Jakarta (ANTARA) - Praktisi hukum Maqdir Ismail menilai putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 142/PUU-XXII/2024 perihal uji materi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi harus ditindaklanjuti oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Menurut ia, dalam putusan tersebut, MK mengakui adanya multitafsir atas kedua pasal yang menimbulkan ketidakpastian, sehingga Mahkamah merekomendasikan pembuat undang-undang untuk merumuskan ulang kedua pasal itu.
"Ini menurut saya merupakan perdebatan yang tidak akan ada habisnya tanpa adanya kebijakan tentang politik hukum dalam pemberantasan korupsi yang jelas," kata Maqdir dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.
Meski begitu, Maqdir mengatakan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor pada dasarnya dituangkan dalam Pasal 603 dan 604 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sudah disahkan dan mulai berlaku tahun depan.
Oleh karenanya, ia mengaku bingung bagaimana MK meminta kedua pasal tersebut diperbaiki oleh DPR, sedangkan Parlemen sudah memutuskan dan UU tersebut akan berlaku.
Sebagai kuasa hukum para pemohon uji materi UU Tipikor, Maqdir menangkap hal tersebut sebagai anjuran MK agar pihaknya kembali menggugat Pasal 603 dan 604 KUHP dengan alasan ketidakpastian hukum.
Ia menyebutkan pada Pasal 2 dan 3, khususnya terkait kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi, sebenarnya hanya ada di Indonesia dan tidak ada di negara lain.
Baca juga: 18 akademisi hukum minta MK batasi tafsir Pasal 21 UU Tipikor
Maqdir pun mencontohkan Myanmar sebagai negara yang sangat keras dalam pemberantasan korupsi. Meski demikian, negara tersebut tidak menyandarkan korupsi pada unsur kerugian negara, tetapi pada unsur suap, penyalahgunaan wewenang, atau perbuatan melawan hukum lainnya.
Dengan begitu, ia berharap pemberantasan korupsi di Indonesia tidak hanya berdasarkan unsur kerugian keuangan negara karena rentan hanya merupakan ilusi dari pihak yang melakukan perhitungan karena angkanya tidak nyata.
"Ini bukan kontestasi penegak hukum yang merasa bahwa perkara yang ditanganinya lebih besar dari perkara lain,” tutur dia.
Salah satu pemohon uji materi UU Tipikor, Hotashi Nababan, menambahkan uji materiil terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 pada dasarnya merupakan upaya untuk melindungi para pejabat publik, termasuk direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dari ketidakpastian hukum.
"Saya sangat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Namun, melihat perkara yang terjadi pada Tom Lembong, Ira Puspadewi, dan banyak lagi, maka akan bertambah lagi orang-orang yang dikriminalisasi, seperti saya dengan ditolaknya judicial review ini," tutur Hotashi, yang pernah divonis bersalah pada perkara korupsi Merpati Airline.
Baca juga: Hasto uji pasal perintangan penyidikan dalam UU Tipikor ke MK
Menurutnya, akan sangat riskan apabila seseorang dijerat pidana korupsi apabila hanya dengan adanya perhitungan kerugian keuangan dan perekonomian negara dan tidak memerlukan pembuktian niat jahat.
Dalam putusan atas uji materiil Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dengan nomor perkara 142/PUU‑XXII/2024 dan 161/PUU‑XXII/2024 yang dibacakan Rabu (17/12), MK menolak seluruh permohonan para pemohon.
Namun, MK memahami adanya diskursus mengenai multi-tafsir dan ketidakkonsistenan aparat penegak hukum terhadap norma Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 yang bisa menimbulkan ketidakpastian.
Karena itu, Mahkamah merekomendasikan pembentuk UU untuk mengkaji kembali dan merumuskan ulang kedua pasal tersebut.
Selain itu, putusan atas Perkara 161/PUU‑XXII/2024 juga diwarnai oleh perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari salah satu hakim, Arsul Sani.
Menurut hakim Arsul, seharusnya MK mengabulkan sebagian permohonan, yaitu untuk norma Pasal 2 ayat 1 perlu ditambahkan frasa "dengan maksud" sebagai bukti adanya niat jahat (mens rea).
Adapun uji materiil atas Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dimohonkan oleh mantan Direktur Utama Perum Perindo Syahril Japarin, mantan pegawai Chevron Indonesia Kukuh Kertasafari, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, serta mantan Direktur Utama Merpati Airlines Hotashi Nababan.
Para pemohon meminta agar MK menghapuskan frasa "kerugian keuangan negara" dalam kedua pasal tersebut atau tetap digunakan dengan tambahan syarat adanya unsur suap dan niat jahat.
