Di banyak ruang kelas hari ini, kecerdasan buatan (AI) mulai hadir secara diam-diam. Siswa menggunakannya untuk mencari jawaban, guru memanfaatkannya untuk merancang materi, dan sekolah menyebutnya sebagai bagian dari transformasi digital. AI seolah menjadi simbol kemajuan pendidikan. Namun pertanyaannya: Apakah sekolah kita benar-benar siap, atau sekadar ikut arus tanpa arah yang jelas?
Masalah utama pendidikan Indonesia bukan terletak pada ada atau tidaknya AI, melainkan pada cara kita memaknainya. Di banyak praktik, AI diperlakukan sebagai mesin serba bisa yang menjanjikan kemudahan dan kecepatan.
Padahal, pendidikan sejatinya bukan tentang siapa yang paling cepat menyelesaikan tugas, melainkan siapa yang benar-benar belajar. Ketika AI hanya diposisikan sebagai pemberi jawaban, proses berpikir pelan-pelan terpinggirkan.
Bagi peserta didik, AI memang menawarkan kenyamanan. Materi bisa diringkas, soal bisa dijawab, bahkan esai bisa disusun dalam hitungan detik. Namun di balik itu, ada risiko besar yang sering luput disadari: siswa menjadi penonton dalam proses belajarnya sendiri.
Ketergantungan pada AI dapat melemahkan rasa ingin tahu, daya juang, dan kemampuan bernalar. Jika dibiarkan, sekolah hanya akan melahirkan generasi yang mahir menggunakan teknologi, tetapi rapuh dalam berpikir kritis.
Guru pun berada di posisi yang tidak mudah. Di satu sisi, mereka dituntut mengikuti perkembangan zaman. Di sisi lain, beban administratif dan keterbatasan pelatihan membuat AI terasa seperti ancaman baru. Tidak sedikit guru yang khawatir perannya akan tergeser oleh mesin.
Padahal, teknologi secanggih apa pun tidak pernah mampu menggantikan kehadiran manusia yang memahami emosi, konteks, dan nilai dalam proses belajar. Masalahnya, sistem belum sepenuhnya berpihak pada penguatan peran guru sebagai pendidik; bukan sekadar operator teknologi.
Dari perspektif kebijakan, pemanfaatan AI dalam pendidikan masih cenderung normatif. Digitalisasi sering dipahami sebagai pengadaan platform dan aplikasi, bukan sebagai perubahan cara berpikir tentang pembelajaran.
Aspek etika, perlindungan data, hingga dampak jangka panjang terhadap karakter peserta didik belum mendapat perhatian serius. Akibatnya, sekolah berjalan dengan interpretasi masing-masing, tanpa panduan pedagogis yang kokoh.
Jika kembali pada hakikat pendidikan, belajar bukan sekadar mengumpulkan informasi, melainkan juga membangun makna. Proses bertanya, berdiskusi, gagal, lalu mencoba kembali adalah inti pembelajaran.
AI seharusnya hadir untuk memperkaya proses ini, bukan memotongnya. Ketika dimanfaatkan secara tepat, AI dapat membantu guru memahami kebutuhan belajar siswa, memberikan umpan balik yang lebih personal, dan membuka ruang eksplorasi yang lebih luas. Namun, semua itu hanya mungkin jika manusia tetap memegang kendali.
Di sinilah kita perlu lebih jujur dan reflektif. Euforia AI tidak boleh membuat kita lupa bahwa pendidikan adalah proses manusiawi. Sekolah bukan pabrik output akademik, melainkan ruang tumbuh nilai, karakter, dan nalar. Jika kebijakan hanya mengejar efisiensi dan modernitas simbolik, ketimpangan justru akan semakin dalam. Sekolah yang siap akan melesat, sementara yang lain tertinggal jauh di belakang.
Ke depan, langkah pertama yang paling masuk akal adalah membangun literasi AI yang manusiawi. Guru dan siswa perlu memahami bukan hanya cara menggunakan AI, melainkan juga kapan harus menggunakannya dan kapan harus berhenti.
Pelatihan harus menekankan bahwa AI adalah alat bantu berpikir, bukan pengganti berpikir. Pada saat yang sama, negara perlu hadir dengan kebijakan yang jelas, etis, dan berpihak pada kualitas pembelajaran, bukan sekadar tren global.
Pada akhirnya, masa depan pembelajaran di era AI tidak ditentukan oleh kecanggihan teknologi, melainkan oleh kebijaksanaan manusia yang menggunakannya. AI bisa menjadi sahabat belajar yang memperkaya pengalaman pendidikan, atau justru menjadi jalan pintas yang menghilangkan makna sekolah itu sendiri.
Pilihannya ada pada kita: menjadikan AI sebagai alat untuk memanusiakan pendidikan, atau membiarkannya perlahan menjauhkan manusia dari proses belajar yang sesungguhnya.



