Viral Video Reporter CNN Menangis di Aceh, Made Supriatma: Bencana Ini Belum Selesai

fajar.co.id
6 jam lalu
Cover Berita

Fajar.co.id, Jakarta — Video seorang reporter CNN yang menangis saat meliput langsung liputan bencana di Aceh hingga kini masih viral di media sosial. Video itu diketahui telah dihapus pihak CNN yang justru membuat publik makin heboh dan ramai membahasnya.

Salah satu yang membahasnya adalah peneliti ISEAS Yosuf-Ishak Institut, Made Supriatma. Melalui tulisan di akun media sosialnya, Made mambahas peristiwa itu sembari mengkritik sikap pemerintah yang enggan menetapkan banjir Sumatera sebagai bencana nasional.

“Hati saya tersayat ketika menyaksikan seorang reporter dari CNN Indonesia terisak di depan kamera ketika meliput bencana di Aceh. Ia mengingatkan ada anak-anak yang kelaparan tidak jauh dari tempatnya melaporkan,” tulis Made, mengawali ulasannya, dikutip Jumat (19/12/2025).

Dia melanjutkan, tidak ada bantuan yang masuk. Tidak ada tindakan apapun dari pemerintah. Lembaga pemerintah yang bertanggungjawab menangani bencana, khususnya BNPB, tidak kelihatan. Mungkin mereka kewalahan menangani bencana dalam skala ini.

Dan, bencana ini belum selesai. Ada jembatan yang dibangun oleh Zeni TNI-AD, sudah terpasang tapi kemudian kembali tersapu oleh banjir. Daerah-daerah yang terisolir belum terbuka sepenuhnya. Sebagian bahkan ada yang dilanda longsor kembali.

“Apa yang kita dapat dari respon pemerintah pusat? Hanya sanggahan. Denial. Seolah-olah dunia berputar dengan normal, senormal hidup mereka yang mewah,” kritiknya.

Sementara di bawah, rakyat semakin frustasi. Kalau Anda pernah mengalami bencana, Anda akan tahu bahwa bukan saja makanan yang tidak ada. Tetapi juga air bersih. Pakaian tidak bisa dicuci, rumah tidak bisa ditempati. Tidur pun harus di tempat-tempat darurat yang jauh dari layak. Bahkan kaum perempuan pun kesulitan mendapatkan pembalut pada saat mereka memerlukannya.

Jelas pemerintah kita tidak mampu menangani bencana ini. Penyebab inkompetensinya itu bisa berbagai macam. Namun salah satu yang terbesar, kalau bisa dibahasakan dengan kata tahun 1980an, adalah: Belagu! Harga diri, kata para politisi. “Kita masih mampu mengatasi sendiri,” kata Presiden dengan suara serak.

Fakta di wilayah bencana mengatakan lain. Kita tidak mampu! Diukur dari sisi apapun, kita tidak mampu! Itu jelas di lapangan. Presiden mengatakan butuh waktu 2-3 bulan. Orang lapar dan haus butuh makan dan minum sekarang! Bukan 2-3 bulan. Mereka sudah akan mati dalam jangka waktu itu.

Dan, kita menolak bantuan dari luar. Di Medan, pemerintah mengembalikan bantuan 30 ton beras dari United Arab Emirates. Di Aceh, relawan-relawan kemanusiaan dari Malaysia dikuntit oleh aparat-aparat keamanan. Seorang warga Malaysia dengan marah mengungkapkan kekesalannya kepada para pemimpin Indonesia, “Mereka tak ade otak!” ujarnya. Untuk kita, itu bukan sesuatu yang baru.

Dari daerah bencana, orang mengibarkan bendera putih. Simbol menyerah. Pemerintah khususnya yang di Jakarta, tidak peduli. Kemudian datang Kementerian Sosial. Setiap orang yang terdampak bencana akan diberikan Rp 10 ribu per hari! Mama mia! Kembali terngiang kata influencer Malaysia tadi, “Mereka tak ade otak!”

Saya pernah berada pada situasi seperti ini walaupun tidak sama persis. Saya ketemu satu keluarga dengan dua anak. Mereka miskin dan benar-benar tidak bisa makan. Tapi sang ayah punya gengsi sangat tinggi. Dia menolak uluran tangan siapa pun untuk membantu. Kalau ketahuan ada orang yang kasih makan anak-anaknya, dia akan marah besar. Orang lain yang tidak tahan melihat anak-anak yang terus menerus menangis dan dibentak ayahnya. Mereka menangis karena lapar.