Baca juga: MK dorong DPR-pemerintah kaji dan rumuskan ulang UU Tipikor
Baca juga: Pakar hukum UGM: MK perlu perjelas tafsir Pasal 2 dan 3 UU Tipikor
Menurut ia, dalam putusan tersebut, MK mengakui adanya multitafsir atas kedua pasal yang menimbulkan ketidakpastian, sehingga Mahkamah merekomendasikan pembuat undang-undang untuk merumuskan ulang kedua pasal itu.
"Ini menurut saya merupakan perdebatan yang tidak akan ada habisnya tanpa adanya kebijakan tentang politik hukum dalam pemberantasan korupsi yang jelas," kata Maqdir dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.
Meski begitu, Maqdir mengatakan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor pada dasarnya dituangkan dalam Pasal 603 dan 604 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sudah disahkan dan mulai berlaku tahun depan.
Oleh karenanya, ia mengaku bingung bagaimana MK meminta kedua pasal tersebut diperbaiki oleh DPR, sedangkan Parlemen sudah memutuskan dan UU tersebut akan berlaku.
Sebagai kuasa hukum para pemohon uji materi UU Tipikor, Maqdir menangkap hal tersebut sebagai anjuran MK agar pihaknya kembali menggugat Pasal 603 dan 604 KUHP dengan alasan ketidakpastian hukum.
Ia menyebutkan pada Pasal 2 dan 3, khususnya terkait kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi, sebenarnya hanya ada di Indonesia dan tidak ada di negara lain.
Baca juga: 18 akademisi hukum minta MK batasi tafsir Pasal 21 UU Tipikor
Maqdir pun mencontohkan Myanmar sebagai negara yang sangat keras dalam pemberantasan korupsi. Meski demikian, negara tersebut tidak menyandarkan korupsi pada unsur kerugian negara, tetapi pada unsur suap, penyalahgunaan wewenang, atau perbuatan melawan hukum lainnya.
Dengan begitu, ia berharap pemberantasan korupsi di Indonesia tidak hanya berdasarkan unsur kerugian keuangan negara karena rentan hanya merupakan ilusi dari pihak yang melakukan perhitungan karena angkanya tidak nyata.
"Ini bukan kontestasi penegak hukum yang merasa bahwa perkara yang ditanganinya lebih besar dari perkara lain,” tutur dia.
Salah satu pemohon uji materi UU Tipikor, Hotashi Nababan, menambahkan uji materiil terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 pada dasarnya merupakan upaya untuk melindungi para pejabat publik, termasuk direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dari ketidakpastian hukum.
"Saya sangat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Namun, melihat perkara yang terjadi pada Tom Lembong, Ira Puspadewi, dan banyak lagi, maka akan bertambah lagi orang-orang yang dikriminalisasi, seperti saya dengan ditolaknya judicial review ini," tutur Hotashi, yang pernah divonis bersalah pada perkara korupsi Merpati Airline.
Baca juga: Hasto uji pasal perintangan penyidikan dalam UU Tipikor ke MK
Menurutnya, akan sangat riskan apabila seseorang dijerat pidana korupsi apabila hanya dengan adanya perhitungan kerugian keuangan dan perekonomian negara dan tidak memerlukan pembuktian niat jahat.
Dalam putusan atas uji materiil Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dengan nomor perkara 142/PUU‑XXII/2024 dan 161/PUU‑XXII/2024 yang dibacakan Rabu (17/12), MK menolak seluruh permohonan para pemohon.
Namun, MK memahami adanya diskursus mengenai multi-tafsir dan ketidakkonsistenan aparat penegak hukum terhadap norma Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 yang bisa menimbulkan ketidakpastian.
Karena itu, Mahkamah merekomendasikan pembentuk UU untuk mengkaji kembali dan merumuskan ulang kedua pasal tersebut.
Selain itu, putusan atas Perkara 161/PUU‑XXII/2024 juga diwarnai oleh perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari salah satu hakim, Arsul Sani.
Menurut hakim Arsul, seharusnya MK mengabulkan sebagian permohonan, yaitu untuk norma Pasal 2 ayat 1 perlu ditambahkan frasa "dengan maksud" sebagai bukti adanya niat jahat (mens rea).
Adapun uji materiil atas Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dimohonkan oleh mantan Direktur Utama Perum Perindo Syahril Japarin, mantan pegawai Chevron Indonesia Kukuh Kertasafari, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, serta mantan Direktur Utama Merpati Airlines Hotashi Nababan.
Para pemohon meminta agar MK menghapuskan frasa "kerugian keuangan negara" dalam kedua pasal tersebut atau tetap digunakan dengan tambahan syarat adanya unsur suap dan niat jahat.
Baca juga: MK dorong DPR-pemerintah kaji dan rumuskan ulang UU Tipikor
Baca juga: Pakar hukum UGM: MK perlu perjelas tafsir Pasal 2 dan 3 UU Tipikor




