Terbitnya Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tidak hanya membuat publik terhenyak, tetapi juga sebagian anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri. Meski Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Polisi) Listyo Sigit Prabowo merupakan anggota komisi, tidak ada informasi apa pun soal itu.
Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri Jimly Asshiddiqie menuturkan, terbitnya Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Polri yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri sempat membuat dia dan beberapa anggota komisi lainnya kaget. Jimly mengaku sama sekali tidak mendapatkan informasi bahwa Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo akan menerbitkan perpol itu.
Sebagaimana diketahui, dalam Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly didampingi Ahmad Dofiri yang merupakan Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan, Ketertiban Masyarakat, dan Reformasi Kepolisian; Mahfud MD yang adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi; Yusril Ihza Mahendra yang merupakan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan; Wakil Menko Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Otto Hasibuan; serta Supratman Andi Agtas yang juga Menteri Hukum.
Komisi Percepatan reformasi Polri juga diisi para mantan kapolri dan kapolri aktif. Mereka adalah Idham Azis, Badrodin Haiti, serta Tito Karnavian yang kini menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, serta Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo.
"Kami tidak tahu (Perpol 10/2025 terbit). Jadi, (waktu itu) kami lagi rapat bertiga malam-malam. Terus saya pulang ke rumah. Saya dikasih WA (whatsapp), ada perpol baru. Saya forward (Perpol 10/2025) ke Pak Ahmad Dofiri. Dia juga kaget. Jadi, kita tidak tahu," tutur Jimly di Jakarta, Kamis (18/12/2025).
Menurut Jimly, pihaknya telah menyampaikan hal itu kepada Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Dedi Prasetyo yang hadir dalam pertemuan Komisi Percepatan Reformasi Polri. Jimly mengatakan, komisi tersebut dibentuk secara resmi oleh Presiden Prabowo. Meski begitu, komisi mestinya tidak dipertentangkan atau dibedakan dengan tim internal bentukan Kapolri, yakni Tim Transformasi Reformasi Polri.
Oleh karena itu, Jimly berharap kepada Polri agar kepolisian memberi tahu Komisi Percepatan Reformasi Polri jika ada kebijakan baru yang dikeluarkan Polri. Tidak hanya itu, Jimly juga berharap agar data dan informasi yang dimiliki Polri, termasuk hasil survei kerja sama Polri dengan lembaga survei, juga diinformasikan ke Komisi Percepatan Reformasi Polri karena data tersebut dibutuhkan.
"Kalau ada kebijakan-kebijakan baru, ya, kita harus diberitahu sebelumnya. Ya, mudah-mudahan kejadian kemarin ini tidak terjadi lagi," ujarnya.
Terbitnya Perpol No 10/2025 telah menimbulkan polemik baru. Padahal, pro dan kontra tentang Putusan MK Nomor 114 belum mereda.
Dalam perpol itu disebutkan bahwa anggota Polri dapat ditugaskan di jabatan di dalam negeri maupun di luar negeri. Untuk jabatan di dalam negeri, terdapat 17 kementerian/lembaga yang dapat diisi anggota kepolisian. Mereka dapat mengisi baik jabatan manajerial maupun jabatan nonmanajerial.
Pasal 3 Ayat (4) Perpol tersebut juga menyebutkan bahwa posisi yang dapat diisi anggota kepolisian itu adalah jabatan yang memiliki keterkaitan dengan fungsi kepolisian berdasarkan permintaan dari lembaga yang bersangkutan.
Tidak ada lagi penugasan baru. Tidak ada lagi. Jadi sudah clear, gitu ya. Cuma (bagi polisi) yang sudah keburu menduduki jabatan, ini harus diatur dulu.
Setelah keberadaan perpol diketahui komisi dan aturan itu memicu polemik, peraturan tersebut turut menjadi pokok bahasan dalam Komisi Percepatan Reformasi Polri. Dalam rapat, Wakapolri telah menyatakan komitmennya bahwa sejak Putusan MK Nomor 114 dibacakan, tidak ada lagi penugasan baru polisi aktif ke kementerian/lembaga.
"Tidak ada lagi penugasan baru. Tidak ada lagi. Jadi sudah clear, gitu ya. Cuma (bagi polisi) yang sudah keburu menduduki jabatan, ini harus diatur dulu," kata Jimly.
Komisi Percepatan Reformasi Polri pun sepakat untuk mendorong berbagai masukan yang telah dijaring dari masyarakat selama sebulan terakhir ke regulasi yang lebih tinggi agar memiliki daya ikat lebih luas. Untuk itu, laporan komisi kepada Presiden Prabowo nantinya akan bersifat menyeluruh karena akan dilampirkan pula konsep Rancangan Revisi Undang-Undang tentang Polri beserta peraturan pemerintahnya (PP).
Rancangan PP yang dimaksud adalah PP untuk pelaksanaan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang sejak 2023 diundangkan belum memiliki aturan pelaksanaan. Ini utamanya pasal yang membuka ruang polisi duduk di jabatan kementerian/lembaga. Selain itu, akan dirancang pula PP yang berhubungan dengan pelaksanaan UU lain yang saling berkaitan dengan UU Polri.
Diperkirakan PP tersebut nantinya akan banyak terkait dengan undang-undang lain. Oleh karena itu, PP tersebut dianggap bisa menjadi solusi untuk membenahi sistem aturan yang tidak harmonis, termasuk terkait Perpol 10/2025. Secara teknis, Komisi Percepatan Reformasi Polri akan mengusulkan hal itu ke Menteri Koordinator Bidang Hukum, HakAsasi Manusia, Imigrasi dan Pemasyarakatan.