Situasi ini menjadi ilustrasi ketika saya mengajar ‘humanitarian intervention.’ Apakah secara moral dunia internasional harus mengintervensi jika sebuah negara menelantarkan rakyatnya? Jawabannya bervariasi. Jika negara melakukan genosida — kematian pelan-pelan dengan membuat mereka lapar adalah salah satu bentuk genosida — maka kerjasama multilateral harus memutuskan untuk melakukan intervensi. Ini pernah terjadi di Ethiopia dan Somalia ketika terjadi kelaparan besar pada tahun 1980an.

Prinsip intervensi itu banyak sekali. Misalnya, ia harus multi-lateral; ia harus dilandasi kepentingan kemanusiaan, bukan keamanan, ia harus dilakukan setelah perundingan panjang dengan negara yang hendak diintervensi, dan lain sebagainya.

Namun ada yang menarik di sini. Seringkali rejim-rejim brutal ini melakukan genosida untuk kepentingan strategis. Misalnya, ini dilakukan terhadap rakyat yang memberontak terhadap kekuasaan rejim tersebut. Akan lebih spesifik lagi, genosida biasanya diterapkan kepada kelompok rakyat dengan identitas tertentu — etnik, agama, bahasa, kebudayaan, dan lain sebagainya.

Posisi Indonesia mungkin tidak sejauh itu. Yang ada saat ini hanyalah ketiadaan kompetensi dalam derajat yang luar biasa. Kita tidak mampu, tapi belagu. Tidak mampu, tapi masih berlagak kaya. Sekalipun mungkin kita punya sumber daya. Kita punya beras. Kita punya peralatan-peralatan darurat. Kita punya serdadu, yang dalam UU diamanatkan untuk menjalankan Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

Itu mungkin sudah disiapkan. Tapi kita tidak mampu mengeksekusinya. Mengapa? Di sinilah faktor leadership (kepemimpinan) dan manajerial sangat penting. Itulah yang tidak kita miliki sekarang ini. Tentara baru dibentuk 150 batalyon setiap tahun. Mengapa mereka tidak digunakan di daerah bencana?

Terus terang, saya tidak pernah melihat inkompetensi pemerintahan yang seburuk ini. Tidak ada periode sebelumnya kita seperti ini. Jelas, ketidakbecusan ini mulai dari atas. Ia menjalar ke bawah. Dan, sikap para menteri yang kalau tidak meremehkan skala bencana ini, ya tidak peduli. Tidak ada usaha untuk mengorganisasi para relawan (jangan masukkan relawan Jokowi disini!). Tidak ada identifikasi cepat wilayah bencana — yang kalau memakai operasi militer akan cepat terdeteksi. Tidak ada jalur distribusi yang jelas.

Apa yang dilakukan pemerintah? Menyanggah. Menyanggah. Dan menyanggah. Tidak mampu, tapi belagu.

Dan, oh iya. CNN menghapus tayangan video reporternya yang menangis dari wilayah bencana itu. Apakah itu karena “kebijakan” para redaksi CNN sendiri. Mungkin iya. Tapi tidak ada asap akalu tidak ada api, bukan?

“Ini bukan tanpa konsekuensi. Orang mati karena pemerintahnya lalai dan abai. Pemerintahnya menjaga harga diri bangsa! Andai saja, harga diri itu bisa dimakan!,” tutup Made Supriatma. (sam/fajar)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Penampakan Rumah Terbakar di Penjaringan, Mobil di Halaman Turut Hangus
• 2 jam lalukompas.com
thumb
Peringati Hari Ibu ke-97, Menteri PPPA Kunjungi Pejuang Perempuan 45: "Indonesia Bisa Besar Karena Bersatu"
• 21 jam lalupantau.com
thumb
Soal Bendera Putih di Aceh, Mendagri Minta Maaf
• 36 menit lalumediaindonesia.com
thumb
Peringati Hari Ibu, Pesan Megawati ke Perempuan: Cantik Saja Tidak Cukup
• 23 jam lalutvonenews.com
thumb
IHSG Diproyeksi Tembus 9.820 pada 2026, Cek Saham Jagoan BRI Danareksa
• 20 jam lalubisnis.com
Berhasil disimpan.