"SAYA bersyukur situasi sudah mulai membaik. Walaupun kita masih prihatin, kita terus bekerja keras agar pemulihan bisa segera tercapai.” Hal itu disampaikan Presiden Prabowo Subianto, saat mengunjungi pengunsi banjir di Sumatra Barat, Kamis (18/12).
Ucapan Presiden yang menyebut situasi terkendali justru berbanding terbalik jika melihat perkembangan di Aceh. Apalagi banyak pengakuan para korban banjir yang masih memprihatinkan hingga pekan ke-3 ini.
Sesuai penelusuran Media Indonesia, Kamis (18/12) misalnya, kehidupan di lokasi-lokasi terjangan banjir besar itu masih seperti pungguk merindukan bulan. Bahkan kebutuhan dasar dan makanan pokok saja masing belum terpenuhi.
Baca juga : Prabowo Akhirnya Lihat Aceh Tamiang: Maaf masih belum Tertangani
Seperti di Desa Alur Tani 1, Kecamatan Tamiang Hulu, Kabupaten Aceh Tamiang, mereka belum mendapat aliran listrik dan sinyal telepon selular. Untuk keperluan mandi dan cuci pakaian harus menggunakan air sumur yang masih keruh akibat sedimen lumpur.
Ketika malam tiba, mereka harus tidur dalam kegelapan sunyi beralas terpal atau plastik bekas banjir. Kalaupun ada di antara mereka yang rumahnya tidak sampai rubuh diterjang banjir, tapi saat malam seperti tidur di dalam kuburan.
"Hingga pekan ke-3 saya menjenguk ayah ibu di kampung, 1 kilogram beras pun belum ada bantuan pemerintah. Tidak ada juga bantuan berbentuk lain. Kecuali ada dua mud beras, dua telur, dan tiga mie instan dari bantuan donatur lain di luar intansi pemerintah," tutur Sugeng Handayani, lelaki asal Desa Alur Tani 1, Kecamatan Tamiang Hulu, Aceh Tamiang, yang merupakan Kepala SMA Sukma Bangsa Pidie.
Baca juga : RSUD Aceh Tamiang Mulai Pulih Bertahap setelah Lumpuh Total akibat Banjir
Lalu jaringan telpon juga masih mengkhawatirkan, belum pulih sepenuhnya. Untuk berkomunikasi dengan telepon selular, warga harus mencari tempat yang menyediakan jaringan starlink.
Untuk mencari jasa telekomunikasi itu kadang harus jalan kaki berkisar 8 hingga 10 km. Itupun jaringannya sangat lambat.
"Siapa yang ingin menghubungi jarak jauh harus membayar kepada pemilik jasa starlink Rp15.000/2 jam. Jadi karena jaringat sangat lambat karena banyak pemakai, asal sudah bisa terhubung nomor tujuan dan bisa berbicara yang penting saja sudah cukup," kata Sugeng.
Belum Tersentuh Bantuan PemerintahKeadaan tidak jauh berbeda juga dituturkankan oleh Yasin Bayla, tokoh masyarakat Kecamatan Rantau, Kabupaten Aceh Tamiang. Dari awal bencana meluluhlantakkan kawasan setempat pada akhir bulan lalu hingga Kamis (18/12), ia juga tidak pernah menerima bantuan bahan pokok dari pemerintah.
Untuk kebutuhan air bersih juga sangat langka. Lebih parah lagi arus listrik padam total atau sama sekali tidak hidup.
Yasin mengaku sempat mendengar kabar bahwa ada bantuan bahan pangan diangkut dengan heli untuk korban terdampak di Aceh Tamiang. Tapi tidak tahu di mana sekarang dan ke mana bantuan itu disalurkan.
"Kalau dari donatur lain ada, saya terima sekitar 5 kg beras dan 10 bungkus mie instan. Tapi kalau dari pemerintah tidak ada sama sekali," tutur Yasin Bayla yang juga penyuluh Agama Islam Kecamatan Karang Baru.
Menurutnya sekarang kondisi warga korban banjir di Aceh Tamiang sangat menyedihkan. Bukan saja tidak mendapat bantuan, kini mereka rawan terserang penyakit pascabanjir.
Apalagi mereka tiap malam tidur dengan kondisi gelap, diserang nyamuk, tidak memiliki kelambu dan banyak debu. Lalu krisis sanitasi dan tempat buang air besar.
Di Kota Kuala Simpang, Ibu kota Kabupaten Aceh Tamiang, kondisi di malam hari masih terkesan angker dengan pemandangan gelap karena padamnya listrik serta bangunan rusak penuh lumpur. Ditambah lagi pemandangan puluhan bangkai mobil berserakan seperti kota hantu.
"Sekarang air bersih untuh keperluan membuat susu bayi saja sangat sulit. Apa lagi logistik lainnya," tutur Aiyub, warga Kuala Simpang.
Jumlah Helikopter Angkutan Bantuan tak MemadaiJuru Bicara Posko Komando Tanggap Darurat Bencana Banjir dan Longsor Aceh, Murthalamuddin, kepada Media Indonesia mengakui bahan bantuan untuk korban banjir jauh dari kata mencukupi. Penyebabnya antara lain adalah pasokan barang mengandalkan heli yang jumlahnya sedikit.
Karena intensitas angkutan yang sangat terbatas hanya sanggup membawa sekitarnya 300 kg setiap kali terbang. Apalagi cakupan wilayah banjir Aceh sangat luar biasa di banyak titik. Jumlah penerbangan pun hanya 15 hingga 16 trip sehari.
"Dropping dengan udara jelas belum mencukupi. Dengan intensitas terbang sangat rendah seperti itu, daya angkut cuma 300 kg, bagaimana mungkin bisa mencukupi dengan kecakupan wilayah sangat luas," tutur Murthalamuddin.
Dikatakan Murthalamuddin, sekarang relawan adalah tenaga yang diandalkan untuk membantu dan mengangkut barang. Baik dari batuan donatur atau logistik pemerintah.
Tanpa kerja keras relawan utuk menyalurkan bantuan pemerintah dan sumbangan pihak lain, itu akan lebih parah lagi di lokasi. Karena personel dari pemerintah masih sangat sedikit. (MR/E-4)



