Birokrasi Seremonialistik

kumparan.com
5 jam lalu
Cover Berita

Birokrasi yang gemar mengadakan seremonial-ritual saya sebut sebagai birokrasi yang berbunga-bunga (the flower of bureaucracy), yaitu model birokrasi yang ritualistik, gemar melakukan acara dan seremoni tanpa anggaran yang memadai.

Akhirnya di antara birokrat saling patungan untuk mendanainya. Sungguh ironi, hasil keringat yang seharusnya untuk menghidupi keluarga justru untuk meng-entertain kolega dan atasan yang cenderung mampu secara finansial.

Ukuran loyalitas birokrat adalah bekerja dengan profesional dan jujur, sehingga reputasi atasan terjaga apik dan tidak terjerat korupsi. Seseorang yang tidak setuju dengan kegiatan seremonialistik tidak dapat dilabeli, tidak loyal, atau tidak patuh. Justru atasan yang harus bijak mengerti kondisi bawahan yang isi dompetnya tidak sama.

Birokrasi model begini amat menyebalkan bagi tipe birokrat yang terbatas, hidup hanya mengandalkan satu sumber penghasilan; gaji. Satu sisi mereka terbebani di sisi lain takut menyuarakan, khawatir berimbas terhadap masa depan karirnya, atau menjadi sasaran empuk musuh bersama. Entah sampai kapan tipe birokrasi berbunga-bunga ini mau dipeluk erat, padahal sudah kuno lapuk termakan usia.

Dalam catatan sejarah, salah satu alasan manusia menyukai acara seremonialistik-ritualistik adalah warisan genetik dari manusia purba, para leluhurnya. Menurut Widya Lestari (Kompas, 2022) corak kehidupan manusia purba adalah berburu dan berkumpul (food gathering).

Kita sebagai homo sapiens punya sejarah panjang dalam kehidupan di mana leluhur kita gemar sekali kumpul dan mengadakan ritual bersama. Periode ini disebut zaman pemburu-pengumpul. Evolusi nenek moyang kita yang suka kumpul dalam berburu guna mempertahankan hidup ternyata diwariskan hingga generasi saat ini. Karena itu, ada istilah “makan gak makan yang penting kumpul”.

Teori Fraud Triangle

Menurut Donald R Cressey, seorang melakukan korupsi disebabkan karena tiga hal, yaitu tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi. Pertama, seorang birokrat melakukan korupsi karena adanya tekanan dari atasan. Perintah untuk “mensukseskan” acara yang bersifat seremonialistik-ritualistik dapat menjadi motif bagi birokrat untuk melakukan korupsi.

Kedua, seorang birokrat melakukan korupsi karena adanya kesempatan. Sistem yang tidak transparan, tidak akuntabel, dan minim pengawasan akan memuluskan aksinya untuk meraup uang riswah, guna membiayai seremoni tertentu. Ketiga, birokrat selalu memiliki pembenaran atas tindakan korupnya. Misalnya, atas dasar kepentingan organisasi, perintah atasan, uang lelah, akhirnya birokrat melakukan korupsi.

Pintu Masuk Korupsi

Seremoni di lingkaran birokrasi yang tidak dikelola secara transparan dan akuntabel dapat menyebabkan terjadinya korupsi. Meskipun tidak secara langsung, birokrat dapat terjebak penyalahgunaan wewenang karena memanfaatkan posisi untuk memperkaya diri melalui pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan harga yang wajar. Karena itu, desain organisasi masa depan adalah sebanyak mungkin meraih prestasi, bukan malah memperbanyak seremoni.

Selain itu, birokrasi seremonialistik juga dapat menumbuh suburkan konflik kepentingan di kalangan birokrat. Menurut laporan Transparency International tahun 2020 menyebutkan, 60% kasus korupsi berakar dari konflik kepentingan, khususnya kasus kolusi.

Para birokrat yang tipenya berbunga-bunga ini menyadari betul bahwa mengadakan acara seremonial butuh modal besar, sedangkan anggaran tidak mencukupi. Namun, karena ada kepentingan yang mendesak, berbagai cara dilakukan agar hajatnya terpenuhi. Dirinya rela mencari “modal” sana-sini, asalkan rencana seremoni terealisasi.

Digital Mindset

Acara yang sifatnya seremonialistik boleh saja digelar apabila menggunakan instrumen teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi virtual dapat memfasilitasi setiap acara yang mengharuskan tatap muka tanpa mendistorsi pesan utama. Dengan teknologi virtual, kita tidak membutuhkan anggaran besar untuk akomodasi, beli tiket, sewa penginapan, sewa transportasi, sehingga uang pribadi tetap utuh.

Tatap muka virtual juga dapat menjangkau seluruh birokrat dari daerah terpencil hingga di pusat kota tanpa harus datang dan berkumpul di satu arena. Mereka bertemu dalam satu platform, melihat jelas gimik dan wajah, sebagaimana tatap muka konvensional.

Materi pesan juga tersampaikan dengan jelas dan akurat. Karena itu, semua aktivitas seremonialistik-ritualistik sudah bisa digelar dengan teknologi, sehingga cara-cara konvensional-manual patut ditinggalkan.

Dalam upaya mitigasi risiko korupsi, kegiatan seremoni harus dikurangi, kalau perlu disudahi. Kegiatan produktif tetap dapat digelar dengan bantuan teknologi informasi agar sejalan dengan cita-cita reformasi birokrasi yaitu birokrasi yang bersih dari korupsi karena yang dibutuhkan masyarakat adalah birokrasi yang melayani, bukan birokrasi yang penuh seremoni.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Perkuat Ekonomi Desa, Koperasi Ponpes Didorong Jadi Mitra Kopdes Merah Putih
• 2 jam lalukumparan.com
thumb
Jaringan Internet di Aceh Belum Pulih Total, Kemkomdigi Kirim Genset
• 5 menit laluidntimes.com
thumb
Rano Karno Serukan Solidaritas bagi Korban Bencana di Sumatera
• 21 jam lalutvrinews.com
thumb
Pj Ketum PBNU Datangi Sejumlah Kiai di Jawa Timur untuk Konsolidasi
• 5 jam lalugenpi.co
thumb
Purbaya Pastikan Bantuan Dispora untuk Bencana Tak Dipajaki, Begini Prosedurnya
• 2 jam lalukatadata.co.id
Berhasil disimpan.