"Maka, kami tadi sepakat untuk menggunakan metode omnibus baik dalam perancangan undang-undangnya maupun juga perancangan PP. Misalnya, kalau nanti ada kaitan dengan Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup, Undang-Undang tentang TNI, Undang-Undang tentang Kehutanan, maka kita akan pertimbangkan ayat atau pasal yang saling terkait dengan kepolisian," terang Jimly.
Pada kesempatan itu, Otto mengatakan, sejak Putusan MK 114 dibacakan, yang muncul di muka publik adalah perdebatan-perdebatan hukum. Putusan tersebut menyatakan bahwa semua anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Diskursus kemudian semakin sengit setelah Perpol 10/2025 terbit. Perdebatan tersebut telah menjadi perhatian Komisi Percepatan Reformasi Polri.
Menurut Otto, polemik itu sebenarnya tidak perlu terjadi karena inti persoalannya adalah apakah publik setuju atau tidak setuju dengan polisi aktif yang menduduki jabatan di lembaga/instansi tertentu. Untuk melihat hal itu, yang diperlukan adalah pemahaman bersama, bukan hanya melihat peraturannya saja.
"Kenyataannya, di antara lembaga yang ada, di kementerian yang ada, banyak juga para pejabat internal kementerian itu yang berkeberatan kalau (jabatan) ini diisi dari Polri. Nah, jadi berarti, kan, harus kita diskusikan bersama, apa yang boleh dijabat, mana yang boleh tidak," kata Otto.
Selain itu, Putusan MK 114 juga dinilai menimbulkan perdebatan yang bisa menimbulkan masalah. Ada pandangan yang mengatakan bahwa putusan itu tidak berlaku surut dan seketika itu juga harus berlaku.
Dalam konteks itu, saat ini, ada sebagian kalangan advokat yang hendak mengajukan gugatan terhadap keputusan yang diambil pejabat kementerian/lembaga yang berasal dari Polri. Sebab, mereka dianggap sudah tidak berwenang menjabat lagi setelah Putusan MK 114 dibacakan.
"Memang kita akui (Putusan MK 114) berlaku sejak diputuskan. Tapi, apakah langsung seketika itu juga dia (pejabat dari Polri) tidak boleh menjabat lagi, dia tidak boleh bisa mengeluarkan keputusan lagi? Nah, ini masalah yang panjang sekali. Tetapi hukum, kan, harus mengatur untuk tujuan yang baik, harus ada bermanfaat, harus berkeadilan. Jadi, tidak bisa kita lihat letterlijk begitu saja," terangnya.
Menurut Jimly, tujuan penerbitan Perpol No 10/2025 itu baik karena dimaksudkan untuk mengatur polisi yang sudah menduduki jabatan di luar kepolisian. Bagi Jimly, yang menjadi masalah, perpol tersebut menyebut nama-nama kementerian/lembaga. Seharusnya, nama instansi yang menjadi tujuan penempatan anggota Polri tidak perlu dicantumkan dan penugasan diatur hanya berdasarkan permintaan dari lembaga yang bersangkutan.
Sebab, kata Jimly, yang selama ini terjadi adalah kementerian/lembaga menyampaikan permintaan kepada Polri untuk menugaskan anggotanya ke instansi tersebut, semisal untuk duduk sebagai pejabat eselon 1 di sebuah direktorat jenderal yang menangani bidang penegakan hukum. Terlebih, saat ini ada 56 instansi yang diberi kewenangan melakukan penyidikan oleh undang-undang.
Jimly juga menyebut, Perpol No 10/2025 tidak menyebut Putusan MK 114 di bagian pertimbangan. Padahal, UU tentang Polri menjadi berubah setelah Putusan MK 114 dibacakan. Akibatnya, ada yang menafsirkan bahwa yang dijadikan rujukan adalah UU tentang Polri yang lama sebelum diubah melalui Putusan MK 114.
"Jadi orang menafsirkan, wah (Perpol 10/2025) ini membangkang. Tidak ada putusan MK. Padahal itu kekeliruan yang lazim di mana-mana," ujarnya.
Dengan demikian, menurut Mahfud, nasib selanjutnya dari Perpol No 10/2025 akan diumumkan sendiri oleh Mabes Polri. Mahfud tidak tahu kapan persisnya hal itu akan dilakukan, tetapi substansi persoalan terkait perpol tersebut akan dimasukkan ke peraturan yang lebih tinggi.
Sebelumnya, Mahfud MD menyebut bahwa Perpol No 10/2025 tidak memiliki dasar konstitusional. Peraturan tersebut juga bertentangan dengan tafsir MK atas Undang-Undang Kepolisian.
Mahfud menjelaskan, Pasal 28 Ayat (3) Undang-Undang No 2/2002 tentang Polri, sebagaimana dimaknai dalam Putusan MK No 114/PUU-XXIII/2025, secara tegas mengatur bahwa anggota Polri yang akan menduduki jabatan di institusi sipil harus terlebih dahulu mengundurkan diri atau mengajukan pensiun dari dinas kepolisian. Maka, dengan putusan tersebut, tidak ada lagi ruang hukum bagi penugasan anggota Polri aktif ke jabatan sipil berdasarkan alasan penugasan dari Kapolri.
”Jadi, perpol itu tidak ada dasar hukum dan konstitusionalnya,” kata Mahfud selaku dosen dan pembelajar hukum tata negara.





