengah menjerat Adimas Firdaus atau Resbob, seorang youtuber sekaligus influencer media sosial yang melontarkan pernyataan rasis ke salah satu suku di Indonesia, menjadi contoh nyata dari dilema demokrasi soal kebebasan.

Di satu sisi, komentar dari Resbob ini melukai hati kelompok tertentu. Di sisi lain, hak Resbob sebagai warga negara Indonesia untuk mengutarakan pendapat dijamin konstitusi.

Dilema pada kasus Resbob ini bisa saja terlihat subtil. Mereka yang melihat konten ujaran kebencian tersebut besar kemungkinan akan sepakat bahwa influencer ini perlu untuk diganjar bui. Namun, sampai batas apa seseorang bisa dibui atas komentarnya di media sosial.

Bagaimana opini atau pandangan masyarakat yang mencoba untuk menunjukkan kondisi penanganan bencana yang masih belum maksimal di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat.

Apakah, misalnya, ekspresi kekesalan publik atas kinerja pemerintah dalam penanganan bencana ini bisa masuk ke dalam ujaran kebencian? Pantaskah mereka yang berkomentar negatif ini dilihat sebagai kriminal?

Kebebasan jadi prinsip dasar

Sejak dikembangkan pada abad ke-18 dan 19, kebebasan berekspresi menjadi prinsip yang fundamental dan harus dijamin dalam negara demokratis. Dalam bukunya “On Liberty”, filosof John S. Mill berpandangan, kebebasan berpendapat adalah bagian integral dalam terbentuknya masyarakat yang demokratis.

Menurut Mill, kebebasan berpendapat yang bisa mendorong progresi moral dan pengetahuan masyarakat dapat menghasilkan “kebenaran” yang dimonopoli oleh pemerintahan yang otoriter.

Artinya, apa yang kemudian dianggap benar dan salah muncul secara organik dari pemikiran masyarakat, bukan merupakan cetakan yang dipaksakan secara dogmatis oleh pemerintah.

Pentingnya kebebasan berekspresi ini pun diamini oleh Jurgen Habermas dalam teori demokrasi deliberatifnya. Menurut begawan komunikasi politik ini, legitimasi dari keputusan yang dihasilkan dalam demokrasi terletak dari kemunculannya yang berasal dari proses deliberasi atau musyawarah yang terbuka dan tanpa paksaan.

Deliberasi ini sendiri mensyaratkan adanya ruang komunikasi (public sphere) yang terbuka di mana argumen yang dilemparkan masyarakat saling beradu secara bebas. Maka dalam hal ini, membatasi kebebasan berekspresi bisa berpotensi merusak legitmasi dari demokrasi itu sendiri.

Tidak heran, kebebasan berekspresi ini menjadi salah satu indikator yang digunakan oleh lembaga-lembaga internasional untuk mengukur kualitas demokrasi sebuah negara.

Freedom House dan Economist Intelligence Unit, sebagai dua dari sejumlah organisasi internasional yang kredibel, turut memasukkan kebebasan berpendapat sebagai variabel yang diukur.

Di Indonesia, BPS pun memasukkan kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai salah satu indikator dalam penyusunan Indeks Demokrasi Indonesia.

Sayangnya, kebebasan berekspresi ini masih menjadi salah satu ganjalan dalam demokrasi di Indonesia. Laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) pada 2024, misalnya, mencatat adanya penurunan skor kebebasan sipil, yang juga mencakup kebebasan berekspresi.

Pada 2024, skor Indonesia dalam aspek kebebasan sipil berada di angka 5,29. Angka ini cenderung menurun apabila dibandingkan dengan capaian di tahun 2022 yang berada di level 6,18 poin.

Batasan faksionalisme

Lantas, apakah ruang kebebasan berekspresi ini harus dibuka seluas-luasnya dalam demokrasi? Pertanyaan ini mungkin sulit untuk dijawab secara lugas. Tapi setidaknya, publik bisa mencoba untuk menakar sejauh mana pintu kebebasan bisa dibuka.

Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu kembali jauh ke abad ke-6 sebelum Masehi, tepatnya pada masa demokrasi Yunani Kuno. Saat itu, berdasarkan kritik dari filosof Plato, demokrasi masih belum bisa disebut sebagai sistem pemerintahan yang ideal. Salah satu argumentasi Plato dalam kritiknya terhadap demokrasi adalah munculnya faksionalisme.

Faksionalisme, dilihat oleh Plato sebagai salah satu problem utama dari demokrasi karena akan menciptakan instabilitas politik. Ketika faksonalisme meruncing, proses musyawarah akan makin alot dan pemerintah akan semakin sulit untuk membuat keputusan.

Lambatnya proses pengambilan keputusan ini pun akan berakibat pada pemerintahan yang tidak adaptif terhadap perkembangan situasi sosial dan ekonomi.

Tidak hanya itu, Michael Mann dalam bukunya “The Dark Side of Democracy” juga melihat faksionalisme ini erat dengan persoalan kekerasan dalam demokrasi.

Narasi yang memecah belah, atau mendorong faksionalisme, dapat menciptakan kelompok yang diuntungkan dan kelompok ‘liyan’ yang termarjinalkan.

Indonesia telah melihat pemandangan horor munculnya kekerasan terhadap kelompok ‘liyan’ ini, seperti saat terjadinya kekerasan massal terhadap kelompok Tionghoa di masa Reformasi 1998.

Maka dalam hal ini, muncul satu batasan yang terang soal kebebasan berekspresi yang ideal dalam demokrasi. Di satu sisi, kebebasan individu untuk menyampaikan pendapat harus dijamin oleh negara sebagai prinsip dasar dari demokrasi.

Namun di sisi lain, kebebasan berekspresi ini dipagari oleh mitigasi dari munculnya faksionalisme. Artinya, pendapat yang memunculkan narasi perpecahan di antaran kelompok masyarakat tidak boleh dibiarkan. (Litbang Kompas).

Serial Artikel

Membentengi Kebebasan Ekspresi

Argumen hukum HAM absen dibahas dalam pasal penghinaan di RKUHP. Padahal, konstruksi RKUHP menyubordinasi pasal kebebasan ekspresi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan doktrin hukumnya.

Baca Artikel


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
David Neres Cetak Gol Langka usai Bobol Gawang AC Milan
• 10 jam laluskor.id
thumb
Pramono Pastikan Perayaan Tahun Baru 2026 di Jakarta Digelar Sederhana
• 23 jam lalukompas.com
thumb
Pemkab Bekasi Apresiasi CSR Urban Farming Lippo Cikarang
• 21 jam laluwartaekonomi.co.id
thumb
China Kecam Penjualan Senjata AS ke Taiwan Senilai Rp185 Triliun: Langgar Prinsip Satu China dan Picu Ketegangan Selat Taiwan
• 6 jam lalupantau.com
thumb
Rp900 Juta Jadi Barang Bukti OTT KPK yang Jerat Jaksa dan Pengacara
• 22 jam lalugenpi.co
Berhasil disimpan.