Perbincangan soal kecerdasan buatan (AI) kini tak lagi sebatas inovasi teknologi. Di baliknya, ada perlombaan senyap antarnegara untuk meraih kesejahteraan yang lebih mandiri di era digital.
Inilah gambaran besar yang dibawa Executive Director Catalyst Policy Works, Wahyudi Djafar, ketika membedah konsep sovereign AI atau yang ia sebut lebih tepat sebagai AI berdikari.
Menurut Wahyudi, dunia saat ini sedang menyaksikan bentuk baru persaingan global. Bukan lagi perang bersenjata, melainkan adu strategi dalam menguasai dan memanfaatkan AI. Amerika Serikat, Uni Eropa, China, India, Korea Selatan, hingga negara-negara Timur Tengah sama-sama berbicara tentang sovereign AI, meski dengan definisi dan batasan yang berbeda-beda.
“Ini bukan lagi sekadar soal kedaulatan data atau lokalisasi server. Perdebatannya sudah jauh melampaui itu,” kata Wahyudi.
Wahyudi sengaja menghindari istilah “berdaulat” yang sarat makna teritorial. Dalam konteks AI yang lintas batas dan tak mengenal sekat negara, pendekatan tersebut dinilai kurang relevan. Ia memilih istilah berdikari, yang menekankan pada kemampuan dan kapasitas, bukan sekadar klaim wilayah.
Esensi AI berdikari, menurut Wahyudi, adalah kemampuan suatu negara untuk secara otonom mengembangkan, menggunakan, dan memanfaatkan AI demi kepentingannya sendiri. Bukan soal menutup diri, tetapi tentang memiliki kendali dan arah yang jelas.
Menariknya, meski berbicara tentang kemandirian, kerja sama internasional justru tetap menjadi pilar penting. “Sovereign AI bukan berarti anti-kolaborasi,” ujarnya. Terutama bagi negara-negara Global South, kolaborasi lintas negara justru krusial untuk mengejar ketertinggalan.
Salah satu konsep kunci yang disorot Wahyudi adalah kedaulatan epistemik. Ini berkaitan dengan bagaimana AI dikembangkan menggunakan data yang relevan secara budaya, bahasa, dan konteks lokal.
Tanpa itu, AI berisiko menghadirkan bias, mulai dari rekomendasi yang keliru hingga pengambilan keputusan yang tak sesuai dengan realitas masyarakat setempat. Karena itu, pengembangan model AI perlu mengakomodasi bahasa lokal, nuansa budaya, hingga konteks sosial.
Dari sinilah muncul gagasan indigenous AI, AI yang tumbuh dari kebutuhan dan karakter lokal, bukan sekadar mencomot model global yang sudah jadi.
Peta Jalan Menuju AI BerdikariMengutip klasifikasi dari World Economic Forum, Wahyudi menjelaskan bahwa tingkat AI berdikari suatu negara bisa dilihat dari beberapa tahapan. Mulai dari AI dependen, yang sepenuhnya bergantung pada teknologi luar, hingga AI dengan kedaulatan penuh.
Dalam konteks ini, Wahyudi menilai Indonesia masih berada di tahap awal: menggunakan model global, namun mulai menambahkan konteks lokal melalui rekayasa data dan personalisasi. Tantangannya, bagaimana Indonesia bisa naik kelas menuju tahap berikutnya.
Ada sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi, mulai dari infrastruktur digital yang kuat, pengembangan talenta, riset dan inovasi berkelanjutan, hingga kerangka regulasi dan etika yang adaptif. Tak kalah penting, adanya stimulus bagi industri AI nasional serta kerja sama internasional yang strategis.
Wahyudi memaparkan bagaimana negara-negara besar menempuh jalannya masing-masing. Amerika Serikat bertumpu pada investasi riset besar-besaran dan kompetisi antar-perusahaan teknologi. Uni Eropa menonjolkan regulasi dan etika, meski belakangan mulai melonggarkan aturan demi mendorong inovasi. China fokus pada integrasi riset, produksi chip, dan aplikasi komersial AI.
Sementara itu, India, Korea Selatan, Arab Saudi, hingga Inggris juga berlomba membangun fondasi AI berdikari, dari pendanaan jumbo, konsorsium industri, hingga pengembangan model bahasa nasional.
“Ini bukan lagi isu negara maju versus negara berkembang. Hampir semua negara kini masuk ke arena yang sama,” tegas Wahyudi.
Indonesia sendiri tengah merumuskan arah melalui berbagai kebijakan dan peta jalan AI nasional. Meski masih dalam tahap penyempurnaan, pilar-pilar yang disusun mulai dari riset, talenta, infrastruktur, data, hingga etika, dinilai sejalan dengan standar global.
Bagi Wahyudi, kuncinya adalah konsistensi dan keberanian mengambil posisi. AI berdikari bukan tujuan instan, melainkan proses bertahap yang membutuhkan visi jangka panjang.
“Pertanyaannya bukan sekadar kita mau ke mana, tapi juga mau menjadi apa di tengah perlombaan global ini,” tutupnya.





